SAHAM PT Indocement Tunggal Prakarsa di bursa pekan lalu tampak tak bergetar. Kurs tetap bertahan pada harga Rp 10.200 persaham. Padahal, asetnya pada akhir tahun 1992, yang diumumkan pekan lalu mencapai Rp 4.795 miliar, menggelembung 218 persen bila dibandingkan dengan tahun 1991. Tampaknya harga Rp 10.200 itu masih kemahalan. Sebab semua saham Indocement yang berjumlah 598 juta lembar mencatat nilai buku rata-rata Rp 8.000 per lembar. Itu pun setiap saham mengandung beban utang 74%. Padahal, tahun 1991, ketika aset perusahaan tercatat Rp 2.151 miliar, perbandingan modal sendiri dengan utang justru lebih kuat, yakni 70:30. Saratnya beban utang Indocement tentu tak terlepas dari biaya akuisisi yang dilakukannya atas PT Bogasari Flour Mill (100%), industri pangan Indofood Group (51%), dan Wisma Indocement (51%) dengan mengutang dari BCA. Akibat dari akuisisi tadi, pendapatan Indocement memang ikut menggelembung dari Rp 771 miliar tahun 1991 menjadi Rp 2.136 miliar tahun 1992. Bogasari, yang memonopoli penggilingan gandum, sering disebut-sebut sebagai mesin cetak uang. Tapi ternyata tidak. ''Core business (bisnis inti) untuk laba masih pada Indocement,'' kata Direktur Keuangan, Judiono Tosin. Laba bersih Indocement tahun 1991 tercatat Rp 308 miliar, sedangkan laba konsolidasi (termasuk tiga perusahaan yang telah dicaplok) tahun 1992 cuma naik Rp 19 miliar. Kenaikan yang relatif kecil ini (6%) agaknya karena Indocement antara lain harus membayar bunga Rp 189 miliar. Terhitung sejak tahun lalu untuk pertama kali PT Indocement juga mulai membayar pajak penghasilan (PPh) Rp 42 miliar. Namun, untuk tahun 1993, Tosin yakin bahwa penampilan Indocement akan lebih baik. Permintaan dalam negeri diharapkan meningkat, dan beban bunga sudah turun. Ia belum menjelaskan berapa besar dividen yang akan dibagikan. Tahun lalu laba per saham tercatat Rp 557, atau Rp 49 lebih besar dari tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini