Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Subsidi Bus Perkotaan Dipangkas. Apa Dampaknya bagi Masyarakat

Kementerian Perhubungan memangkas anggaran subsidi angkutan bus perkotaan lebih dari 50 persen. Konsumen terkena dampaknya.

22 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Armada Batik Solo Trans melintas di Jalan Slamet Riyadi Solo, Jawa Tengah, 21 Januari 2025. TEMPO/Septhia Ryanthie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kementerian Perhubungan memangkas anggaran subsidi angkutan massal bus perkotaan.

  • Tidak semua daerah siap dengan pemangkasan subsidi ini.

  • Pencabutan subsidi bisa berimbas pada kehidupan sosial: meningkatkan kemacetan, angka putus sekolah, hingga inflasi.

KEMENTERIAN Perhubungan memangkas alokasi dana subsidi angkutan massal bus perkotaan 2025. Anggaran subsidi pembeli layanan atau buy the service (BTS) tahun ini dipotong lebih dari 50 persen, dari Rp 437,9 miliar pada 2024 menjadi Rp 177,5 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2025, subsidi angkutan massal bus perkotaan hanya dilanjutkan di enam kota, yaitu Palembang, Surakarta, Makassar, Banyumas, Surabaya, dan Balikpapan. Pemberian subsidi ditambah untuk dua kota baru, yakni Manado dan Pontianak. Setiap kota mengantongi besaran subsidi yang berbeda, dari Rp 8,7 miliar hingga Rp 37,6 miliar. Sementara itu, pada tahun lalu, subsidi ini disalurkan ke 11 kota dengan total 46 koridor. 

Berdasarkan data Direktorat Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan pada Januari 2025, total penumpang yang terangkut sejak beroperasi pada Juni 2020 hingga 2023 mencapai 72.138.046 orang. Total penjualan tiket atau tarif yang dibayar oleh penumpang sebesar Rp 58,54 miliar.

Besaran subsidi angkutan massal bus perkotaan mulai turun sejak 2024. Sebelumnya, subsidi yang disalurkan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada 2020, subsidi diberikan untuk lima kota dengan 19 koridor sebesar Rp 49,93 miliar. Subsidi meningkat pada 2021 menjadi Rp 311,71 miliar untuk lima kota dan 26 koridor. Pada 2022, subsidi diberikan untuk 10 kota dengan 51 koridor sebesar Rp 546,95 miliar. 

Merujuk pada nota kesepahaman Kementerian Perhubungan dengan pemerintah daerah, kegiatan BTS per 2025 tidak sepenuhnya disuntik subsidi. Jadi pemerintah daerah harus secara mandiri memenuhi biaya program angkutan massal bus di kota masing-masing. 

"Kami berharap tiap pemda dapat memaksimalkan anggarannya untuk penyelenggaraan angkutan massal perkotaan ini," ucap pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Ahmad Yani, dalam keterangan resminya pada Rabu, 1 Januari 2025. Dia juga meminta pemerintah daerah lebih mensosialisasi kepada masyarakat perihal kesadaran untuk menggunakan angkutan umum.

Beberapa daerah sudah ada yang mulai mengoperasikan bus kota secara mandiri. Misalnya di Medan, sistem Trans Metro Deli yang beroperasi dengan lima koridor dan 72 bus, seluruhnya telah dioperasikan oleh pemerintah daerah sejak 16 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun tidak semua daerah siap dengan pemangkasan subsidi ini. Salah satunya Kota Surakarta, Jawa Tengah. Kepala Dinas Perhubungan Kota Surakarta Taufiq Muhammad mengungkapkan pemotongan subsidi langsung berimbas pada operasi armada Batik Solo Trans (BST) di Kota Bengawan itu. Per 1 Januari 2025, jam operasional BST dikurangi.

Di Surakarta, Taufik menjelaskan, terdapat 12 koridor layanan angkutan umum, yang terdiri atas enam koridor bus besar BST dan enam koridor pengumpan atau feeder. Enam koridor yang dilayani bus besar BST mencakup wilayah aglomerasi sehingga jangkauannya tidak hanya terbatas di Surakarta, tapi juga meliputi wilayah sekitarnya.

Contohnya BST dengan rute hingga Bandar Udara Adi Soemarmo yang berada di Kabupaten Boyolali serta beberapa kawasan di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, juga Palur, Kabupaten Karanganyar. Karena jangkauan BST yang luas, Taufik meminta pemerintah pusat tetap menyuntikkan dana untuk layanan BST. 

"Kalau angkutan kota yang feeder, tidak apa-apa kami ambil alih. Namun, untuk bus BST, karena semua rutenya aglomerasi, kami mengharapkan ada kebijakan dari pemerintah pusat untuk tetap mengalokasikan subsidi," tutur Taufiq saat ditemui Tempo di kantornya, di Surakarta, Selasa, 21 Januari 2025.

Pemerintah kemudian setuju mengalokasikan subsidi angkutan massal untuk tiga koridor yang dilayani bus besar BST. Dengan begitu, biaya untuk sembilan koridor lain bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah Surakarta. Taufik menyebutkan alokasi biaya BST dari APBD Kota Surakarta sekitar Rp 23 miliar. 

Sekarang semua koridor yang ada masih tetap berjalan. Hanya, dari teknis layanan operasionalnya, tutur Taufik, tentunya berbeda dengan ketika semuanya masih dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jam operasional bus BST dan feeder BST yang dulu dimulai pada pukul 05.00 WIB hingga 21.00 WIB, kini hanya sampai pukul 18.00 WIB.

Bus Trans Metro Dewata yang telah berhenti beroperasi, di Terminal Ubung, Denpasar, Bali, 2 Januari 2025. ANTARA/Fikri Yusuf

 
Jumlah armada BST pun turut dikurangi. Satu koridor yang dulu dilayani 16 bus kini hanya dilayani delapan atau sembilan bus. Perubahan ini berdampak langsung pada waktu tunggu penumpang, yang tadinya hanya sekitar 5 menit menjadi 10 menit.

Taufik menuturkan banyak warga yang mengeluhkan perubahan jam operasional tersebut. Misalnya, anak-anak sekolah yang terlambat karena waktu tunggu yang lebih lama. Ia tak menampik bahwa pihaknya kewalahan jika harus membiayai dan mengelola angkutan ini sepenuhnya. "Kalau disuruh meng-handle seluruhnya, tentunya Pemerintah Kota Surakarta juga berat karena memang konteks operasional angkutan ini adalah untuk layanan, bukan ke bisnis," ucapnya. 

Salah seorang pelanggan BST, Eddy J. Soetopo, mengatakan keberadaan BST, baik bus maupun feeder, memang sangat membantu masyarakat. Menurut dia, adanya perubahan jam operasional BST cukup memusingkan. Terlebih, ia memiliki jadwal rutin pemeriksaan kesehatan dan kontrol ke rumah sakit. 

"Dulu kan beroperasi sampai malam. Sekarang dibatasi hanya sampai pukul 5 atau 6 sudah harus balik kandang (garasi bus). Itu kan nyebelin," kata Eddy. "Saya kalau ke rumah sakit jadi harus menunggu bus agak lama."

Di Surabaya, Jawa Timur, pemerintah daerah setempat telah mengambil alih satu koridor sejak Juli 2024, yakni rute Kejawan Putih Tambak-Unesa. “Sehari rata-rata 3.600 penumpang dan tidak ada kendala yang berarti,” kata Ketua Tim Angkutan Jalan dan Terminal Dinas Perhubungan Kota Surabaya Ali Mustofa.

Sementara itu, Kementerian Perhubungan masih mengelola satu koridor rute Purabaya-Kenpark. Ali berharap rute ini tetap dikelola Kementerian. Sebab, Pemerintah Kota Surabaya ingin berfokus mengembangkan feeder di dalam kota.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. ANTARA/Dewanto Samodro


Adapun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan pengurangan subsidi untuk angkutan umum bus perkotaan. "Ini merupakan langkah mundur yang berdampak serius terhadap pelayanan angkutan umum, baik di daerah maupun di kota-kota besar," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi kepada Tempo, Selasa, 21 Januari 2025. 

Tulus berpendapat pemangkasan subsidi bisa memicu kenaikan tarif angkutan umum. Imbasnya, masyarakat akan beralih ke kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Padahal sepeda motor merupakan moda transportasi yang paling sering mengalami kecelakaan lalu lintas. Data dari Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korlantas Polri mencatat kecelakaan sepanjang Januari hingga Oktober 2024 didominasi sepeda motor dengan 169.559 kasus. 

Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno mengimbuhkan, pengurangan subsidi angkutan massal bus perkotaan akan sangat merugikan masyarakat, terutama kelas bawah. Sebab, transportasi publik merupakan sarana mobilitas yang terjangkau. "Pengurangan subsidi bagi transportasi publik menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat kelas bawah," tuturnya kepada Tempo pada Selasa, 21 Januari 2025. 

Ketika pengurangan subsidi terjadi, tutur Agus, ada kemungkinan biaya tersebut akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan tarif yang signifikan. Jika hal itu terjadi, masyarakat akan berhitung untung-rugi menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi publik. Hal inilah yang akan mendorong masyarakat meninggalkan transportasi publik dan memilih kendaraan pribadi. 

Menurut Agus, kondisi ini berisiko meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak sehingga kebutuhan subsidi BBM pun akan makin besar. Sebab, selisih biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk menggunakan transportasi publik tanpa subsidi jauh lebih tinggi dibanding kendaraan pribadi. 

Bank Dunia merilis pengeluaran ideal untuk sektor transportasi sekitar 10 persen dari pendapatan. Sedangkan saat ini pengeluaran masyarakat Indonesia untuk transportasi mencapai 25-35 persen dari pendapatan. Alih-alih mengurangi subsidi, Agus menilai semestinya pemerintah memangkas pengeluaran masyarakat ini dengan transportasi publik yang nyaman, aman, dan murah.

Di sisi lain, Agus menekankan komitmen pemerintah daerah sangat penting untuk membangun transportasi publik. Program transportasi publik dengan BTS yang diluncurkan pemerintah sejak 2020 harus mulai sepenuhnya diambil alih oleh daerah, termasuk dalam pembiayaan kegiatan operasional. Untuk itu, pemerintah daerah harus lebih kreatif mengembangkan pendapatan nontiket. Misalnya lewat pemasangan iklan atau kemitraan pembayaran digital untuk menopang pelayanan dan biaya operasional.

Pengurangan subsidi untuk angkutan massal bus perkotaan menjadi sorotan sejumlah pakar transportasi. Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai langkah ini dapat mempersempit akses masyarakat ke moda transportasi. Di Indonesia, dampak sosialnya bisa jauh lebih luas, seperti putus sekolah, yang berpengaruh pada peningkatan angka pernikahan dini dan kasus stunting.

Dari 552 pemerintah daerah di seluruh Indonesia, MTI mencatat hingga saat ini baru 14 kota yang angkutan umumnya dibenahi. Jika subsidi untuk angkutan umum seperti bus perkotaan diturunkan, Djoko khawatir progres penyediaan transportasi publik di Tanah Air akan makin lambat.

Padahal, tutur Djoko, keberadaan angkutan umum berperan penting dalam mengendalikan tingkat inflasi daerah. Contohnya di Palembang, program Angkot Feeder Musi Emas berkontribusi pada pengendalian inflasi dan pengurangan kemiskinan ekstrem. Dinas Perhubungan Palembang mengklaim masyarakat merasa terbantu dalam menjalani aktivitas sehari-hari karena tarif angkutan ini gratis.

Contoh lain, bus angkutan perintis di Kabupaten Kutai Kartanegara, yang melayani trayek Samarinda-Kembang Janggut, diperpanjang ke Tabang melalui SK Bupati. Trayek ini diberi subsidi sebesar Rp 140 juta per tahun dan telah berjalan selama empat tahun. Menurut Djoko, operasi bus ini menjadi salah satu upaya pemerintah daerah yang berhasil dalam mengendalikan inflasi dengan memanfaatkan anggaran yang disediakan setiap tahun.

Meski menimbulkan dampak negatif, guru besar bidang transportasi Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, menilai pengurangan subsidi juga berdampak positif apabila operator melakukan langkah efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Menurut dia, hal itu akan mendorong operator memperbaiki perencanaan serta operasi yang lebih optimal meski dengan subsidi yang berkurang. 

Pasalnya, subsidi untuk operator bukan subsidi langsung bagi penumpang. Jika operator mampu menjawab tantangan dengan berbagai terobosan agar tetap mampu memberikan layanan publik dengan standar pelayanan minimum yang telah disepakati, menurut Sutanto, tidak ada alasan bagi penumpang untuk meninggalkan layanan yang tersedia.

Kendati demikian, Sutanto tidak menampik soal potensi kenaikan tarif setelah pengurangan subsidi ini. Karena itu, dia menyarankan operator menghitung kenaikannya secara cermat dengan mempertimbangkan ukuran kinerja pelayanan yang wajar.

Septhia Ryanthie di Solo dan Hana Septiana di Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Septhia Ryanthie di Solo dan Hana Septiana di Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus