BERTAMBAH juga uang kita. Senin siang Dir-Ut Pertamina, Piet
Haryono, mengungkapkan sejak jam 00.00 Selasa pekan ini, harga
minyak ekspor Indonesia naik rata-rata sebesar dua dollar AS.
Dari daftar harga baru itu nampak, bahwa harga terendah minyak
bumi Indonesia adalah US$ 29,45 tiap barrel (untuk jenis
"Udang"), sedang harga tertinggi adalah US$ 34,75 (untuk jenis
"NSC-Arum Condensed"). Sedang jenis Sumatran Light Crude (SLC)
yang menjadi patokan, naik dari US$ 29,50 menjadi US$ 31,50 per
barrel.
Rupanya itulah langkah lanjutan dari pertemuan para wakil OPEC
di Taif. Dalam sidang OPEC yang ke-56 di kota peristirahatan
musim panas di Arab Saudi itu, yang berakhir dua pekan lalu, ada
usaha memperdekat dua tingkat harga yang selama ini berlaku di
kalangan negara-negara pengekspor minyak. Harga jenis minyak
Arabian Light Crude, yang ditentukan Arab Saudi, adalah US$ 26
tiap barrel. Sementara itu Iran dengan galak pasang harga sampai
US$ 35.
Di Bawah Harga
Arab Saudi akhirya menyatakan bersedia menaikkan haga
minyaknya-kalau saja negeri seperti Iran, Aljazair dan Libya mau
menurunkan harga mereka. Dan ia memang pekan lalu menaikkan
harga sekitar 8%. Kenaikan ini berarti US$ 2 untuk jenis Arabian
Light Crude --yang jadi patokan minyak kasar OPEC -- hingga
menjadi US$ 28.
Banyak pengamat memperhitungkan, bahwa ini baru langkah awal
Saudi. Keputusan yang berlaku surut sampai dengan 1 April itu
kemungkinan besar akan diperbaharui. "Dengan harga US$ 28,"
kata seorang ahli ekonomi senior di Petroleum Industry Research
Foundation, "minyak Saudi masih tetap di bawah harga, bila
dibanding dengan minyak kasar yang lain.
Karena itulah didug menjelang atau dalam bulan Juni nanti Arab
Saudi akan menaikkan harga lagi. Tanggal 9 Juni nanti di Aljier,
Aljazajr, direncanakan pertemuan lanjutan OPEC. Ikhtiar
penyatuan harga pada saat itu diharapkan sudah makin mendekati
hasil.
Yang jadi pertanyaan akankah Iran, Libya dan Aljazair bersedia
menurunkan harga tinggi mereka. Nampaknya mustahil. Tapi jika
turun tak mungkin, naik lebih tinggi dari US$ 35 juga akan
sulit. Pasaran minyak sedang butek. Iran dikabarkan sedang sulit
menjual hasil produksinya yang mahal itu.
Diam-diam
Adanya keseragaman harga di kalangan OPEC tentu saja penting,
untuk menjaga posisi para negara pengekspor minyak dalam tawar
menawar dengan negara konsumen. Apalagi persatuan antara negara
konsumen, dalam hal ini negara-negara industri nampak mulai
efektif -- walaupun sulit. Ketika terdengar bahwa pemerintah
Jepang, misalnya, merestui perusahaan swasta negeri itu untuk
secara diam-diam bersedia membeli minyak Iran yang US$ 35,
Amerika Serikat merengut. Cepat-cepat saja Kementerian
Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang membantah
kabar itu.
Semua negeri konsumen dapat saja bertahan untuk hanya mau
membeli minyak dengan harga yang tidak setinggi Iran, asal
selisih begitu besar anrara harga yang dipasang pelbagai negara
OPEC (dan asal produksi cukup). Selisih itulah yang dicoba
dikurangi Arab Saudi, dan kini oleh Indonesia. Tentu saja harga
OPEC tak bakal seragam betul. Tapi sebuah sumber di Kuwait
menyatakan, "selisih harus makin kecil-dan harga yang ditentukan
Iran akan jadi harga tertinggi."
Jika Arab Saudi kemudian ternyata dalam bulan Juni menaikkan
harga lagi, dapat diramalkan negeri lain juga akan ikut. Kuwait
sudah siap. Mungkin juga Indonesia. Yang jadi soal kemudian
ialah: apa yang harus dilakukan dengan bertambahnya uang hasil
penjualan minyak itu?
Indonesia, seperti tercantum dalam Rencana Anggaran Pendapatan
Belanja Negara tahun 1980-1981, memperhitungkan akan mengisi
pendapatannya sebesar Rp 10,5 trilyun. Dari jumlah itu, Rp 6,4
trilyun berasal dari ekspor minyak. Ini, menurut Menteri
Sumarlin kepada TEMPO Januari 1980 yang lalu, berdasarkan asumsi
bahwa harga minyak 1980-1981 rata-rata US$ 30 tiap barrel. Harga
baru yang mulai berlaku pekan ini memang belum jauh di atas
perkiraan tadi. Tapi kecenderungan naik sudah terang benderang.
Jadi, memang bertambah juga uang kita. Tanpa banyak usaha. Dan
yang jelas bukan dalam bentuk rupiah yang merupakan hasil
jerih-payah mengumpulkan duit oleh administrasi birokrasi
sehari-hari. Bahaya terbesar dari uang mudah ialah godaan
berbelanja dengan royal. Jika itu terjadi, harapan resmi bahwa
tingkat inflasi tahun ini akan berada di bawah 20% -- yang kini
sudah sulit terlaksana -- akan hanya mimpi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini