Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Widjanarko Puspoyo tampak capek. "Saya kurang sehat," ujar Direktur Utama Perum Bulog itu. Jelas soal kesehatan Widjan tak ada kaitannya dengan penyelundupan gula yang belakangan ini membuatnya pusing. Gara-gara gula ilegal itu, stok Bulog sebanyak 65 ribu ton terancam tak laku. "Saya maunya mereka (para penyelundup) ini ditembak dan ditenggelamkan saja. Saya ini sebenarnya salah satu victim," ujarnya kepada Dara Meutia Uning dari TEMPO dalam wawancara Rabu pekan lalu. Petikannya:
Akhir-akhir ini penyelundupan dengan modus pemutihan dokumen, termasuk dokumen Bulog, kian marak. Bulog tahu itu?
Gula putih selundupan itu umumnya masuk dari Malaysia, yakni melalui rute Kuching ke Pontianak atau dari Port Klang ke pesisir pantai Sumatera Utara. Setidaknya 20 ribu-30 ribu ton dikirim setiap bulan. Untuk mengangkut gula ke daerah konsumen di pulau lain, mereka membutuhkan dokumen. Dokumen bisa disulap, sehingga barang itu menjadi barang yang legal, dan tidak ada lagi kewenangan kepabeanan untuk mengecek itu.
Caranya?
Mereka memanfaatkan status perdagangan antarpulau. Dokumen para pedagang yang dulu menjadi distributor dolog (depot logistik, tangan Bulog di daerah—Red.) dipalsukan. Dokumen sah yang dikeluarkan dolog sebenarnya hanya berlaku sekali, tapi difotokopi dan digunakan kembali untuk melegalkan barang-barang yang ilegal itu. Padahal itu tidak sah.
Dari mana mereka memperoleh dokumen itu?
Itu dokumen resmi yang dipegang oleh pedagang. Jika ditunjuk menjadi distributor, Anda pasti memegangnya (namanya surat perintah setor atau SPS; perintah logistik dikeluarkan kantor pusat dan SPS dipegang kantor divisi regional di daerah—Red.). Tapi distributor yang nakal memfotokopinya, lalu menggunakannya untuk meredistribusi gula ke wilayah lain, baik gula dari Bulog maupun selundupan. Setiap kali ketangkep, SPS itu yang diperlihatkan. Ini yang terjadi dengan penyelundupan antarpulau.
Bulog sendiri punya kebijakan melakukan relokasi gula ke daerah lain?
Ya, bisa relokasi antar-pulau ataupun propinsi. Relokasi itu dilakukan ke tempat-tempat yang harga gulanya melambung. Sifatnya situasional.
Bukankah malah menambah biaya?
Selera konsumen bisa berubah-ubah. Biasanya satu daerah cukup dengan konsumsi 1.000 ton, tapi di saat lain melonjak. Lonjakan itu tidak bisa di-penuhi oleh pasar.
Bagaimana prosedur relokasi itu?
Bulog memberikan perintah logistik kepada distributor langsung dari kantor pusat. Perintahnya, misalnya, gula diambil dari Jakarta untuk ditujukan ke Sumatera Barat. Tapi kenyataannya bisa menyimpang. Gula tetap di Jakarta atau malah hanya sampai Lampung. Akibatnya, harga gula di pasar hancur karena terjadi oversupply. Inilah yang perlu pengendalian, monitoring, dari kepala divisi regional. Jangan sampai kita diakalin.
Seringkah penyimpangan seperti itu terjadi?
Sering terjadi. Dan Bulog juga sering mengambil tindakan. Hanya, akhir-akhir ini marak setelah Bulog tidak lagi mendistribusikan gulanya. Tepatnya sejak bulan Juli 2003. Kita sudah tidak bisa jualan gula lagi karena ada oversupply di dalam negeri. Salah satu penyebabnya adalah banyak gula ilegal di pasar.
Apakah daerah bisa mengambil ke- putusan mengenai relokasi gula?
Tidak bisa.
Di Jawa Timur, ada surat rekomendasi dari Kepala Divisi Regional Jawa Timur agar gula bisa masuk Surabaya dari Pontianak. Ternyata itu gula selundupan dan bukan gula Bulog. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
(Widjan membaca surat rekomendasi yang disodorkan TEMPO.) Ini resmi. Saya sudah tahu kasus ini. Jadi, ini prosedur normal untuk mempercepat pe-nyelesaian barang. Ternyata gula itu bukan milik Bulog, tapi gula selundupan yang menggunakan dokumen Bulog. Belakangan, gula selundupan ini ketahuan oleh Pak Muharto (Kepala Divisi Regional Jawa Timur), sehingga surat rekomendasi (kepada Gubernur Jawa Timur) itu dicabut kembali.
Apa antisipasi Bulog untuk menghindari distributor yang nakal?
Kami semakin ketat menunjuk distributor. Sebab, begitu seorang pedagang menjadi distributor, dia bisa memperdagangkan gula ke mana pun, dengan membawa dokumen sah dari Bulog. Saya melihat banyak pedagang yang akhir-akhir ini sekadar mencari untung. Mereka mengacak-acak pasar dengan meredistribusi gula ke daerah lain, yang bukan daerah distribusinya.
Sudah ada yang tertangkap tangan menggunakan dokumen Bulog palsu?
Sejauh ini, ada beberapa laporan dari kepabeanan di beberapa wilayah, khususnya wilayah Indonesia timur. Jumlahnya lebih dari sepuluh kasus. Saya sudah berbicara dengan Pak Dirjen Bea dan Cukai dan saya minta untuk di- tindaklanjuti. Mereka tak hanya menggunakan dokumen Bulog, tapi juga ada beberapa dokumen importir.
Sanksi apa yang dapat dikenakan pada distributor yang nakal?
Kami berhentikan. Kami cabut izinnya dan mereka tak diikutkan lagi. Kami memiliki 156 distributor di seluruh Indonesia. Mereka semua kami pantau.
Anda yakin tak ada orang Bulog yang terlibat penyelundupan gula ini?
Mudah-mudahan tidak ada. Jika ada, saya tindak. Saya pecat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo