Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea seperti pak tua yang kebakaran jenggot. Dalam gayanya yang meletup-letup, Jacob naik berang lantaran Sony Corp. memindahkan pabriknya ke Malaysia, sekaligus melikuidasi Sony Electronics Indonesia (SEI). Padahal dia sudah minta agar Sony membatalkan rencana itu. Bahkan dia berjanji akan membantu Sony menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi perusahaan Jepang itu.
Namun Jacob juga mengancam. Apa pasal? Katanya, jika permintaannya tak dipenuhi, Jacob akan memimpin pemboikotan terhadap produk Sony. "Perusahaan asing memang kolokan," kata Jacob geram. Menurut pentolan PDI Perjuangan ini, perusahaan asing banyak diberi kemudahan dan fasilitas, tapi masih saja minta yang lain.
Pantaskah Jacob marah? Dilihat dari urusan perburuhan, kemarahannya bisa dimengerti. Gara-gara Sony hengkang, 1.100 buruh Indonesia kehilangan pekerjaan. Dan menjadi urusan tambahan bagi Jacob untuk meredam gejolaknya. Ini tidak mudah karena daftar pengangguran di Indonesia sudah semakin panjang.
Selain itu, Indonesia juga terpukul karena kehilangan Sony Electronics. Pabrik yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat, ini memiliki rentang produksi yang komplet, mulai dari audio sampai video dan televisi. Sampai tahun lalu, Sony Electronics Indonesia masih memproduksi televisi 21 inci. Tapi, gara-gara produknya tak mampu bersaing dengan produk Cina dan Sony impor, pembuatan televisi dihentikan. Padahal omzet Sony tergolong besar, yakni sekitar Rp 1 triliun per tahun.
Namun pihak manajemen Sony menyatakan bahwa penutupan pabriknya di Indonesia merupakan bagian dari strategi global perusahaan raksasa itu. Selain Sony Electronics Indonesia, juga ditutup 15 pabrik yang lain. Kini Sony hanya memiliki 54 pabrik dari sebelumnya 70 buah. Di Asia Tenggara, Sony akan mempertahankan pabriknya di Malaysia, yang memproduksi audio dan video, pabrik di Thailand yang memfokuskan diri pada produksi audio dan video untuk mobil, dan di Filipina yang memproduksi audio mini seperti walkman dan discman.
"Manajemen Sony melihat bahwa perampingan akan memudahkannya bersaing di pasar global," kata Graito Usodo, Vice President PT Mitora International, kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO. Mitora ditunjuk Sony untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan penutupan pabrik Sony.
Kepergian Sony sebetulnya tak terlalu mengejutkan. Sony bukanlah raksasa elektronik yang pertama hengkang dari Indonesia. Menurut catatan salah satu petinggi pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo B. Sulisto, sepanjang tahun ini ada delapan perusahaan Korea yang meninggalkan Indonesia. Bahkan di antara perusahaan elektronik, Sony juga bukan yang pertama. Sebelumnya, Aiwa—diambil alih Sony pada Oktober 2001—juga sudah menutup pabriknya di sini, Mei lalu. Sebentar lagi, menurut Ketua Umum Kadin Indonesia, Aburizal Bakrie, Matsushita juga bakal hengkang.
Namun tak bisa dinafikan kenyataan bahwa Sony adalah ikon dalam bisnis elektronik dunia. Sebagai perusahaan elektronik, nilai tambahnya cukup tinggi dan Sony tentu tidak bisa dikelompokkan dengan industri tekstil dan sepatu yang biasanya mengandalkan buruh murah. Karena itu, ketika manajemen Sony menutup pabriknya di Indonesia, tiba-tiba wajah investasi di negeri ini seperti tercoreng-moreng. Padahal bencana itu tak bisa dianggap semata-mata sebagai aib keterpurukan Indonesia, karena kondisi industri elektronik dunia juga umumnya sedang goyah.
Pendapatan Sony per Maret 2002, misalnya, turun 12 persen dari 3 triliun yen (Rp 215 triliun) menjadi 2,6 triliun yen. Raksasa elektronik Jepang yang lain, Sanyo Electric, juga akan menutup pabrik di sejumlah negara dan memindahkannya ke Cina. Hingga September lalu, Sanyo telah merugi 5,5 miliar yen (US$ 45 juta). Jadi, bukan hal yang aneh jika Sony melakukan perampingan.
Meskipun demikian, sumber TEMPO yakin bahwa ada alasan yang jauh lebih mendasar ketimbang urusan perampingan. Menurut dia, ada alasan lokal yang membuat Sony mempercepat penutupan pabrik, dari rencana tiga tahun lagi menjadi tahun depan. Dilihat dari pasarnya, Indonesia jelas lebih besar berlipat-lipat ketimbang Malaysia atau Thailand. Memang, dari sisi pendapatan per kapita, Indonesia jauh di bawah kedua negara itu, tapi dalam jangka panjang, prospek Indonesia mungkin lebih bagus.
Apa boleh buat, semua itu tak ada artinya karena ada sejumlah soal yang sampai kini masih mengganjal Sony dan produk bermerek (branded) lain, yakni penyelundupan dan kebijakan perpajakan. Penyelundupan barang elektronik sampai kini tak ada jalan keluarnya. Banyak kalangan bahkan menilai bahwa pemerintahan Megawati tak serius menangani kejahatan ekonomi ini.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, pernah mengungkapkan bahwa telepon genggam (handphone) selundupan saja mencapai 2,5 juta unit per tahun. Taruhlah nilai rata-ratanya Rp 1 juta per unit, nilai HP ilegal mencapai Rp 2,5 triliun. Belum produk elektronik seperti televisi atau perangkat audio. Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI, M. Ikhsan, memperkirakan total produk elektronik ilegal ini bisa mencapai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun.
Produk-produk ilegal itulah yang kini membanjiri pasar Indonesia—dan sebagian besar berasal dari Cina. Itu sebabnya harga produk Cina sangat murah. Harga televisi Sony 14 inci, misalnya, sekitar Rp 1,4 juta, tapi produk asal Cina bisa dijual pada harga separuhnya. Makin canggih barang itu, makin besar selisih harganya karena komponen pajak yang dibayar barang legal makin besar.
Tak mengherankan jika produk Cina mendominasi pasar dengan cepat. Pada tahun 2001, produk Cina menguasai 20 persen pangsa pasar elektronik, tapi tahun ini diperkirakan sudah menjadi 35-40 persen. Pada produk pemutar VCD, produk Cina malah menguasai 90 persen pasar. "Merek Cina memang mendominasi penjualan VCD," kata Anto, seorang penjual toko elektronik di Glodok. Menurut dia, setiap hari rata-rata produk Cina terjual lima berbanding satu dengan yang branded.
Nah, celakanya, Sony Indonesia bukan cuma bertarung lawan produk Cina atau Korea Selatan yang harganya sedikit lebih murah. Tapi Sony juga harus berhadapan dengan produk Sony made in Malaysia. Lo? Sumber TEMPO itu menceritakan bahwa 70 persen produk Sony yang beredar di Indonesia berasal dari Malaysia. Produk negeri jiran itu dimasukkan ke Indonesia dengan berbagai cara, tapi hampir semuanya diselundupkan. "Bisa harganya diturunkan ketika memasukkan data harga sewaktu impor (under invoice), bisa juga dijual gelondongan (door to door) per kontainer," katanya. Karena itulah, produk Sony eks Malaysia bisa dijual murah. Televisi 51 inci asal Malaysia bisa dijual dengan harga Rp 40 juta hingga 45 juta per unit, tapi Sony Indonesia menjualnya dengan harga Rp 60 juta.
Dan itu produk yang betul-betul Sony, bukan aspal (asli tapi palsu). "Aturan mainnya sebetulnya jelas, hanya Sony Indonesia yang bisa mengimpor dan menjual produk Sony di Indonesia. Tapi begitulah faktanya di lapangan," kata sumber tadi. Celakanya, Sony Indonesia tak bisa berbuat apa-apa menghadapi hantaman saudara serumpun ini. Dengan harga 25-30 persen lebih murah, wajar jika konsumen memilih Sony buatan Malaysia.
Di atas semua itu, sumber utama kemelut ini adalah kebijakan perpajakan yang amburadul. Salah satu pajak yang dianggap tinggi adalah pajak atas produk audio, yang besarnya 37,5 hingga 47,5 persen. Ditambah biaya operasi (overhead cost) dan pengapalan plus margin laba, harga produk Sony akhirnya jauh lebih mahal ketimbang produk selundupan. "Bagaimana bisa bertahan kalau biaya mahal, pajak mahal, tapi di pasar barang selundupan ada di mana-mana," kata Ketua Gabungan Elektronik Indonesia, Lee Kang Hyun.
Sony bukannya tak mau mengatasi berbagai masalah itu. Chief Executive Officer Sony Corp., Nobuyuki Idei, pernah datang ke Indonesia dan ketika itu berbicara dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Kabarnya, pemerintah menjanjikan sejumlah perbaikan, tapi ternyata hanya beberapa yang ditangani. Soal pajak, misalnya, ada penghapusan pajak untuk televisi 14 inci dari yang semula 10 persen. Langkah kecil itu dianggap tak cukup karena penyelundupan terus terjadi dan pemerintah masih enggan memberikan insentif kepada industri elektronik dan teknologi informasi, yang selalu berkutat dengan penemuan baru atau teknologi baru. "Indonesia bakal ketinggalan jika tetap tak mau memberikan insentif, terutama perpajakan," kata Lee. Ia bahkan pernah meminta agar pajak pertambahan nilai (PPN) bisa dikurangi dari 10 persen menjadi hanya 3 persen. Tapi malang, usul ini tak digubris.
Pada akhirnya Sony memilih untuk menutup pabriknya. Bagi Sony akan jauh lebih menguntungkan jika hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar. Jadi, Sony tak perlu repot mengurus pabrik dan membiayai produksi barang yang harganya jauh lebih mahal ketimbang jika diimpor secara resmi—sekalipun bea masuknya hanya 5 persen. Bagi Sony juga akan lebih efisien kalau memusatkan produksinya di Malaysia, karena sebagian besar komponen memang dibuat di sana. Bukan tidak mungkin, seperti dikatakan Lee, langkah Sony ini akan diikuti yang lain. Kalau eksodus itu benar-benar terjadi, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka (ILMEA), Achdiat Atmawinata, tinggal terkejut sendiri. "Kami pikir semuanya sudah selesai," katanya heran, mengomentari penutupan pabrik Sony.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Levi Silalahi, Retno Sulistyowati (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini