SATU lagi buku baru terbit. Lumayan tebalnya -- 255 halaman.
Mewah cetakannya -- dengan kulit tebal. Lembaga Kantor Berita
Nasional Antara menerbitkannya guna memperingati usianya yang 40
tahun. Dengan judul Lima Windu, buku ini memuat sejarah dan
perjuangannya. Walau menceritakan Antara yang buletin pertamanya
terbit 13 Desember 1937, ia juga pada hakekatnya selintas
menggambarkan keadaan pers Indonesia dalam kurun waktu yang
dicakupnya.
Penulisnya -- Soebagijo Ilham Notodidjojo -- kini menjabat
kepala Perpustakaan, Riset dan Dokumentasi di kantorberita itu.
Kegemarannya menulis sejarah pers nasional sudah lama dikenal.
Maka tampak tidak canggung lagi baginya untuk menghimpun bahan
buku ini.
Kantor Adam
Mahasiswa Soemanang dan beberapa anak muda lainnya pada suatu
ketika berbincang-bincang di tempat pondokan mereka di Jl. Raden
Saleh Kecil no.2, Jakarta. Tadinya Soemanang pernah menerbitkan
mingguan di Bogor Ada rekan bertanya Apa namanya? Perantaraan,
jawabnya. Dari situlah lahir nama Antara, kantorberita yang
mereka idamkan. Pendapat sastrawan Sanoesi Pane yang hadir di
situ rupanya sangat menetukan bahwa nama "itu cukup baik" hingga
semua menyetujuinya.
Bagaimana kantor? Albert Manoempak Sipahoetar, wartawan muda
yang bekerja di biro reklame ARTA (antara lain melayani promosi
Unilever), membawa Soemanang ke kantor ekspedisi "Pengharapan"
-- terdiri dari satu ruangan, satu meja dan satu kursi -- di
Buitentijger straat (kini Jl. Pinangsia, Jakarta Kota) no. 30.
Di situ Adam Malik tinggal. Dan di situ pula mesin roneo bekas
mengeluarkan buletin Antara yang pertama.
Kantor berita nasional ketika itu jelas merupakan kebutuhan
zaman, guna menyalurkan pemberitaan tentang kegiatan kaum
pejuang kemerdekaan. Aneta, kantor berita Belanda, cenderung
mengecilkan, malah tidak memberitakannya Maka kelahiran Antara,
walau dengan segala kekurangannya, disambut baik oleh banyak
surat kabar nasional tapi yang umumnya juga lemah. Pembayaran
diperolehnya lebih banyak dari langganan koran Tionghoa-Melayu
seperti Keng Po. Bahkan koran itu, atas usaha Djohan Syahruzah
(yang kemudian menjadi tokoh PSI), mengizinkan wartawan kotanya,
Abdul Hakim, membantu Antara.
Buku ini menyediakan satu bab mengenai zaman Jepang, zaman
Domei. Ditonjolkannya peranan orang Indonesia di kantorberita
Jepang itu sampai pada usaha menyiarkan teks proklamasi 17
Agustus 1945 yang cukup bersejarah.
Nasi Bungkus
Dilarang di zaman Jepang, ia dihidupkan kembali di zaman
revolusi. Cabangnya berdiri di berbagai daerah. Bukan hanya di
Jawa, tapi juga di Sumatera, orang Antara "berjoang dengan
ihlas" untuk mempertahankan RI. "Upah" mereka "sebungkus nasi
dari dapur umum." Dengan siaran morse mereka menembus blokade
Belanda. Siaran Antara dari pedalaman akhirnya terdengar juga di
dunia luar. Peralatannya masih sederhana sekali, tapi
orang-orangnya bersemangat pejuang. Terdapat "wartawan istimewa"
yang bertugas di front. Namun mereka enggan disebut War
Correspondent karena singkatan WC berbau tak sedap.
Sebagai kantor berita perjuangan, missinya ialah mengumpulkan
informasi dan menyebarkan seluas mungkin tanpa langganan. Siapa
saja boleh mengutip siaran beritanya tanpa bayar. Sumber
keuangan, jika ada, diperolehnya dari Kementerian Penerangan.
Itulah dimulainya bantuan pemerintah baginya.
Sesudah KMB di Den Haag dan penyerahan kedaulatan (pada RIS),
Antara memasuki babak persaingan -- terutama menghadapi Aneta,
kemudian PIA. Maka ia mulai memikirkan berita untuk dijual.
Keadaan politik di masa Demokrasi
Terpimpin membantunya dalam persaingan itu. Desember 1962,
Presiden RI menyatukan PIA ke dalam Antara. Dua kantor berita
lainnya -- APB dan INPS yang kecilan -- pun dibubarkan.
Sejak 1954 para pendukung PIA yang dipimpin Djamaluddin
Adinegoro diajak bergabung. Terdapat suara pro dan kontra.
Antara lain Moh. Insnaeni pemimpin redaksi Suluh Indonesia yang
menjabat ketua badan pengurus PIA menentang. Alasannya pada
tahun 1956: Pemberitaan Antara "sangat berbau PKI ... Lebih baik
ada dua kantor berita, supaya ada kompetisi yang baik."
Dengan penyatuan itu Antara menjadi alat revolusi dan
di-Nasakom-kan sesuai dengan tuntutan zamannya. Kompetisi masih
terjadi tapi ke dalam sifatnya yang diungguli oleh Djawoto dkk
yang mendukung PKI. Para karyawannya ternyata pecah dalam tiga
kelompok -- SBPA (PKI), IKA (karyawan Antara lama yang
non-komunis) dan IKRAR (berasal PIA ).
SBPA itu demikian kuat -- apalagi ikut "mengganyang Manikebu,
BPS, Murba" dan "kaum reaksioner" lainnya -- hingga mereka pada
hakekatnya mematangkan suasana menjelang G-30-S/PKI.
Tahun 1966, Antara dengan kelahiran Orde Baru memulai lagi
memperbaiki diri. Pemerintah tetap mempertahankannya,
membantunya sebagal kantor berita nasional "yang sedang
berkembang." Bantuan keuangan pemerintah makin nyata baginya.
Kemajuannya pada usia 40 tahun ini sungguh-sungguh memasuki
zaman Palapa dan satelit. Umpamanya, dalam ia menerima siaran
AFP dan Reuters dari luar negeri, dan dalam jaringan
telekomunikasi domestiknya.
Zaman morse dan "nasi bungkus" sudah jauh ditinggalkannya.
Namun Lima Windu mengakui ketinggalannya masih jauh pula
dibanding dengan "berbagai kantor berita di dunia dalam produksi
(rewriting, editing, dokumentasi dan accounting) berita" yang
sudah menggunakan "sistim komputerisasi."
Buku ini bersifat informatif, mungkin mengasyikkan bagi wartawan
generasi perintis. Wartawan generas muda mungkin menilainya
sebagai bacaan 'kering' dengan teknik penyajiannya yang kurang
komersial. Tapi sebagai rekaman sejarah, penerbit dan penulisnya
sungguh telah berjasa memperkaya perpustakaan pers Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini