Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Preman hingga Birokrat

Sejumlah pengusaha asing hengkang ke negara tetangga. Apa sebabnya?

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti gadis ditinggal kekasihnya, begitulah nasib negeri ini. Investor asing, yang diharapkan ikut berperan memulihkan ekonomi dari keterpurukan, kini justru angkat kaki tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Sepanjang tahun ini saja, sekitar 40 perusahaan asing memindahkan usahanya ke Cina, Myanmar, Vietnam, dan Malaysia. Akibatnya, 70 ribu penganggur baru akan segera bergabung dengan 38 juta penganggur yang sudah ada. Mungkin satu-dua penyebab memang ada pada investor asing itu sendiri. Tapi jujur harus diakui bahwa sumber masalah bercokol di sini. Sebut saja pungutan liar, keamanan yang parah, dan mental para birokrat yang suka main peras. Berikut beberapa keluhan pengusaha asing yang bisa direkam oleh majalah ini. Perpajakan "Sekitar 70 persen perusahaan asing di Indonesia tidak membayar pajak," tutur Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Theo Toemion, beberapa waktu lalu. Menurut Hadi, sebabnya yang utama ialah karena perusahaan asing itu tak kunjung bisa mencetak laba. Dan mereka berkeluh-kesah karena sistem perpajakan di Indonesia sama sekali tidak memberikan insentif. Padahal, menurut mereka, menanam uang di Indonesia sangat berisiko, karena keamanan dan situasi politiknya amatlah labil. Bandingkan dengan Cina. Selain situasi politiknya stabil, negeri itu juga memberi kebebasan pajak selama tahun pertama dan kedua dari masa investasi. Tahun ketiga masih diberi diskon pula. Pungutan pajak baru berlaku normal kalau perusahaan berproduksi penuh. Pungutan Liar Sudah sejak dulu, pungutan liar merajalela. Di Kalimantan Tengah, sebuah perusahaan asal Swiss ditutup gara-gara pungutan gelap. PT Dayak Eco Carpentry (DEC)—nama perusahaan ini—harus mengeluarkan biaya tambahan "di jalanan". Jumlahnya? Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap truk. Akibatnya, harga bahan baku kayu ulin yang mestinya cuma Rp 750 ribu setiap truk, melambung menjadi Rp 1,2 juta. Tak kuat diperas oleh para preman, investor asal Swiss menutup usahanya. Dia merugi, sementara Indonesia lagi-lagi kehilangan lapangan kerja untuk ribuan orang. Perburuhan Benci tapi butuh. Begitulah hubungan antara buruh dan para pengusaha di negeri ini. Buruh di sini melimpah-ruah, tapi suka mogok, apalagi jika tuntutan mereka diabaikan. Belakangan buruh kian agresif, karena undang-undang cenderung melindungi buruh. Yang paling kontroversial—kata sejumlah pengusaha—adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000 tentang Tenaga Kerja. "Keputusan itu sangat menakutkan investor," kata Suryo Bambang Sulistyo, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Promosi Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi. Ditambahkannya, sepanjang tahun 2002 ada delapan perusahan asing hengkang hanya karena masalah perburuhan ini. Penyelundupan Negeri ini termasuk lahan subur bagi penyelundup. Barang-barang bisa dijual sangat murah—karena diselundupkan, barang-barang itu tidak terkena pajak—sementara pasar Indonesia sangat potensial. Ancaman para penyelundup konon pernah dikeluhkan oleh PT Sony Electronics Indonesia. Ini keluhan wajar, karena menyangkut masalah hidup mati perusahaan yang sudah berdiri di Indonesia sejak tahun 1992 itu. Jelas, Sony termasuk investor besar, tapi keluhannya konon tak ditanggapi. Bisa dipahami kalau perusahaan asal Jepang itu akhirnya hengkang. Anggota DPR Alvin Lie mengatakan bahwa hampir semua penyelundupan itu dibekingi oleh aparat berseragam. Kepastian Hukum Sejumlah pengusaha asing mengaku bingung dengan kepastian hukum di Indonesia. Putusan pemerintah pusat kadang bertentangan dengan pemerintah daerah. Sebuah izin usaha yang sudah disetujui di pusat masih bisa mentok di daerah atau sebaliknya. Kalaupun mendapat izin pemerintah pusat dan daerah, itu bukanlah lampu hijau untuk memasang mesin usaha. Sebab, izin itu tak berarti apa-apa jika warga setempat menolak. Jadi, dari siapa bisa diperoleh jaminan untuk perizinan? Lemahnya Keamanan "Indonesia sudah tamat," begitu kata seorang pelaku pasar, ketika bom meledak di Bursa Efek Jakarta, September 2000. Setelah itu, pengusaha asing memang tidak langsung pergi ramai-ramai. Tetapi bayangan Indonesia sebagai negeri yang tak aman sulit dihapus. Apalagi setelah itu rentetan teror dan ledakan bom masih terjadi di sejumlah tempat, yang mencapai puncaknya pada ledakan yang mengguncang Bali, 12 Oktober lalu. Birokrasi yang Berbelit-belit Jumlah meja di Indonesia terlalu banyak, begitu kata seorang pengusaha asing tentang birokrasi perizinan di Indonesia. Soal cacat birokrasi itu juga diakui oleh Kepala BKPM, Theo Toemion. Untuk menangkap ikan saja, kata Theo, izinnya berbulan-bulan. Apalagi otonomi daerah lagi unjuk kuasa, sehingga birokrasi perizinan kian panjang dan menjadi tidak keruan. Wenseslaus Manggut, Levianer Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus