PADA suatu malam di bulan Agustus 2003, empat pria separuh baya terlihat asyik berunding. Di antara keempatnya, pria berkacamata tampak mendominasi pembicaraan. Dengan gaya bak berkhotbah, ia sesekali memperlihatkan tumpukan kertas yang terserak di atas sebuah meja di sudut restoran di hotel berbintang lima di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan itu.
Sekitar dua bulan setelah pertemuan itu, tiga di antara mereka dibekuk aparat keamanan karena terlibat pembobolan dana Bank BNI melalui surat kredit bodong senilai Rp 1,7 triliun. Edy Santoso, pejabat BNI di kantor cabang Kebayoran Baru, merupakan orang pertama yang digelandang ke sel. Setelah Edy, giliran Olla Agam, salah seorang pemimpin kelompok Sagared yang menerima dana. Kemudian menyusul Adrian Waworuntu, rekan bisnis Maria Pauline (Erry) Lumowa, pemilik Sagared.
Baru di awal Desember, si pria berkacamata diciduk pihak penyidik. Dialah John Hamenda. Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, menyebut John ikut menikmati uang sebesar Rp 105 miliar dari hasil pembobolan kelompok Sagared di BNI. Mappaseng tidak merinci asal-muasal John menikmati uang haram tersebut.
Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal, Samuel Ismoko, yang menangani langsung penyidikan kasus ini, menolak berkomentar. "Tidak usahlah," katanya kepada Sita Planasari dari Tempo News Room. Namun, melihat besarnya jumlah uang yang dituduhkan kepada John, bisa jadi yang dipermasalahkan oleh penyidik adalah tunggakan stand-by letter of credit (SBLC)—surat kredit sejenis bank garansi—yang dicairkan John ke Bank BNI pada Agustus lampau.
Dalam laporan audit intern Bank BNI yang beredar ke media massa, PT Jaka Saktibuana Perkasa, perusahaan milik John, disebut memiliki tunggakan SBLC sekitar Rp 105 miliar (US$ 12,5 juta). Hasil temuan audit Bank BNI ini pernah dibantah John, beberapa hari sebelum ia ditahan polisi. "Perusahaan itu sudah saya jual ke Monshe," katanya berkelit. Karena itu, ia melempar tanggung jawab pelunasan utang ke Monshe, yang digambarkannya sebagai warga negara Singapura berkebangsaan Pakistan.
John juga mengaku tidak kenal dan tidak punya hubungan bisnis dengan kelompok Sagared. Hingga pekan lalu, melalui seorang kerabatnya, John masih yakin dirinya tidak bersalah. "Masalah ini ada karena diada-adakan," ujarnya seperti dikutip sang kerabat. Ucapan itu bisa terdengar normal, mengingat kiprah bisnis John yang lumayan mencorong.
Di kampung halamannya, John bahkan layak digelari konglomerat lokal. Lahan usahanya meliputi perkebunan, pabrik makanan, stasiun televisi, dan properti. Selain sukses, John jauh dari kesan pebisnis nakal. Ini berbeda dengan, katakanlah, Adrian, yang pernah dikait-kaitkan dengan kebangkrutan Bank Pacific. Di bidang sosial, John juga aktif beramal melalui Yayasan Uluran Tangan yang didirikannya.
Dengan citra rapi jali itu, John menangkis berbagai tudingan sebagai pelaku pembobolan BNI. Belakangan, Erry menuding bahwa SBLC yang tersebut dalam bundel pemeriksaan BNI itu bukan satu-satunya utang John yang bermasalah. Ia mengaku pernah mengambil alih utang mampet John dari BNI di awal 2003. Untuk memperkuat tudingannya, Erry memperlihatkan dokumen anjak piutang antara John dan PT Aditya Putrapratama Finance, perusahaan keuangan milik keluarga Adrian.
Dokumen tertanggal 21 April 2003 itu secara ringkas membeberkan, John berutang Rp 75 miliar ke Sagared. "Saya memang punya utang ke Aditya," kata John, seperti ditirukan seorang kerabat dekatnya yang diwawancarai TEMPO. Utang tersebut digaet John dengan cara menegosiasi surat-surat kredit bodong pada pertengahan tahun lampau. Karena "aspal", surat berharga ekspor-impor itu tak bisa ditagih dari bank penerbit saat jatuh tempo.
Untuk menutupi kebusukan surat kredit milik John, Edy pun merancang modus pengoperan hak tagih atas John (baca Dalam Belitan Utang Busuk). Skim pengalihan utang John bak pinang dibelah dua dengan modus pengoperan utang PT Mahesa Karya Muda Mandiri. Pihak yang ditunjuk mengambil alih pun sama, yaitu kelompok Sagared, melalui PT Aditya Putrapratama Finance (TEMPO Edisi 15-21 Desember 2003).
Sejatinya, pengoperan itu tak lebih dari upaya gali lubang tutup lubang. Uang yang digunakan menutup utang tersebut juga berasal dari pundi BNI. Uang itu dialirkan melalui transaksi negosiasi wesel ekspor berjangka milik Sagared. Semula, Erry tak merasa ada masalah dengan pengalihan utang itu. Apalagi Edy, katanya, menjadikan pengalihan utang itu sebagai syarat pencairan kredit ke kelompok Sagared.
Erry baru kelimpungan setelah kebusukan surat kredit kelompoknya terendus media. Apalagi namanya kemudian disebut sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas uang BNI sebanyak Rp 1,2 triliun. Wanita itu pun mendesak Edy, yang pada pertengahan tahun silam belum ditahan, untuk meminta jaminan utang dari John. Terjadilah dua kali pertemuan antara kelompok Erry dan John, yang didampingi Edy.
Selain berunding pada pertemuan pertama, yang diurai di awal cerita, kedua kelompok pengutang itu bertemu beberapa pekan kemudian di sebuah hotel di bilangan Senayan. Kali ini Erry datang langsung menemui John. Seperti pada pertemuan pertama, Edy juga hadir. Dua pertemuan itu membawa hasil yang mengecewakan Erry dan kawan-kawan. John tak serta-merta memenuhi permintaan mereka untuk menyerahkan jaminan.
Polah John menolak permintaan jaminan itu membuat sebal Erry dkk. Seorang sumber yang dekat dengan Sagared menuturkan, John sesumbar memiliki cukup aset untuk dijadikan jaminan utang. Hanya, aset-aset itu telah ia ajukan ke Bank Mandiri sebagai persyaratan pencairan kredit sebesar US$ 100 juta. "John terlalu banyak omong besar. Saya tidak tahu mana yang bohong dan mana yang benar," ujar Erry.
Kredit dari Mandiri itu, belakangan diakui oleh kerabat dekat John, tidak pernah terealisasi. Seorang tersangka lain yang kini ditahan pernah meragukan klaim John bahwa ia pemilik tunggal Manado Square. "Coba, deh, dicek ke daftar pemegang sahamnya," ujarnya sinis. Tapi keraguan ini ditepis oleh kerabat dekat John. Menurut dia, John memang pemilik seluruh saham Manado Square. Hanya, beban pembangunan kompleks properti itu dibagi bersama oleh John dengan rekan kontraktornya yang berasal dari Korea Selatan.
Namun sumber TEMPO itu mengakui, PT Televisi Manado Media Perkasa, yang 80 persen sahamnya dimiliki John, kini tengah tersengal. Pada pertengahan Desember silam, stasiun televisi yang akrab dipanggil "TV Manado" itu memutuskan memangkas jumlah karyawannya, dari 84 menjadi 49. "Keputusan itu diambil para pemimpin di Jakarta," ujar John Kalangi, penjabat caretaker di TV Manado.
Bisnis perkebunan yang dibangun John dari uang hasil pencairan usance L/C turut tersumbat setelah ia ditahan. Semula John berencana mengotomatisasi seluruh kebun seluas 10 ribu hektare yang terhampar di tiga kecamatan itu. John juga berhasrat membangun fasilitas pembuatan camilan dari kentang—alias french fries. Tapi mimpi harus dilupakan dulu oleh John. "Sekarang ini kebun hanya menjual kentang ke pedagang," tutur seorang kerabat John.
Thomas Hadiwinata, Verrianto Madjowa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini