KELEBIHAN suplai ternyata tidak hanya menimpa cengkeh dan gabah. Belakangan baru diketahui kawasan industri juga mengalaminya. Dua pekan lalu, Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo menyatakan akan segera mencabut izin 25 perusahaan pengelola kawasan industri. Alasan pencabutan itu, menurut Tungky, karena perusahaan yang telah mengantongi izin tersebut, dalam jangka waktu dua tahun, sesuai dengan peraturan, belum juga melakukan kegiatan, seperti pembebasan tanah, penyedian sarana, dan prasarana. ''Tindakan ini terpaksa dilakukan. Daripada mubazir, ya, lebih baik dicabut saja,'' kata Tungky. Tindakan yang akan dilakukan Pemerintah tersebut tentu saja bukan tanpa dasar. Menghadapi bisnis yang lagi mode itu, Departemen Perindustrian telah membuat klasifikasi bagi perusahaan yang telah mengantungi izin. Yakni, klasifikasi tidak serius, kurang serius, dan cukup serius. Ke-25 perusahaan yang izinnya dicabut itu semuanya termasuk dalam klasifikasi tidak serius. Untuk perusahan yang masuk dalam dua klasifikasi terakhir, ada 30 perusahaan, Pemerintah hanya memberi peringatan. Sayangnya, Tungky enggan menyebutkan nama perusahaan yang dicabut izinnya. Namun, katanya, 80% dari kawasan industri yang dicabut izinnya itu berada di daerah Jawa Barat. Lebih tepatnya lagi, mereka tersebar di Kabupaten Serang, Tangerang, dan Cirebon. ''Tidak etis untuk menyebutkan namanya,'' kata Tungky kepada Iwan Qodar dari TEMPO. Tapi, benarkah yang masuk dalam kategori tidak serius cuma 25? Mengambil contoh di Batam saja, dari delapan kawasan industri yang ada, yang benar-benar sudah jalan baru Batamindo, Kabil, dan Kuang Hwa Industrial Park. Selebihnya berbentuk tanah kosong, bahkan ada yang masih berupa hutan belantara. ''Mereka juga belum apa-apa. Padahal, izin sudah dipegang 34 tahun yang lalu,'' kata sebuah sumber di Otorita Batam. Juga menurut data Himpunan Kawasan Industri (HKI), per Januari 1993, dari 128 perusahaan pengelola kawasan industri, ternyata hanya 37 perusahaan yang benar-benar sudah beroperasi. Selebihnya, selain tidak jelas statusnya, sebagian besar memang sedang menyelesaikan perizinan. Bisnis kawasan industri memang menjamur ketika Pemerintah mengeluarkan Keppres 53/1989, dan Departemen Perindustrian mengeluarkan Surat Keputusan 291/1990. Maklum, selain PMA yang menanamkan modalnya di Indonesia jumlahnya melonjak naik, rupiah pun ketika itu mudah diperoleh. Sayangnya, tidak jarang ada pula pengusaha yang terjun di usaha ini karena latah. ''Pengusaha kita ketika itu memang kalap. Yang penting serbu dan miliki dulu,'' kata Ketua HKI, Halim Shahab. Bahkan, tambah mantan direktur Jakarta Industrial Estate Pulogadung ini, beberapa kawasan malah dikuasai oleh spekulan tanah. Maksudnya, mereka membebaskan tanah dengan harga murah, dan menjualnya kembali ketika harga tinggi. Perusahaan yang nakal seperti itu diperkirakan jumlahnya mencapai belasan. Sebenarnya para spekulan itu bisa ditekan seandainya Pemerintah sendiri tidak memberi peluang. Dalam Keppres 53/1989, misalnya, Pemerintah tidak membatasi pengusaha untuk menguasai lahan kawasan industri. ''Saya ketemu spekulan yang ternyata berhasil mendapat rekomendasi dari bupati,'' kata Halim. Bukan hanya itu saja, Pemerintah juga tidak melihat kemampuan keuangan calon pengusaha pengelola kawasan industri. Nah, kalau kelemahan-kelemahan itu tak segera diatasi, surat izin bisnis menjual kawasan industri masih mudah didapat. Jadi, selain mencabut izin, Pemerintah sudah waktunya membenahi peraturan perizinan pengelolaan kawasan industri. Bambang Aji dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini