Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN tenaga kerja wanita sibuk memilah daging rajungan di dalam ruangan bersuhu 5 derajat Celsius. Mereka cekatan menyortir setiap bagian daging untuk diambil sisa cangkang yang masih melekat, kemudian mengemas dalam kaleng. Rajungan dalam kaleng itu lalu direndam air mendidih selama 155 menit. Setelah itu, kaleng direndam es selama 3 menit dan masuk proses pengepakan serta penyimpanan di cold storage bersuhu 0 hingga minus 3 derajat Celsius, menunggu diekspor ke berbagai negara. Semua produk dijamin tanpa bahan pengawet dan siap santap tanpa dimasak.
Rajungan dari Gresik, Jawa Timur, itu menjadi salah satu menu langganan Gedung Putih, istana Presiden Amerika Serikat. Produknya sesuai dengan standar pasar Amerika dan Eropa. "Proses produksinya handmade, tapi tak ada toleransi kesalahan. Wajib sesuai dengan standar keamanan pangan internasional," kata Dewi Amalia, Manajer Produksi PT Kelola Mina Laut, kepada Tempo di pabriknya, Kamis dua pekan lalu.
Dari lahan seluas tiga hektare di Kawasan Industri Gresik, produk PT Kelola Mina Laut (KML) kini menyebar ke 30 negara berkat tangan dingin Mohammad Najikh, 51 tahun. Najikh memulai usaha pada 1994 dengan mengolah seafood di Kecamatan Tambak Boyo, Kabupaten Tuban, dengan modal duit pinjaman Rp 85 juta. Ia khusus mengekspor teri nasi ke Jepang. Ternyata pilihan produk dan bidikan pasarnya tepat. Teri nasi dengan merek Priama Star buatannya menjadi market leader di sana. Pada 1999, KML mulai menjajaki pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan produk unggulan kakap merah, udang, dan rajungan kaleng. Rata-rata tiap bulan KML Group mengirim 100 kontainer seafood ke Amerika Serikat, Korea, Australia, Taiwan, Selandia Baru, Jepang, dan beberapa negara lain di Eropa dan Afrika.
Lulusan Institut Pertanian Bogor 1984 ini sempat bekerja di PT Karya Nusantara, sebuah badan usaha milik negara. Dia kemudian menjadi manajer pengembangan bisnis di satu perusahaan cold storage di Surabaya. Meski sukses memoles perusahaan, ia tak mendapat imbalan setimpal. Karena itu, Najikh memilih keluar untuk mendirikan usaha sendiri.
Bisnis KML mencapai puncaknya pada 2005 dengan 37 pabrik pengolahan teri nasi yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura dengan 13 ribu karyawan. KML juga memiliki unit pengolahan ikan di 12 daerah, dengan produk unggulan kakap merah. Mereka juga punya pabrik pengolahan udang dan rajungan di Gresik dengan jaringan 27 unit miniplant di seluruh Indonesia. KML memiliki 100 ribu mitra nelayan teri nasi, 150 ribu nelayan ikan, dan 75 ribu pencari rajungan di seluruh penjuru Nusantara.
Namun setahun kemudian KML Group hampir runtuh. Salah satu mitra memutus kerja sama dan mendirikan pabrik sendiri. Aset dipecah dua, dan sebagian besar karyawan disedot ke perusahaan baru tersebut. Sedangkan utang Rp 800 miliar atas nama Mohammad Najikh harus ditanggung sendiri. Bank-bank menghindar memberikan kredit baru. Namun ia berhasil meyakinkan karyawan yang bertahan, karena mitra dagang masih percaya. Tak perlu waktu lama, KML bangkit lagi.
Najikh menekankan, ketika perusahaan menangguk untung besar, nelayan wajib merasakan. Supplier atau pengepul, kata dia, hanya mendapat komisi dari perusahaan dan tidak berhak menentukan harga tangkapan nelayan. KML Group cepat memberikan duit ke setiap pengepul agar mereka juga dapat cepat membayar ke nelayan. Dia juga menjaga kepastian pasokan ke pelanggan. Salah satunya pintar mengatur stok saat musim panen untuk digunakan saat paceklik. "Ini kunci menjaga agar bisnis tetap langgeng," ujarnya.
Kini kapasitas produksi KML ditaksir 54,75 ribu ton per tahun dengan omzet lebih dari Rp 500 miliar. Najikh mengutamakan produk berkualitas premium sehingga berani pasang harga tinggi. Ia mencontohkan satu kaleng daging rajungan grade colossal ukuran 454 gram dijual US$ 23, sementara teri nasi seberat 1 kilogram dibanderol US$ 13. "Harga ini tergolong mahal bila dipasarkan di Tanah Air," ucapnya.
"Bisnis ini masih menjanjikan," kata Najikh.
Agus Suprianto, Diananta P. Sumedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo