KENAIKAN Harga Bahan Bakar Minyak ternyata tidak saja mendorong
kenaikan berbagai barang. Politik juga menaik suhunya.
Mahasiswa Universitas Indonesia 8 Mei yang lalu melancarkan
protes terhadap kenaikan BBM tersebut. "BBM naik, derita
rakyat," demikian bunyi sebuah poster di puncak kantor rektoriat
perguruan tinggi yang terletak di Jalan Salemba Raya, Jakarta.
Suasana hari itu kelihatan memang agak ramai. Kebetulan
bertepatan dengan mulai dijualnya formulir penerimaan mahasiswa
untuk proyek perintis I. Tapi memang ada gelagat baru dalam aksi
para mahasiwa sekali ini. Mereka menyebarkan questionaire
(daftar pertanyaan) ke tengah masyarakat untuk mengetahui
tanggapan orang banyak terhadap kenaikan harga BBM.
Daftar pertanyaan sebanyak 4 halaman itu antara lain menanyakan
apakah si responden "mengerti mengapa harga minyak harus
dinaikkan" dan "pembelian bahan makanan apa yang berkurang
setelah adanya kenaikan BBM." Hari itu beberapa pedagang di
Pasar Kenari, termasuk seorang pengecer "Teh Botol" menjadi
responden.
Ingkar Janji
"Yang kami lakukan ini nggak mungkin keisengan," kata Henny,
aktivis dari "Dewan" Mahasiswa Ul. "Kami tidak ingin dinilai
tidak rasional, tidak obyektif, tidak ilmiah," sambut Biner
Tobing, aktivis mahasiswa yang lain. Pada hari itu juga berhasil
dikumpul 514 jawaban dari responden. Tito Sulistiyo, ketua senat
mahasiswa Fakultas Ekonomi Ul mengharapkan 2700 responden akan
terkumpul dari seluruh wilayah ibukota.
Hasil pengumpulan pendapat itu direncanakan sudah dapat
diumumkan seminggu kemudian. Tapi ternyata mundur, karena
beberapa aktivis terlibat dalam tugas lain di fakultasnya.
Ditambah lagi kesibukan mencetak kembali daftar pertanyaan,
karena yang dibutuhkan mencapai 9000 lembar.
Pengumpulan pendapat mengenai kenaikan BBM ini dilaksanakan para
mahasiswa tidak hanya di Ul. Kabarnya, Institut Tehnologi
Bandung dan Institut Tehnologi Surabaya malahan melakukannya
lebih awal. Menyusul tinjauan dan wawancara di pasar-pasar
Jakarta, Semarang dan Surabaya yang dilakukan oleh Menteri
Subroto, Sumarlin dan beberapa pejabat tinggi pemerintah yan
berkaitan dengan minyak.
Ketua Umum Kadin Pusat Hasyim Ning maupun F.H. Eman (ketua
Kompartemen Industri dan Energi, Kadin) menolak pendapat
pemerintah yang menganggap kenaikan harga barang yang wajar
adalah 4 sampai 6%. "Tak mungkin. Sebab semua komponen akan
terkena akibat kenaikan BBM. Berilah kesempatan pengusaha untuk
menaikkan harga secara wajar. Menurut perhitungan saya, kenaikan
harga yang wajar sekitar 15%," ulas Eman.
Perselltase kenaikan harga berbagai barang konsumsi kelihatannya
memang bervariasi. Tekstil, sebagaimana dikatakan Musa dari
Asosiasi Pertekstilan Indonesia malahan akan sukar bergerak naik
karena pasar memang lemah. Sejak semula ia memperhitungkan
paling banter kenaikan harga tekstil mencapai 3 %.
Semen dan beton yang beberapa bulan menjelang dinaikkannya harga
BBM menghilang dari pasar, akan mengalami kenaikan yang cukup
berat. Ini terutama disebabkan bahan bakar yang digunakan kedua
hasil industri ini membutuhkan komponen BBM yang besar. Direktur
Jenderal Industri Kimia Dasar. Ir. Hartarto pernah mengungkapkan
komponen BBM dalam industri semen mencapai 27% dari seluruh
ongkos produksi.
Kenaikan BBM yang sebenarnya sudah jadi acara tahunan, ditempuh
pemerintah untuk mengendurkan diri dari tekanan subsidi yang
cukup tinggi. Untuk tahun 1980/1981 berjumlah Rp 828 milyar.
Keberatan orang terutama didasarkan pada terlalu dekatnya jarak
tindakan ini dengan langkah-langkah kebijaksanaan sebelumnya.
Seperti Knop 15 tahun 1978 dan kenaikan BBM 5 April 1979.
Tapi bagaimanapun kenaikan sudah tak bisa ditawar lagi, seperti
kata Sabam Sirait, Wakil Ketua Fraksi PDI dalam diskusi Forum
Studi dan Komunikasi (Fosko) di Hotel Sabang, 14 Mei. Kini
tinggal menjaga jangan sampai terjadi kenaikan yang melonjak
melebihi kewajaran. "Kenaikan harga memang pasti terjadi. Tetapi
yang penting, kenaikan harga ini harus sesuai dengan
kalkulasinya," kata pengamat masalah ekonomi Drs. Kaptin
Adisumarta kepada harian Kompas. Droping barang oleh pemerintah
secara besar-besaran adalah jalan yang tepat, katanya.
Posisi pemerintah sendiri, secara politik lan keuangan, sungguh
kuat. Mungkin karena itu kritik-kritik tajam hanya dibiarkan
akan lewat dengan sendirinya - seperti di tahun lalu. Sementara
itu, naiknya pendapatan karena naiknya harga minyak ekspor
(lihat Minyak) memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk
misalnya mempengaruhi situasi pasar. Tinggal soalnya meyakinkan
masyarakat, bahwa pembangunan yang berhasil tidak selalu berarti
murah sandang, murah pangan dalam arti yang sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini