Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bom Waktu Lonjakan Petani Gurem

Lonjakan jumlah petani gurem dikhawatirkan menekan produktivitas pertanian. Indonesia berisiko makin bergantung pada impor.

6 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani tengah menanam padi di area persawahan kering di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa barat, 5 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jumlah petani gurem terus melonjak dalam satu dekade terakhir.

  • Pertambahan jumlah petani gurem terjadi karena masifnya alih fungsi lahan sawah.

  • Produksi beras Indonesia mengalami tren menurun seiring dengan luas panen yang menyempit.

HASIL Sensus Pertanian yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal pekan ini menguatkan dugaan ihwal kian berkurangnya lahan subur pertanian di Tanah Air dari waktu ke waktu. Salah satu indikatornya adalah kenaikan drastis jumlah petani gurem alias petani dengan lahan di bawah 0,5 hektare. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem bertambah, dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga petani di Indonesia meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkurangnya lahan subur pertanian juga diestimasikan Badan Pangan Nasional. Dalam sebuah forum diskusi, kemarin, Direktur Ketersediaan Badan Pangan Nasional Budi Waryanto mengatakan indikator lain dari kondisi tersebut adalah fenomena harga beras yang terus tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Produksi beras setiap tahun pun relatif stagnan, bahkan turun sejak 2019.

“Saya lihat sejak 2017, sudah berapa kilometer jalan tol terbangun. Itu sudah menyebabkan konversi lahan. Satu hektare lahan diestimasikan bisa menghasilkan 5 ton beras. Itu belum ada penggantinya di luar Jawa,” ujar Budi. Masifnya alih fungsi lahan itu menyebabkan naiknya jumlah petani gurem. “Kalau ini tidak dikelola, tentu akan menjadi bom waktu di kemudian hari.”

Petani menanam bibit kentang di perbukitan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Menyitir data BPS, sejak 2019, produksi gabah berada di kisaran 54 juta ton per tahun. Angka itu turun dibanding pada 2018 yang sebesar 59,2 juta ton. Tahun ini, produksi gabah diperkirakan hanya 53,63 juta ton, turun dari angka tahun lalu yang sebanyak 54,75 juta ton. Tren menurun produksi gabah ini sejalan dengan tren penurunan luas panen di Tanah Air, dari 11,38 juta hektare pada 2018 menjadi 10,19 hektare pada 2023.

Sekretaris Utama Badan Pusat Statistik Atqo Mardiyanto membenarkan bahwa jumlah petani gurem kian meningkat karena konversi lahan. Kondisi ini juga berkaitan dengan kian berkurangnya lahan pertanian. “Bisa dijual, bisa diwariskan. Kalaupun diwariskan, bisa jadi tidak untuk pertanian lagi.” 

Data BPS menunjukkan tiga provinsi dengan jumlah petani gurem terbanyak adalah Jawa Timur sebanyak 4,55 juta rumah tangga; Jawa Tengah 3,54 juta rumah tangga; dan Jawa Barat 2,63 juta rumah tangga. Ironisnya, ketiga provinsi itu merupakan penghasil beras terbesar di Indonesia.

Selain jumlah petani gurem, jumlah petani pengguna lahan alias petani penggarap tanpa kepemilikan lahan meningkat 7,25 persen dalam satu dekade. Angka rumah tangga usaha tani kelompok ini meningkat dari 25,75 juta rumah tangga menjadi 27,76 juta rumah tangga. 

Sektor Pertanian Semakin Ditinggalkan

Pemerhati pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mewanti-wanti bahwa peningkatan jumlah petani gurem menjadi penanda jumlah orang miskin dari sektor pertanian kian bertambah. Dengan mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektare, penghasilan dari sektor pertanian dipastikan tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. 

Bagi mereka yang berlahan gurem, bahkan di bawah 0,2 hektare, Khudori memperkirakan pendapatan dari sektor pertanian tidak lagi penting. Mereka justru akan menggantungkan kelangsungan hidup keluarga pada pendapatan dari sektor non-pertanian. “Bagi rumah tangga demikian, bekerja di sektor pertanian hanya sebagai sambilan.”

Meningkatnya jumlah petani gurem hanyalah satu dari beberapa persoalan yang terungkap dari Sensus Pertanian. Persoalan lain adalah turunnya jumlah unit usaha pertanian di Indonesia sebesar 7,42 persen, dari 31,71 juta unit pada 2013 menjadi 29,36 juta unit pada tahun ini. Khusus untuk unit usaha pertanian perorangan (UTP), jumlahnya turun 7,45 persen dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit.

Kondisi itu berkebalikan dengan jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum (UPB) yang naik 35,54 persen dari 4.209 unit menjadi 5.705 unit. Kenaikan juga terjadi pada jumlah usaha pertanian lainnya (UTL) dari 5.982 jadi 12.926 unit. Masalahnya, kata Khudori, di tengah penurunan jumlah unit usaha pertanian, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pada 2023 justru meningkat 8,74 persen. 

Hal ini membuat rasio UTP terhadap RUTP turun dari 1,21 pada 2013 menjadi 1,03 pada 2023. Artinya, sementara pada 2013 ada 21 petani yang memiliki usaha pertanian dari total 100 petani, kini jumlahnya tinggal tiga petani. Ini memperlihatkan banyaknya petani yang telah meninggalkan sektor pertanian. “Entah sukarela atau terpaksa oleh keadaan,” kata Khudori.
  
Dari segi usia, jumlah petani berusia 25-34 tahun menurun dari 11,97 persen pada 2013 menjadi 10,24 persen pada 2023. Begitu pula jumlah petani berusia 35-44 tahun menurun dari 26,34 persen pada 2013 menjadi 22,08 persen pada tahun ini. Proporsi petani berusia di atas 55 tahun justru meningkat. 

Khudori menyimpulkan, hasil sensus tersebut menunjukkan para pelaku sektor pertanian kini semakin tua dan mengalami “guremisasi”. Tanpa adanya upaya signifikan dari pemerintah, ia yakin sektor pertanian akan semakin terpuruk, pelakunya semakin miskin, dan sektor ini pun akan ditinggalkan. Bila hal itu terjadi, impor pangan akan membengkak dan menyedot devisa negara. 

Padahal, kata dia, menggantungkan pangan pada impor atau pasar dunia juga amat berisiko. “Kecenderungan sikap proteksionis negara-negara eksportir pangan akan membuat instabilitas harga pangan menjadi keniscayaan dan krisis pangan bakal berulang.”

Petani mengoperasikan mesin perontok padi saat panen di Kampung Tegal Sumedang, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 26 September 2023. TEMPO/Prima Mulia

Biaya Pertanian Membengkak

Kekhawatiran serupa disampaikan peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics, Eliza Mardian. Kenaikan jumlah petani gurem membuat produktivitas pertanian sulit digenjot. Pasalnya, para petani dengan lahan kecil biasanya memiliki keterbatasan kapasitas ekspansi karena modal dan teknologi yang kurang memadai. 

“Jika jumlah petani gurem semakin meningkat, pertanian akan semakin tidak efisien karena tidak bisa mencapai economies of scale, di mana biaya produksi per unit menjadi lebih hemat ketika volume produksi meningkat,” kata Eliza. Jika lahan semakin sempit, biaya yang dikeluarkan per satuan unit akan relatif mahal.

Skema pertanian yang tidak efisien membuat keuntungan bagi petani gurem semakin tipis. Jika keuntungan semakin tipis, mereka pun tidak punya modal untuk melakukan ekspansi, menambah keahlian dengan berbagai pelatihan, hingga membeli teknologi untuk bisa membantu mereka lebih efisien.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abu Bakar mengatakan 60 persen petani di wilayahnya adalah petani gurem yang kerap menyewa lahan dan berpindah-pindah. Petani semacam ini bisa mendapat keuntungan jika produktivitas dan harga gabah tinggi.

Masalahnya, biaya yang harus dikeluarkan petani pun kian mahal. Apalagi para petani gurem yang lahannya berpindah-pindah tak mudah mengakses pupuk bersubsidi lantaran belum semuanya tergabung dalam kelompok tani. Walhasil, modal bertani mereka pun membengkak karena harus membeli pupuk non-subsidi. “Kan perbedaan harganya tinggi,” ujar Tasrip.

Atas berbagai persoalan itu, Budi Waryanto mengatakan Badan Pangan Nasional tengah mendorong Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) membentuk ekosistem pertanian, dari budi daya hingga penyerapan. Bulog dapat menggandeng para petani kecil dengan skema tertentu, dengan harga dan efisiensi yang diatur oleh pemerintah. Skema tersebut dianggap bisa membantu pemenuhan cadangan pangan pemerintah dari produksi domestik. 

Jika cadangan beras ditargetkan 2,4 juta ton per tahun, diperlukan sawah seluas 500 ribu hektare dengan produktivitas 5 ton pada satu musim tanam. Budi mengatakan Bulog telah memulai skema ini dengan lahan 47 hektare, meski hasilnya belum optimal. “Kami akan teruskan ke depan dan diperluas,” ujar Budi. Jika skema ini berjalan, petani gurem bisa mendapat manfaat. Bulog pun tidak lagi harus berhadapan dengan pihak swasta dalam menyerap gabah petani. “Adanya sensus menjadi catatan bahwa kita harus mengubah strategi (pertanian) karena pembangunan tidak bisa disetop.”

CAESAR AKBAR | YOHANES MAHARSO | IVANSYAH (CIREBON)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus