Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah melarang ekspor bauksit mulai 11 Juni 2023.
Komoditas tambang lain, seperti timah dan tembaga, segera menyusul.
Puluhan juta ton bauksit terancam tak tertampung smelter.
SEMPAT mandek selama berbulan-bulan, proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah di Kalimantan Barat akhirnya berlanjut. Fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina milik PT Borneo Alumina Indonesia itu mungkin selesai dibangun dan beroperasi pada kuartal III 2024, molor setahun dari target semula pada Juli tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Borneo Alumina adalah perusahaan patungan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum dengan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam. Inalum memiliki saham 60 persen dan Antam menggenggam sisanya. Keduanya adalah perusahaan tambang milik negara di bawah induk atau holding Mining Industry Indonesia (Mind Id).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Niko Chandra, Kepala Divisi Relasi Institusi Mind Id, menjelang akhir tahun lalu pengerjaan konstruksi SGAR Mempawah berjalan kembali. Proyek itu berlanjut setelah selesainya perselisihan di antara dua kontraktor, yaitu PT Pembangunan Perumahan Tbk dan perusahaan asal Cina, China Aluminum International Engineering Corporation Ltd (Chalieco). “Sampai akhir Desember tahun lalu telah mencapai 21,13 persen,” ujarnya pada Jumat, 6 Januari lalu.
Bagi perusahaan tambang bauksit, pembangunan smelter seperti di Mempawah penting. Sebab, pemerintah bakal melarang ekspor bijih bauksit atau hasil tambang yang belum diolah mulai 11 Juni 2023. Artinya, mineral mentah itu wajib diolah dulu di smelter dalam negeri sebelum diekspor.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat memberikan keterangan pers terkait pelarangan ekspor bahan mineral Bauksit, di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Desember 2022. TEMPO/Subekti.
Larangan ekspor bauksit diumumkan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada 21 Desember 2022. Aturan serupa telah berlaku terhadap bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Setelah itu, larangan ekspor akan diberlakukan terhadap hasil tambang lain. “Sedang dikaji, antara lain tembaga dan timah,” kata Staf Khusus Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif pada Jumat, 6 Januari lalu.
Irwandy mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, semua komoditas mineral harus dimurnikan di dalam negeri. Kewajiban ini harus dipenuhi dalam tiga tahun setelah aturan itu berlaku.
Pemerintah menghitung pengolahan bauksit di dalam negeri bakal mendorong pendapatan negara dari Rp 21 triliun menjadi sekitar Rp 62 triliun. Bahkan Presiden Jokowi memberi gambaran dampak kebijakan larangan ekspor nikel. Menurut Jokowi, penerimaan negara dari ekspor nikel yang sudah diolah naik dari US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 17,1 triliun) menjadi US$ 30 miliar (sekitar Rp 468,2 triliun). Sebelum itu, dia mengungkapkan, negara dirugikan selama puluhan tahun. “Pajak enggak dapet. Kalau kita ikut miliki, dividen enggak dapet, royalti enggak dapet, bea ekspor juga enggak dapet, pembukaan lapangan kerja enggak dapet.”
Tapi pemberlakuan larangan ekspor itu seperti dicicil atau tidak berlaku serempak terhadap semua jenis mineral. Hal ini sempat dipertanyakan oleh Ketua Indonesia Mining & Energy Forum Singgih Widagdo. “Dalam konstitusi disebutkan semua jenis mineral dan jenis mineral tertentu dan berlaku terhadap semua korporasi,” ucapnya.
Agaknya larangan ekspor ini tak bisa berlaku serempak karena tersandung perkara. Contohnya pelarangan ekspor nikel yang menuai gugatan dari Uni Eropa lewat panel Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Pada 21 November 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyampaikan kabar bahwa WTO menyatakan Indonesia melanggar Pasal 11 ayat 1 Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994. Aturan ini melarang anggota WTO membatasi perdagangan. Pemerintah memutuskan mengajukan permohonan banding. Sidangnya baru akan digelar pada 2026.
Sebelumnya, Jepang mengancam akan memperkarakan Indonesia ke WTO pada 2014. Urusannya sama, yaitu soal nikel. Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi, R. Sukhyar, saat itu diutus untuk bernegosiasi dengan pemerintah Negeri Sakura. Kepada Tempo pada 4 Desember 2022, Sukhyar bercerita bagaimana dulu ia meyakinkan Jepang bahwa kebijakan pemerintah Indonesia tak keliru. Ia berargumen, Indonesia tak melarang ekspor nikel. “Yang dilarang ekspor ore (bijih),” tuturnya. Sukhyar saat itu menjelaskan kepada perwakilan Jepang bahwa mereka harus membangun smelter jika menghendaki nikel dari Indonesia. Walhasil, Jepang membatalkan rencana menggugat Indonesia ke WTO.
Kesiapan smelter
Bukan cuma perkara hukum. Dampak yang paling dikhawatirkan dari pelarangan ekspor adalah ketidaksiapan smelter. Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia Ronald Sulistyanto mengatakan fasilitas pengolah bauksit yang tersedia saat ini hanya ada dua. Salah satunya milik PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Pabrik di Kawasan Ekonomi Khusus Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, itu beroperasi sejak awal 2021 dan bisa menghasilkan 1 juta ton mineral olahan. BAI kini mengembangkan smelter itu agar bisa menghasilkan 2 juta ton olahan bauksit.
Kapal tongkang menampung biji bauksit siap ekspor di Sungai Carang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. ANTARA
Smelter kedua adalah milik PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW Alumina) di Ketapang, Kalimantan Barat. Pabrik ini memiliki kapasitas 1 juta ton produk smelter grade alumina per tahun yang sedang diperbesar agar bisa memproduksi 2 juta ton.
Sebenarnya ada satu lagi smelter yang sudah beroperasi, yakni milik PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan, Kalimantan Barat. Tapi smelter ini hanya menyedot 1 juta ton bauksit dan menghasilkan 300 ribu ton chemical grade alumina. Indonesia juga punya smelter aluminium milik PT Indonesia Asahan Aluminium di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Bedanya, smelter ini adalah fasilitas lanjutan yang mengolah alumina menjadi aluminium ingot, aluminium billet, dan aluminium alloy.
Bila pengembangan smelter milik BAI dan WHW Alumina rampung sebelum larangan ekspor bauksit berlaku, total kapasitas keluarannya menjadi 4 juta ton alumina dengan kebutuhan bahan baku 12 juta ton bauksit. Tapi itu pun masih kurang karena saat ini ada 28 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang memiliki rencana kerja dan anggaran biaya. Bila rata-rata produksi 1,5-2 juta ton per IUP, total produksi bauksit sebesar 42-56 juta ton setahun. “Artinya, akan ada 30-44 juta ton bauksit yang tidak terserap bila smelter yang bakal dibangun tidak rampung pada Juni 2023,” kata Ronald pada Rabu, 4 Januari lalu.
Pada kenyataannya, kemajuan pembangunan smelter masih jauh dari harapan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan kekecewaannya atas hal ini. "Saat kami berkunjung, banyak yang masih berantakan smelternya, tidak sesuai dengan apa yang dilaporkan," ujarnya di kantornya pada Jumat, 6 Desember lalu. Sumber Tempo bercerita, di antara beberapa proyek yang dibangun tersebut, ada yang masih berupa lahan kosong.
Staf Khusus Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif mengatakan pemerintah telah mengevaluasi pembangunan smelter yang masuk rangkaian program penghiliran mineral. Tim dari Kementerian Energi, kata dia, memantau kemajuan proyek delapan smelter yang akan dibangun. Irwandy mengatakan program penghiliran akan menambah nilai jual komoditas mineral, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengembangkan teknologi.
Unit Bisnis Pengelolaan (UBP) Bauksit PT. Antam yang berlokasi di Kecamatan Tayan, Kalimantan Barat. (foto: dok ESDM)
Data Kementerian Energi menyebutkan terdapat sebelas fasilitas pemurnian bauksit yang masuk kategori proyek strategis nasional. Salah satunya Smelter Grade Alumina Refinery Mempawah milik PT Borneo Alumina. Proyek lain yang masuk daftar proyek ini adalah 30 smelter nikel, 4 smelter tembaga, serta 8 fasilitas pemurnian besi, timbal-seng, dan mangan. Dengan jumlah smelter sebanyak itu, pemerintah optimistis program penghiliran mineral logam akan berjalan mulus. Apalagi larangan ekspor bauksit segera berlaku tahun ini.
Kementerian Energi pun mengantongi hasil verifikasi kemajuan pembangunan smelter oleh verifikator independen hingga Desember 2021. Untuk pengolahan bauksit, ada delapan smelter yang akan rampung tahun ini. Smelter milik WHW di Ketapang adalah salah satu yang digadang-gadang segera beroperasi mengingat statusnya yang paling maju dibandingkan dengan yang lain.
Dalam laporan hasil verifikasi hingga akhir tahun lalu, kemajuan proyek smelter WHW mencapai 88,51 persen. Smelter ini akan menyerap 3,564 juta ton bauksit untuk menghasilkan 1 juta ton alumina. WHW pun membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 80 megawatt untuk memenuhi kebutuhan smelter tersebut. Ini menjadi smelter grade alumina refinery pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara. Smelter WHW menghasilkan smelter grade alumina dengan kadar lebih dari 98,6 persen.
Selain memiliki PLTU, smelter WHW dilengkapi terminal khusus berstandar internasional untuk bongkar-muat. WHW adalah perusahaan patungan milik China Hongqiao Group Ltd dengan 56 persen saham. Pemegang saham lain adalah PT Cita Mineral Investindo Tbk (Harita Group) sebesar 30 persen, Winning Investment Hong Kong (9 persen), dan Shandong Weiqiao Aluminium Electricity Co Ltd (5 persen). Namun Direktur Cita Mineral Investindo Yusak Lumba Pardede menyatakan tak bisa menjelaskan proyek smelter ini. Demikian pula juru bicara WHW, Suhandi Basri.
Progres smelter bauksit lain yang semula ditargetkan bisa kelar dibangun tahun ini rata-rata masih kurang dari 50 persen. Empat di antaranya berada di Kalimantan Barat, seperti smelter PT Laman Mining (32,38 persen) dan PT Sumber Bumi Marau (50,05 persen) di Kabupaten Ketapang. Proyek lain berlokasi di Kabupaten Sanggau, yakni milik PT Dinamika Sejahtera Mandiri (45,79 persen), PT Kalbar Bumi Perkasa (37,25 persen), dan PT Persada Pratama Cemerlang (48,69 persen). Di Pontianak, terdapat proyek PT Quality Sukses Sejahtera (43,10 persen), sementara di Mempawah ada smelter milik PT Borneo Alumina Indonesia (22,10 persen).
Ihwal lambatnya perkembangan proyek smelter ini, Ronald Sulistyanto punya jawaban. Menurut dia, persoalannya adalah kebutuhan dana yang besar. Pembangunan smelter rata-rata memerlukan dana US$ 1,2 miliar atau Rp 18,7 triliun. Mantan Wakil Direktur WHW yang kini bergabung dengan PT Laman Mining ini menceritakan sulitnya mencari pendanaan. “Sudah deal, tarik lagi. Deal, tarik lagi,” tuturnya. Ronald mengatakan ada banyak permintaan dari lembaga keuangan yang tidak bisa dipenuhi pengusaha. Misalnya jaminan bahwa tidak akan ada perubahan regulasi serta jaminan dari pemerintah. “Pemerintah tak mau mengeluarkan jaminan,” katanya.
Ronald memberi contoh proyek smelter patungan antara Antam dan Inalum, perusahaan milik negara, yang semestinya didukung lembaga pembiayaan pelat merah. Menurut dia, proyek dua perusahaan ini pun tak kunjung selesai. “Bayangkan, mereka yang punya pemerintah saja masih ada masalah, apalagi swasta.” Ronald meminta eksekutif dan legislatif membicarakan kembali larangan ekspor. “Paling tidak dipikirkan bauksit yang tidak terserap akan dikemanakan agar tidak banting-bantingan harga.”
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum Singgih Widagdo menilai tata kelola industri bauksit dan penghiliran komoditas ini cenderung lambat. Semestinya pada 2014 atau lima tahun setelah Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara versi pertama terbit, penghiliran mineral sudah berjalan. Proyek ini pun tidak berhenti pada pengolahan bauksit menjadi alumina, melainkan hingga produksi aluminium ingot, aluminium billet, aluminium alloy, bahkan produk-produk manufaktur berbasis aluminium.
Dalam perumusan peta jalan penghiliran mineral, Singgih menambahkan, pemerintah semestinya menyiapkan insentif fiskal ataupun nonfiskal bagi investor yang akan membangun smelter, termasuk dengan melibatkan bank nasional. Masalahnya, Indonesia justru terjebak dengan banyaknya penambangan bauksit yang volume produksinya tidak seirama dengan penghiliran. Hal ini yang menyebabkan volume produksi dan kapasitas smelter timpang. “Sudah pasti pembangunan smelter sampai enam bulan ke depan tidak akan menyerap semua produksi bauksit.” Karena itu, Singgih mengusulkan pemerintah menata kembali rencana produksi dengan mempertimbangkan kondisi smelter.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo