Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR akan menggunakan hak angket untuk menyelisik kecurangan Pemilu 2024.
Investor waswas terhadap potensi gejolak politik seusai Pemilu 2024.
Gejala inflasi memperburuk sentimen pasar selepas pemilu.
POLITIK dalam negeri Indonesia kian bergejolak. Pemicunya adalah rencana sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai-partai politik pendukung pasangan calon presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menggulirkan hak angket. Jika DPR benar-benar memakai hak ini, pergulatan politik yang biasanya berlangsung di balik layar kaum elite akan berubah menjadi perang terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sentimen di pasar finansial bisa naik-turun, ajrut-ajrutan, selama sidang-sidang berlangsung. Hak angket adalah wewenang DPR untuk memeriksa pejabat pemerintah, termasuk presiden, berdasarkan Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan hak itu, anggota DPR dapat mengajukan pertanyaan, meminta keterangan, hingga memeriksa dokumen-dokumen untuk menyelidiki dugaan penyimpangan ataupun pelanggaran hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini, DPR berniat memeriksa tudingan terjadinya berbagai kecurangan selama proses Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Ini tuduhan serius yang dalam penilaian sebagian pakar hukum tata negara sudah tergolong pelanggaran undang-undang, bahkan konstitusi. Walhasil, persidangan hak angket di DPR akan menjadi semacam “pengadilan politik” terhadap Presiden Joko Widodo.
Namun, hingga akhir pekan lalu, masih belum pasti apakah DPR akan memakai hak angket. Tarik-ulur di antara sesama partai pendukung penggunaan hak angket bahkan masih berlangsung. Sementara Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera terlihat sudah sepakat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tampaknya masih belum bertekad bulat.
Di sisi lain, Jokowi dan pendukungnya juga keras berupaya menggagalkan penggunaan hak angket itu melalui berbagai manuver, lobi, ataupun tekanan politik terhadap pemimpin partai. Sebetulnya, kalau toh akhirnya DPR benar-benar memakai hak angket, kecil kemungkinan proses itu dapat menghasilkan keputusan politik yang signifikan, seperti pemakzulan presiden. Waktu yang tersisa hingga pelantikan presiden baru juga sangat sempit untuk melanjutkan proses pemakzulan.
Kendati demikian, “pengadilan politik” pada pemerintahan Jokowi bakal makin melemahkan legitimasi pemerintah. Jalannya pemerintahan hingga Oktober mendatang bakal tertatih-tatih. Proses penyusunan anggaran 2025, misalnya, sulit berjalan baik jika pemerintah dan DPR tengah berseteru. Entah bagaimana pula kualitas anggaran yang disusun di tengah prahara politik seperti ini.
Selain itu, penggunaan hak angket DPR bakal makin melemahkan legitimasi pemerintahan Prabowo-Gibran kelak. Apalagi jika persidangan hak angket mengkonfirmasi terjadinya kecurangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pemilu. Kondisi politik akan kian panas jika gerakan protes massa di jalanan ikut menguat.
Sebagai catatan penting: mayoritas kelompok masyarakat sipil, termasuk kaum intelektual dan guru-guru besar, punya pandangan serupa tentang kecurangan dan penyalahgunaan aparat negara dalam penyelenggaraan pemilu. Partai-partai politik dan kelompok sipil, yang biasanya kerap bertentangan jalan, kali ini bisa bergandengan karena punya musuh bersama.
Konflik politik terbuka dalam magnitudo sebesar ini sudah lama tak terjadi di Indonesia. Sudah lebih dari 23 tahun, sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri, pasar finansial menikmati iklim politik yang relatif stabil. Ancaman goyahnya stabilitas politik ini membuat investor harus makin berhati-hati, memilih menunggu dan melihat dulu sebelum mengambil keputusan investasi.
Celakanya, dalam dua pekan terakhir, sentimen di pasar global juga terus berubah-ubah. Optimisme bahwa bunga The Federal Reserve akan turun dengan cepat di tahun ini mendadak menguap. Sebaliknya, muncul lagi perkiraan bunga The Fed bisa naik lagi. Ini kabar buruk bagi Indonesia.
Ada pula ancaman inflasi, terutama inflasi pangan karena melambungnya harga beras. Pasokan beras bahkan sempat menghilang di berbagai toko retail modern. Kelangkaan pasokan dan lonjakan harga beras berisiko memicu keresahan publik. Walhasil, gejolak di arena politik bisa makin keras, memperburuk sentimen pasar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Waswas Pasar Lantaran Hak Angket"