Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan "penyelamatan" Mahkamah Konstitusi tampaknya tak semulus yang direncanakan. Begitu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) itu diumumkan, sejumlah pihak langsung "menggempur". Politikus di Dewan Perwakilan Rakyat, pengurus partai politik, pengacara, dan Mahkamah Konstitusi termasuk barisan yang mempersoalkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu.
Untuk menangkal gempuran dari banyak penjuru, Kamis pekan lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengundang puluhan wartawan ke kantornya. Dalam diskusi di Graha Pengayoman itu, Denny berusaha menjelaskan latar belakang penerbitan dan poin penting perpu tersebut.
Presiden Yudhoyono meneken perpu itu pada 17 Oktober lalu, sekitar dua pekan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sebagai dasar, Presiden merujuk pada Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu menyebutkan presiden berhak menerbitkan perpu bila ada "kegentingan yang memaksa".
Penangkapan seorang Ketua Mahkamah Konstitusi, menurut Denny, bisa digolongkan sebagai kegentingan yang memaksa. Sepanjang sejarah Indonesia, belum pernah ada pejabat setingkat Ketua Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung tertangkap tangan. "Apakah itu tidak genting?" ujar Denny.
Setelah Akil ditangkap, kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi anjlok. Itu terlihat dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 4-5 Oktober lalu. Dari 1.200 responden di 33 provinsi, hanya 28 persen yang masih percaya kepada Mahkamah Konstitusi. Sebelum Akil tertangkap, kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi selalu di atas 60 persen. Angka itu konsisten dalam empat kali survei LSI sejak 2010 sampai Maret 2013.
Menurut Denny, Presiden menerbitkan perpu juga karena kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kekosongan kursi hakim konstitusi. Sebelum pemilihan umum legislatif, 9 April 2014, dua kursi bakal kosong. Satu karena ditinggalkan Akil Mochtar, jika dia diberhentikan tetap. Satu lagi ditinggalkan Harjono, yang bakal pensiun pada 24 Maret 2014.
Bila kursi tersebut tak segera diisi, hakim konstitusi yang tersisa tinggal tujuh orang. Padahal syarat sahnya sidang putusan di Mahkamah Konstitusi harus dihadiri minimal tujuh orang. Jika seorang hakim saja berhalangan, Mahkamah Konstitusi tak bisa membuat putusan. "Perpu ini terbit karena genting yes, penting juga yes," kata Denny mengakhiri penjelasannya.
Penangkapan Akil Mochtar kembali memicu perdebatan tentang pentingnya pengawasan atas Mahkamah Konstitusi. Kalangan ahli dan praktisi hukum mempersoalkan lagi pembatalan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Konstitusi. Pada 2006, yang membatalkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Mahkamah Konstitusi sendiri. Padahal yang digugat waktu itu wewenang Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung. "Prinsipnya tak boleh ada lembaga negara yang tak bisa dikontrol dan diawasi," ucap anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Syahuri.
Tiga hari setelah penangkapan Akil, Presiden Yudhoyono pun melakukan rapat konsultasi dengan semua pemimpin lembaga tinggi negara, minus Mahkamah Konstitusi. Menurut Presiden, semua pemimpin lembaga tinggi negara sepakat soal perlunya perpu penyelamatan Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Yudhoyono berharap perpu tersebut tak mudah dibatalkan, misalnya lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi. "Kalau itu yang terjadi, tak akan pernah ada yang bisa dilakukan untuk melakukan koreksi," ujar Presiden kepada wartawan.
Namun, dalam situasi yang dianggap genting, Presiden tak segera menerbitkan perpu. Dengan alasan harus berkonsultasi dulu dengan sejumlah ahli hukum tata negara, Presiden baru meneken perpu itu pada 17 Oktober lalu, ketika dia berkunjung ke Yogyakarta.
Pada intinya, Perpu tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu mengatur tiga hal utama: penambahan syarat calon, perubahan mekanisme pemilihan, dan perubahan mekanisme pengawasan hakim konstitusi.
Syarat calon hakim konstitusi ditambah larangan bagi politikus yang belum tujuh tahun menanggalkan keanggotaan partai. Menurut Denny, pembatasan ini sejalan dengan logika putusan Mahkamah Konstitusi pada 2011, yang mengatur persyaratan penyelenggara pemilihan umum. Menurut putusan itu, calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu harus sudah melepaskan keanggotaan partai politik minimal lima tahun sebelumnya. "Karena hakim konstitusi punya kewenangan lebih strategis, jeda dari partai ditambah," kata Denny.
Untuk menyeleksi hakim konstitusi dibentuk Panel Ahli. Panel tujuh orang itu, tiga anggotanya diusulkan masing-masing oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan presiden. Empat orang lainnya dipilih Komisi Yudisial. Selama ini presiden tinggal menetapkan calon hakim konstitusi yang diusulkan DPR, Mahkamah Agung, dan presiden sendiri. Dengan perpu ini, presiden hanya bisa menunjuk calon yang lolos uji kepatutan dan kelayakan oleh Panel Ahli. Jumlahnya sama dengan hakim konstitusi yang diperlukan (kosong) ditambah satu orang.
Untuk pengawasan, perpu mengatur pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, yang bersifat permanen. Majelis Kehormatan dibentuk Mahkamah Konstitusi bersama Komisi Yudisial. Kebiasaan selama ini, Mahkamah Konstitusi baru membentuk Majelis Kehormatan, yang bersifat ad hoc, ketika ada kasus dugaan pelanggaran etika oleh hakim.
Beragam tantangan segera muncul begitu perpu ini diumumkan. Pintu masuknya pun macam-macam. Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra termasuk yang mempersoalkan syarat "kegentingan yang memaksa". Menurut dia, Presiden semestinya menerbitkan perpu paling lama dua-tiga hari setelah penangkapan Akil. Saat itu, ada krisis kepercayaan yang luar biasa. Setelah dua pekan berlalu, di mata Yusril, Mahkamah Konstitusi sudah melakukan perbaikan diri. "Sekarang perpu itu kehilangan makna dan urgensinya," ujar Yusril, mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang juga ahli hukum tata negara.
Di kompleks gedung DPR, sikap politikus atas perpu ini terbelah. Dukungan atas perpu baru datang dari sejumlah politikus Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional. Kedua fraksi ini memang pendukung setia kebijakan Presiden Yudhoyono.
Sebaliknya, politikus dari dua fraksi besar di DPR, Fraksi Golkar dan PDI Perjuangan, mempertanyakan banyak hal seputar perpu itu. Fraksi-fraksi menengah dan kecil di parlemen pun tak kalah galaknya.
Yang paling dipersoalkan para politikus adalah masa "idah politik" selama tujuh tahun untuk menjadi hakim konstitusi. "Apakah sebegitu buruk pandangan pemerintah kepada orang politik?" kata Trimedya Panjaitan, Ketua Badan Kehormatan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan. "Soal itu layak diperdebatkan," tutur Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Golkar.
Politikus di DPR juga mempersoalkan wewenang Panel Ahli dalam menyeleksi hakim konstitusi. Menurut mereka, pembentukan Panel Ahli berpotensi mengambil alih wewenang lembaga pengusul hakim konstitusi, yakni DPR, Mahkamah Agung, dan presiden. "Sulit bagi kami untuk mendukung perpu yang berpotensi melanggar konstitusi," kata Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani.
Bila perpu itu hanya mengatur pengawasan atas Mahkamah Konstitusi, menurut sumber-sumber di DPR, hampir semua fraksi akan mendukungnya. Tapi para politikus terkaget-kaget ketika Presiden mencantumkan syarat tujuh tahun harus lepas dari partai. Padahal tak sedikit politikus berlatar belakang pendidikan hukum yang mengincar posisi hakim konstitusi setelah "pensiun" dari parlemen.
Politikus yang terancam kehilangan peluang itu pun mulai mengobarkan perlawanan. "Mereka bersiap menolak perpu," ujar seorang politikus senior. Terpotong masa reses, DPR baru akan membahas nasib perpu itu pada masa sidang akhir November nanti.
Di luar gedung parlemen, sekelompok pengacara pekan lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Habiburokhman, salah seorang pengacara, juga mempersoalkan syarat "kegentingan" dan syarat "bebas partai" itu. "Angka tujuh tahun dari mana? Jangan-jangan hanya nomor urut partai," kata Habib menyindir.
Penentangan diam-diam juga datang dari Mahkamah Konstitusi. Para hakim konstitusi mempersoalkan dua versi naskah perpu yang mereka peroleh. Yang pertama kali mengungkap hal ini adalah hakim Harjono. "Perpu MK itu ada dua versi, Anda mendapatkan dari mana?" ucap Harjono kepada pemohon uji materi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dalam sidang Selasa pekan lalu.
Sumber Tempo mengungkapkan hakim konstitusi tersinggung ketika membaca naskah perpu yang mereka terima pertama kali. Pada bagian konsiderans, poin b, ada frasa berbunyi, "…akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi…." Frasa ini masih tercetak pada salinan naskah perpu yang pertama kali beredar di kalangan wartawan.
Sehari setelah terbitnya perpu, hakim konstitusi menggelar rapat khusus. Yang dibahas antara lain frasa yang mereka anggap menghina dan mencemarkan nama baik itu. Seorang hakim konstitusi lantas menelepon pejabat di Kementerian Hukum dan HAM. Sang hakim menyampaikan ketersinggungan koleganya, termasuk niat mereka melaporkan pencemaran nama baik itu kepada polisi.
Keberatan hakim konstitusi lalu disampaikan kepada tim menteri yang penyusun naskah perpu bersama Presiden. Tak mau ribut, tim setuju menghilangkan frasa itu dalam naskah akhir yang diterbitkan di situs resmi Sekretariat Negara. "Toh, substansinya tak berubah," kata sumber yang tahu persis protes hakim dan respons menteri itu.
Mahkamah Konstitusi juga masih keberatan terhadap istilah pengawasan. Hakim Harjono, misalnya, mengatakan yang diperlukan bukan pengawas, melainkan penjaga wibawa Mahkamah Konstitusi. Alasan dia, pengawas cenderung mencari-cari kesalahan yang diawasinya. Sebaliknya, penjaga akan lebih berusaha mencegah Mahkamah Konstitusi agar tak terpeleset. "Itu dua hal yang sangat berbeda," ucap Harjono.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi memilih menyiapkan Dewan Etik Hakim Konstitusi. Menurut Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, meski sama-sama bersifat permanen, Dewan Etik berbeda dengan konsep Majelis Kehormatan yang diatur dalam perpu. "Ini konsep yang sudah lama kami bahas. Dewan Etik dibentuk dari internal," ujar Hamdan.
Ahli hukum tata negara Refly Harun berpendapat penolakan atas perpu penyelamatan Mahkamah Konstitusi umumnya tak menyentuh akar persoalan. Syarat "kegentingan yang memaksa", misalnya, memang bisa diperdebatkan apakah sudah berlalu atau belum. "Itu hal yang relatif." Yang jelas, kata Refly, dari sisi substansi, pentingnya menerbitkan perpu sangat kuat.
Dua hal yang masih ditentang sebagian politikus, menurut Refly, justru bisa menambal berbagai bolong di Mahkamah Konstitusi. Ketika badan legislatif dan eksekutif dikuasai partai, syarat "bebas partai" penting untuk menjaga kenetralan Mahkamah Konstitusi. "Untuk menegakkan sistem checks and balances," ujarnya.
Mekanisme seleksi yang melibatkan Panel Ahli, menurut Refly, juga penting. Dengan melibatkan Panel Ahli, seleksi hakim konstitusi bisa lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. "Jadi tak ada alasan untuk menolak perpu itu," katanya.
Jajang Jamaluddin, Wayan Agus, Rusman Paraqbueq, Fransisco Rosarians
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo