Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dan Uangpun Datang

Indonesia menyusul arab saudi, menaikkah harga minyak ekspornya, dengan demikian penerimaan dari ekspor minyak diatas perkiraan rapbn.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTAMBAH juga uang kita. Senin siang Dir-Ut Pertamina, Piet Haryono, mengungkapkan sejak jam 00.00 Selasa pekan ini, harga minyak ekspor Indonesia naik rata-rata sebesar dua dollar AS. Dari daftar harga baru itu nampak, bahwa harga terendah minyak bumi Indonesia adalah US$ 29,45 tiap barrel (untuk jenis "Udang"), sedang harga tertinggi adalah US$ 34,75 (untuk jenis "NSC-Arum Condensed"). Sedang jenis Sumatran Light Crude (SLC) yang menjadi patokan, naik dari US$ 29,50 menjadi US$ 31,50 per barrel. Rupanya itulah langkah lanjutan dari pertemuan para wakil OPEC di Taif. Dalam sidang OPEC yang ke-56 di kota peristirahatan musim panas di Arab Saudi itu, yang berakhir dua pekan lalu, ada usaha memperdekat dua tingkat harga yang selama ini berlaku di kalangan negara-negara pengekspor minyak. Harga jenis minyak Arabian Light Crude, yang ditentukan Arab Saudi, adalah US$ 26 tiap barrel. Sementara itu Iran dengan galak pasang harga sampai US$ 35. Di Bawah Harga Arab Saudi akhirya menyatakan bersedia menaikkan haga minyaknya-kalau saja negeri seperti Iran, Aljazair dan Libya mau menurunkan harga mereka. Dan ia memang pekan lalu menaikkan harga sekitar 8%. Kenaikan ini berarti US$ 2 untuk jenis Arabian Light Crude --yang jadi patokan minyak kasar OPEC -- hingga menjadi US$ 28. Banyak pengamat memperhitungkan, bahwa ini baru langkah awal Saudi. Keputusan yang berlaku surut sampai dengan 1 April itu kemungkinan besar akan diperbaharui. "Dengan harga US$ 28," kata seorang ahli ekonomi senior di Petroleum Industry Research Foundation, "minyak Saudi masih tetap di bawah harga, bila dibanding dengan minyak kasar yang lain. Karena itulah didug menjelang atau dalam bulan Juni nanti Arab Saudi akan menaikkan harga lagi. Tanggal 9 Juni nanti di Aljier, Aljazajr, direncanakan pertemuan lanjutan OPEC. Ikhtiar penyatuan harga pada saat itu diharapkan sudah makin mendekati hasil. Yang jadi pertanyaan akankah Iran, Libya dan Aljazair bersedia menurunkan harga tinggi mereka. Nampaknya mustahil. Tapi jika turun tak mungkin, naik lebih tinggi dari US$ 35 juga akan sulit. Pasaran minyak sedang butek. Iran dikabarkan sedang sulit menjual hasil produksinya yang mahal itu. Diam-diam Adanya keseragaman harga di kalangan OPEC tentu saja penting, untuk menjaga posisi para negara pengekspor minyak dalam tawar menawar dengan negara konsumen. Apalagi persatuan antara negara konsumen, dalam hal ini negara-negara industri nampak mulai efektif -- walaupun sulit. Ketika terdengar bahwa pemerintah Jepang, misalnya, merestui perusahaan swasta negeri itu untuk secara diam-diam bersedia membeli minyak Iran yang US$ 35, Amerika Serikat merengut. Cepat-cepat saja Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang membantah kabar itu. Semua negeri konsumen dapat saja bertahan untuk hanya mau membeli minyak dengan harga yang tidak setinggi Iran, asal selisih begitu besar anrara harga yang dipasang pelbagai negara OPEC (dan asal produksi cukup). Selisih itulah yang dicoba dikurangi Arab Saudi, dan kini oleh Indonesia. Tentu saja harga OPEC tak bakal seragam betul. Tapi sebuah sumber di Kuwait menyatakan, "selisih harus makin kecil-dan harga yang ditentukan Iran akan jadi harga tertinggi." Jika Arab Saudi kemudian ternyata dalam bulan Juni menaikkan harga lagi, dapat diramalkan negeri lain juga akan ikut. Kuwait sudah siap. Mungkin juga Indonesia. Yang jadi soal kemudian ialah: apa yang harus dilakukan dengan bertambahnya uang hasil penjualan minyak itu? Indonesia, seperti tercantum dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara tahun 1980-1981, memperhitungkan akan mengisi pendapatannya sebesar Rp 10,5 trilyun. Dari jumlah itu, Rp 6,4 trilyun berasal dari ekspor minyak. Ini, menurut Menteri Sumarlin kepada TEMPO Januari 1980 yang lalu, berdasarkan asumsi bahwa harga minyak 1980-1981 rata-rata US$ 30 tiap barrel. Harga baru yang mulai berlaku pekan ini memang belum jauh di atas perkiraan tadi. Tapi kecenderungan naik sudah terang benderang. Jadi, memang bertambah juga uang kita. Tanpa banyak usaha. Dan yang jelas bukan dalam bentuk rupiah yang merupakan hasil jerih-payah mengumpulkan duit oleh administrasi birokrasi sehari-hari. Bahaya terbesar dari uang mudah ialah godaan berbelanja dengan royal. Jika itu terjadi, harapan resmi bahwa tingkat inflasi tahun ini akan berada di bawah 20% -- yang kini sudah sulit terlaksana -- akan hanya mimpi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus