TIKA, seorang wanita kelahiran Surabaya yang bekerja di Jakarta, kini tak pernah pusing bila tiba waktunya mengunjungi orang tuanya. Ia tak perlu lagi membuang waktu untuk mengantre karcis kereta api. Ada pilihan lain yang dulu tak pernah dilakukannya: naik pesawat. Beberapa maskapai penerbangan berlomba-lomba menurunkan harga tiket, yang membuat ongkos naik pesawat bisa masuk dalam bujet keuangannya.
Seru, itu yang terjadi dalam persaingan bisnis di industri penerbangan domestik. Jumlah maskapai penerbangan, yang sebelum krisis pada pertengahan 1997 hanya lima perusahaan, kini sudah berlipat menjadi 12. Ini pun masih mungkin bertambah karena ada puluhan perusahaan yang sedang menanti keluarnya izin operasional dari Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi. Belum lagi perusahaan carteran, yang jumlahnya juga makin banyak. Terbukanya pasar industri ini buat para pemain baru membuat para pemilik perusahaan penerbangan harus pintar-pintar membikin strategi agar lolos dari batu ujian pada tahun 2002 ini.
Satu strategi yang umum adalah melakukan perang tarif. Ganasnya perang yang satu ini membuat setidaknya dua maskapai harus keluar dari arena. Awair, yang baru masuk udara Indonesia pada Juni 2000, mesti mengandangkan burung besinya pada Maret 2002. ”Makin lama, tarif pesawat makin ngawur,” kata juru bicara Awair, Arifin Hutabarat, beberapa waktu lalu. Rencananya, Awair akan terbang kembali pada Juli lalu, tapi rencana itu dibatalkan dan sampai sekarang pesawat milik perusahaan yang didirikan bekas presiden Abdurrahman Wahid itu belum juga terbang. Korban lainnya adalah Kartika Airlines, yang mulai menerbangi Jakarta-Surabaya pada tahun lalu. Perusahaan milik Yayasan Kartika Eka Paksi ini sekarang ngos-ngosan mempertahankan sayapnya.
Sebelum krisis, lima maskapai penerbangan itu bisa kipas-kipas. Jumlah penumpang terus melejit. Sementara pada 1994 jumlah penumpang lokal masih sekitar 11 juta orang, dua tahun kemudian sudah hampir 14 juta. Tapi krisis menghapus senyum mereka. Jumlah penumpang langsung drop menjadi 6,2 juta pada 1998. Garuda dan Merpati segera sigap mengurangi pesawat dan jumlah rute yang diterbangi. Tapi Sempati tak sempat berkelit dari belitan utang dan ambruk. Kendati begitu, minat investor untuk masuk mengisi lubang-lubang kosong yang ditinggalkan tak surut. Mulai tahun 2000, jumlah penumpang memang bergerak naik dengan pertumbuhan sekitar 10 persen. Masuklah kemudian sembilan perusahaan baru, di antaranya Awair, Pelita Air Service, Lion Mentari Airlines, Indonesian Airlines, dan Kartika Airlines.
Perusahaan-perusahaan baru itu mulai masuk pada pertengahan 2000. Sampai tahun 2001, kondisi industri ini masih oke karena pertumbuhan jumlah penumpang ternyata meningkat tajam. Pada tahun itu, jumlah penumpang meningkat hampir 20 persen—angka pertumbuhannya berlipat dua dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, memasuki akhir 2001, industri ini mulai gonjang-ganjing. Komite Pengawas Persaingan Usaha mempersoalkan peran Indonesia National Air Carrier Association (INACA) dalam penentuan tarif penerbangan. Komite melihat INACA tak ubahnya seperti kartel harga. Sampai akhir 2001, INACA memang punya peran penting dalam menentukan batas atas dan batas bawah tarif penerbangan lokal. Mulai Februari 2002, kewenangan itu diambil sepenuhnya oleh pemerintah dengan menghapuskan batas bawah. Sejak saat itulah ”Perang Bubat” di industri penerbangan terjadi.
Pada mulanya, sejumlah perusahaan penerbangan masih malu-malu memangkas harga tiketnya. Berbagai istilah pun dibuat: harga perkenalan, pekan promosi, harga khusus, dan lain-lain. Tapi, sejak pembebasan batas bawah itu, maskapai penerbangan berlomba menurunkan tarif. Tiket Jakarta-Surabaya, yang sebelumnya rata-rata Rp 780 ribu, kini bisa dibeli dengan harga hanya Rp 330 ribu. Rute yang lain sama saja. Tak ada lagi jalur gemuk atau jalur kering. Semuanya dibanting. Tiket jalur padat Jakarta-Medan, yang semula dijual Rp 1,2 juta, kini bisa diperoleh dengan harga hanya Rp 450 ribu atau ada diskon lebih dari 60 persen. Akhirnya, perusahaan penerbangan tak cuma berkelahi dengan sesama perusahaan penerbangan, tapi juga dengan perusahaan pelayaran dan kereta api (lihat Jeritan dari Darat dan Laut).
Tentu saja perang tarif ini sangat menguntungkan konsumen. Angkutan udara tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam kategori angkutan mewah. Harganya sudah sangat bersaing dengan angkutan kereta api atau angkutan laut. Jalur Jakarta-Surabaya, yang semula ongkosnya 2,7 kali lebih mahal dari tiket kereta api paling mewah di Indonesia, Argo Bromo Anggrek, kini harganya cuma 15 persen lebih mahal. Dengan selisih yang tipis, penumpang bisa menghemat banyak waktu. Pada jalur itu, misalnya, orang cuma perlu satu jam dengan naik pesawat, sepersepuluh waktu yang dihabiskan di kereta api. Begitu pula jalur Jakarta-Batam-Medan. Tak aneh jika jumlah penumpang dalam dua tahun terakhir ini melonjak. Tahun ini, penumpang pesawat diperkirakan mencapai 11,3 juta atau naik hampir 25 persen.
Sayangnya, kenikmatan penumpang tadi mesti dibayar mahal oleh perusahaan penerbangan. Sebagian dari mereka gagal menutup kerugian akibat penurunan pendapatan operasional. Arifin Hutabarat mencontohkan bagaimana perusahaannya harus tekor gara-gara memangkas harga jalur Jakarta-Surabaya dari Rp 780 ribu menjadi Rp 400 ribu. Dengan load factor (jumlah penumpang rata-rata) 50-60 persen, Awair hanya mampu mendapatkan pemasukan dari jalur itu Rp 9 miliar setiap bulannya. Padahal pengeluaran untuk satu pesawat setiap bulan mencapai Rp 11,5 miliar. Uang itu antara lain dihabiskan untuk membiayai sewa pesawat, asuransi, perawatan, dan bahan bakar. Awair juga salah pilih pesawat. Perusahaan ini menggunakan pesawat berbadan lebar Airbus A-320, yang mubazir dalam kondisi penumpang terbatas.
Kondisi yang sama dihadapi perusahaan lain. Kalaupun masih banyak yang bertahan, itu bergantung pada banyak hal, di antaranya penggunaan jenis pesawat yang tepat, jumlah pesawat, dan tempat penyewaan (leasing) pesawat yang pas. Jika salah pilih perusahaan leasing, maskapai mesti membayar harga sewa yang tinggi, seperti yang terjadi pada Garuda Indonesia beberapa tahun lalu. Sementara itu, Kartika Airlines sekarang kerepotan karena hanya menggunakan satu pesawat. ”Kalau ada kerusakan, ya terpaksa di-cancel (dibatalkan) dan ini bisa membuat penumpang lari ke perusahaan lain,” kata Ketua INACA Wahyu Hidayat, yang juga bekas Direktur Utama Merpati. Belum lagi ganjalan dari utang. Garuda dan Merpati, misalnya, masih menghadapi utang yang besar, sehingga sebagian besar pendapatannya habis untuk membayar pinjamannya.
Bahwa saat ini masih banyak maskapai penerbangan yang mampu bertahan, itu pasti karena mereka punya banyak akal. Garuda, misalnya, menerapkan tarif fleksibel dengan rentang harga yang banyak. Di kelas bisnis, ada dua jenis harga, sementara di kelas ekonomi ada sembilan jenis. Pada musim paceklik, Garuda akan memperbanyak penjualan tiket kelas ekonomi dengan kisaran harga yang termurah. Tapi, begitu memasuki musim panen, Garuda menjual kursi yang harganya lebih mahal. ”Kita fleksibel saja. Semuanya tergantung supply-demand,” kata Pujobroto, juru bicara Garuda Indonesia. Hal yang sama diterapkan oleh Indonesian Airlines. Untuk Jakarta-Surabaya, misalnya, Indonesian menerapkan tiga jenis tarif.
Selain itu, sejumlah perusahaan meluncurkan berbagai program lain untuk menggaet penumpang sebanyak-banyaknya, sekaligus menghindari tudingan banting harga. Garuda, umpamanya, meluncurkan program Citilink (low cost operation system). Dengan program ini, Garuda menggunakan pesawat milik sendiri, tidak ada makanan, dengan kru pesawat sesedikit mungkin. Jalur yang dilayani biasanya juga jalur pendek. Karena itu, Garuda bisa memangkas harga tiket lumayan besar. Tiket Surabaya-Balikpapan, misalnya, dijual dengan harga sekitar Rp 400 ribu—dari semula Rp 550 ribu. Ada juga perusahaan penerbangan yang memberikan berbagai hadiah. Air Mark Indonesia, salah satunya, memberikan hadiah berupa satu jeriken sirup Markisa Super untuk jalur Jakarta-Medan.
Meskipun demikian, berbagai terobosan tadi tetap saja membuat maskapai penerbangan megap-megap. Kalaupun masih ada yang untung, nilainya tidak terlalu besar. Kue bisnis penerbangan, yang dulu hanya dibagi lima maskapai, kini mesti dipotong menjadi 10 irisan. Hal ini diakui Direktur Utama Indonesian Airlines, Rudy Setyopurnomo. ”Kami masih bisa mencatat untung meskipun tak banyak,” katanya. Bagaimanapun, kondisi ini, ujar Wahyu Hidayat dari INACA, masih membuat happy sebagian besar perusahaan penerbangan. ”Yang penting, jumlah penumpang naik terus, sehingga kue yang bisa dibagi juga makin besar,” ucapnya. Sekarang mungkin saja maskapai penerbangan itu mengaku senang, tapi saat napas sudah mulai tersengal, sementara izin penerbangan baru terus dikeluarkan, rasa gembira itu bakal memudar.
M. Taufiqurohman, Levi Silalahi, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini