Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dari Roneo Ke Palapa

Peringatan LKBN antara ke-40 ditandai dengan terbitnya buku yang ditulis oleh Soebagijo I.N. buku lima windu memuat sejarah dan perjuangan antara serta gambaran keadaan pers Indonesia. (md)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU lagi buku baru terbit. Lumayan tebalnya -- 255 halaman. Mewah cetakannya -- dengan kulit tebal. Lembaga Kantor Berita Nasional Antara menerbitkannya guna memperingati usianya yang 40 tahun. Dengan judul Lima Windu, buku ini memuat sejarah dan perjuangannya. Walau menceritakan Antara yang buletin pertamanya terbit 13 Desember 1937, ia juga pada hakekatnya selintas menggambarkan keadaan pers Indonesia dalam kurun waktu yang dicakupnya. Penulisnya -- Soebagijo Ilham Notodidjojo -- kini menjabat kepala Perpustakaan, Riset dan Dokumentasi di kantorberita itu. Kegemarannya menulis sejarah pers nasional sudah lama dikenal. Maka tampak tidak canggung lagi baginya untuk menghimpun bahan buku ini. Kantor Adam Mahasiswa Soemanang dan beberapa anak muda lainnya pada suatu ketika berbincang-bincang di tempat pondokan mereka di Jl. Raden Saleh Kecil no.2, Jakarta. Tadinya Soemanang pernah menerbitkan mingguan di Bogor Ada rekan bertanya Apa namanya? Perantaraan, jawabnya. Dari situlah lahir nama Antara, kantorberita yang mereka idamkan. Pendapat sastrawan Sanoesi Pane yang hadir di situ rupanya sangat menetukan bahwa nama "itu cukup baik" hingga semua menyetujuinya. Bagaimana kantor? Albert Manoempak Sipahoetar, wartawan muda yang bekerja di biro reklame ARTA (antara lain melayani promosi Unilever), membawa Soemanang ke kantor ekspedisi "Pengharapan" -- terdiri dari satu ruangan, satu meja dan satu kursi -- di Buitentijger straat (kini Jl. Pinangsia, Jakarta Kota) no. 30. Di situ Adam Malik tinggal. Dan di situ pula mesin roneo bekas mengeluarkan buletin Antara yang pertama. Kantor berita nasional ketika itu jelas merupakan kebutuhan zaman, guna menyalurkan pemberitaan tentang kegiatan kaum pejuang kemerdekaan. Aneta, kantor berita Belanda, cenderung mengecilkan, malah tidak memberitakannya Maka kelahiran Antara, walau dengan segala kekurangannya, disambut baik oleh banyak surat kabar nasional tapi yang umumnya juga lemah. Pembayaran diperolehnya lebih banyak dari langganan koran Tionghoa-Melayu seperti Keng Po. Bahkan koran itu, atas usaha Djohan Syahruzah (yang kemudian menjadi tokoh PSI), mengizinkan wartawan kotanya, Abdul Hakim, membantu Antara. Buku ini menyediakan satu bab mengenai zaman Jepang, zaman Domei. Ditonjolkannya peranan orang Indonesia di kantorberita Jepang itu sampai pada usaha menyiarkan teks proklamasi 17 Agustus 1945 yang cukup bersejarah. Nasi Bungkus Dilarang di zaman Jepang, ia dihidupkan kembali di zaman revolusi. Cabangnya berdiri di berbagai daerah. Bukan hanya di Jawa, tapi juga di Sumatera, orang Antara "berjoang dengan ihlas" untuk mempertahankan RI. "Upah" mereka "sebungkus nasi dari dapur umum." Dengan siaran morse mereka menembus blokade Belanda. Siaran Antara dari pedalaman akhirnya terdengar juga di dunia luar. Peralatannya masih sederhana sekali, tapi orang-orangnya bersemangat pejuang. Terdapat "wartawan istimewa" yang bertugas di front. Namun mereka enggan disebut War Correspondent karena singkatan WC berbau tak sedap. Sebagai kantor berita perjuangan, missinya ialah mengumpulkan informasi dan menyebarkan seluas mungkin tanpa langganan. Siapa saja boleh mengutip siaran beritanya tanpa bayar. Sumber keuangan, jika ada, diperolehnya dari Kementerian Penerangan. Itulah dimulainya bantuan pemerintah baginya. Sesudah KMB di Den Haag dan penyerahan kedaulatan (pada RIS), Antara memasuki babak persaingan -- terutama menghadapi Aneta, kemudian PIA. Maka ia mulai memikirkan berita untuk dijual. Keadaan politik di masa Demokrasi Terpimpin membantunya dalam persaingan itu. Desember 1962, Presiden RI menyatukan PIA ke dalam Antara. Dua kantor berita lainnya -- APB dan INPS yang kecilan -- pun dibubarkan. Sejak 1954 para pendukung PIA yang dipimpin Djamaluddin Adinegoro diajak bergabung. Terdapat suara pro dan kontra. Antara lain Moh. Insnaeni pemimpin redaksi Suluh Indonesia yang menjabat ketua badan pengurus PIA menentang. Alasannya pada tahun 1956: Pemberitaan Antara "sangat berbau PKI ... Lebih baik ada dua kantor berita, supaya ada kompetisi yang baik." Dengan penyatuan itu Antara menjadi alat revolusi dan di-Nasakom-kan sesuai dengan tuntutan zamannya. Kompetisi masih terjadi tapi ke dalam sifatnya yang diungguli oleh Djawoto dkk yang mendukung PKI. Para karyawannya ternyata pecah dalam tiga kelompok -- SBPA (PKI), IKA (karyawan Antara lama yang non-komunis) dan IKRAR (berasal PIA ). SBPA itu demikian kuat -- apalagi ikut "mengganyang Manikebu, BPS, Murba" dan "kaum reaksioner" lainnya -- hingga mereka pada hakekatnya mematangkan suasana menjelang G-30-S/PKI. Tahun 1966, Antara dengan kelahiran Orde Baru memulai lagi memperbaiki diri. Pemerintah tetap mempertahankannya, membantunya sebagal kantor berita nasional "yang sedang berkembang." Bantuan keuangan pemerintah makin nyata baginya. Kemajuannya pada usia 40 tahun ini sungguh-sungguh memasuki zaman Palapa dan satelit. Umpamanya, dalam ia menerima siaran AFP dan Reuters dari luar negeri, dan dalam jaringan telekomunikasi domestiknya. Zaman morse dan "nasi bungkus" sudah jauh ditinggalkannya. Namun Lima Windu mengakui ketinggalannya masih jauh pula dibanding dengan "berbagai kantor berita di dunia dalam produksi (rewriting, editing, dokumentasi dan accounting) berita" yang sudah menggunakan "sistim komputerisasi." Buku ini bersifat informatif, mungkin mengasyikkan bagi wartawan generasi perintis. Wartawan generas muda mungkin menilainya sebagai bacaan 'kering' dengan teknik penyajiannya yang kurang komersial. Tapi sebagai rekaman sejarah, penerbit dan penulisnya sungguh telah berjasa memperkaya perpustakaan pers Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus