Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koboi Melayu jantan yang menunggangi kuda untuk iklan rokok? Hm..., pasti akan lucu. Tapi untunglah, kebijakan yang mulai berlaku pada 1 Mei lalu ini memberikan pengecualian untuk produk rokok yang memang telah menjadikan koboi sebagai ikonnya.
Dalam aturan baru itu memang disebutkan ada perkecualian untuk merek global yang memakai tokoh tertentu untuk pencitraan produknya di seluruh dunia. ”Seperti koboi kan datangnya dari Amerika, tidak mungkin diganti koboi Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia (APFII), Nurmanjaya.
Namun itu tak berlaku untuk produk lokal. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika yang dilahirkan semasa kementerian ini masih dipimpin Sofyan Djalil mewajibkan penggunaan sumber daya dalam negeri untuk produk iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran.
Intinya, film iklan yang disiarkan televisi harus menggunakan model, sutradara, pengarah kreatif, pengarah fotografi, pengarah lampu, juru rekam suara, hingga pemeran pengganti (stuntman) dan editor lokal. Film iklan berbau asing dibatasi, misalnya hanya iklan pariwisata, properti, dan acara internasional.
Industri periklanan dibuat sibuk jadinya. Bisa dibayangkan hebohnya biro iklan dan rumah produksi mencari sutradara, penata kamera, hingga penata rambut lokal untuk menggarap sederet film iklan yang mesti segera diproduksi. Maklum, selama ini, untuk klien dengan merek terkenal, mereka lazimnya menggunakan orang asing dan tak jarang pula syuting di luar negeri.
Hal ini sebetulnya dilihat sebagai sebuah rezeki bagi para pekerja film iklan dalam negeri. ”Mungkin ada talenta lokal yang selama ini terlewatkan, tak terlihat, atau tidak terperhatikan, padahal sebenarnya punya potensi,” kata Lulut Asmoro, Presiden Direktur JWT Indonesia, biro iklan terkemuka di Jakarta, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Bagaimana dengan mereka yang telanjur digarap di luar negeri? Dede Gracia, Produser Eksekutif Rumah Produksi Visi Caldecott, menyatakan film iklan produksinya selamat. ”Puji Tuhan, semua aman,” ujarnya. Pantas saja Dede deg-degan. Pasalnya, film iklan sabun Giv yang dibikin di Bangkok, Thailand, baru saja rampung seminggu sebelum aturan pemerintah terbit. Film iklan yang dibintangi Marcella Zalianty itu menelan biaya Rp 1 miliar lebih.
Proses pembuatan film sengaja diboyong ke sana lantaran menggunakan sutradara asal Negeri Gajah Putih itu. Bukan itu saja yang membuat Rumah Produksi Visi Caldecott ketar-ketir. Setidaknya ada dua produk yang juga berbau asing, yakni film iklan Biore Facial Foam yang mengimpor sutradara asal Singapura, dan susu Ultra yang menggunakan sutradara Malaysia.
Rupanya, pemerintah memberikan toleransi. Film iklan yang diproduksi sebelum 1 Mei boleh ditayangkan di televisi hingga akhir 2008. Artinya, baru 2009 kebijakan yang melindungi sumber daya dalam negeri itu efektif berlaku.
Di balik penerbitan peraturan menteri itu, sebenarnya ada cerita menarik. Bermula dari say hello Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Subiakto Priosoedarsono, Direktur Hotline Advertising, perusahaan periklanan yang membikin film iklan kampanye SBY-JK pada Pemilihan Umum 2004.
”Baik, tapi nggak baik-baik amat,” kata Subiakto menyampaikan situasi periklanan kepada Wakil Presiden Kalla. Ini membuat sang Wapres mengernyit. Subiakto lantas bercerita tentang kondisi industri periklanan di Indonesia yang banyak melibatkan asing, sementara sumber daya lokal cenderung menjadi nomor dua. Perbincangan cuma sebatas itu.
Tapi, siapa nyana, obrolan ringan itu berbuah. Menurut sumber Tempo, Sofyan Djalil memanggil Subiakto untuk berdiskusi. Hasil dari pembicaraan yang kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan suara para praktisi periklanan, seperti Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) dan Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia (APFII). Menteri Sofyan Djalil kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 25/2007.
Bagaimanapun, bagi Ketua PPPI, Narga Habib, peraturan itu tetap terasa mendadak dan mengagetkan. Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ashwin Sasongko, beralasan pemerintah ingin meningkatkan muatan lokal. Tujuannya, agar warga mendapatkan pekerjaan yang baik. ”Kalau bukan pemerintah yang mendukung tenaga kerja Indonesia, siapa lagi?” ujarnya.
Menurut Subiyakto, kebijakan itu membuka peluang bagi biro iklan dan rumah produksi lokal untuk menangani reproduksi film iklan yang belum sesuai dengan aturan. Kabar bagus lain, kata dia, industri yang berafiliasi dengan perusahaan multinasional harus memproduksi iklannya di Indonesia. Mereka tidak bisa lagi memusatkan produksi di negara tertentu dengan alasan efisiensi. Ini akan membuka lapangan kerja baru, atau karyawan yang pernah dirumahkan karena kebijakan efisiensi bisa bekerja kembali.
Tapi pemikiran biro iklan tidak sesederhana itu. Lulut tetap menuntut talenta sesuai dengan kebutuhan skrip, misalnya untuk produk sampo, harus menggunakan sutradara dan penata rambut yang berpengalaman di bidang itu. Begitu juga produk makanan.
Talenta lokal yang mahir di bidang itu, Lulut melanjutkan, sebenarnya ada, tapi jumlahnya terbatas, sehingga harus antre. ”Masalahnya, klien belum tentu bisa menunggu karena kebutuhan pemasaran dan bisnis mereka.” Artinya, kata dia, untuk jenis film iklan sampo dan makanan, pemakaian talenta asing masih dibutuhkan.
Apalagi, Narga menambahkan, jumlah ”jagoan” lokal yang punya kemampuan sebanding dengan talenta asing bisa dihitung dengan jari. Karena itu, ia punya kekhawatiran lain. Talenta lokal yang berpikiran negatif, bisa saja, bukannya memanfaatkan diri untuk meningkatkan kompetensi. Sebaliknya, mereka malah memasang harga (fee) tinggi karena mau nggak mau mereka harus dipakai.
Nurmanjaya tak menutup mata terhadap hal itu. Asosiasi ini, kata dia, memang tidak bisa memberikan garansi karena fee merupakan prerogatif pribadi. Tapi, bagi dia, ini bukan masalah. ”Rasanya, kalau ada oknum yang seperti itu, hampir pasti jumlahnya sedikit. Toh, bisa menggunakan sutradara lain.”
Soal kompetensi, Nurman mengaku, memang ada kebutuhan spesifik yang belum bisa dipenuhi sumber daya domestik, misalnya iklan sampo. Ada teknik hair rigging yang membuat rambut bisa langsung melayang rapi setelah diikat atau digelung. Teknik ini dikuasai Negeri Gajah Putih.
Masalah lain, pencapaian warna untuk film iklan produk kosmetik. Di sini ada proses colour grading yang, konon, kemampuan Jakarta masih jauh di bawah Bangkok. Kecuali dua hal itu, kata Nurman, sebenarnya semua proses pembuatan film iklan dari A sampai Z bisa dilakukan di Jakarta.
Menurut Nurman, ketertinggalan itu ditentukan oleh pengalaman. Dan pengalaman hanya akan diperoleh kalau ada kesempatan. Selama ini, ia menambahkan, banyak kru lokal mengeluh, seolah tidak dipercaya mengerjakan film iklan kualitas satu. Maka, pada masa yang akan datang, sederet agenda telah dibuat APFII untuk mengasah diri, misalnya dengan memanfaatkan beasiswa belajar ke luar negeri dan program pendidikan internal. Ketentuan menteri bahwa kru asing harus mentransfer pengetahuan juga tak akan disia-siakan.
Narga punya prediksi menarik. Ada kemungkinan berbagai perusahaan akan mengalihkan promosinya ke media non-televisi seperti media cetak atau papan reklame. Bahkan, dalam jangka panjang, aturan baru ini akan mengembangkan industri iklan. Secara teori, aturan baru ini akan memicu orang berduit nyemplung ke bisnis ini. Ukuran dan nilai ”kue” yang besar memang sanggup membuat investor tergiur.
Tengok saja data yang dirilis lembaga survei AC Nielsen. Pada 2006 belanja iklan tercatat Rp 30 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp 23 triliun (2005), dan Rp 22 triliun (2004). Departemen Komunikasi dan Informatika malah mencatat angka yang lebih fantastis: Rp 40 triliun pada 2006. Siapa yang tak tergiur oleh angka ini?
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo