Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kran Rachmat Tak Diputar Lebar

Surplus neraca pembayaran pada thn buku 1978 hanya US$ 157 juta. menurut rachmat saleh, kredit bank akan diperketat sehingga inflasi terkendali. Akibat kenop 15, pemilik uang lari ke bank Singapura. (ekbis)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA indikator ekonomi 1978 menunjukkan hasil yang lebih baik dari 1977. Tapi prestasi neraca pembayaran Indonesia selama tahun kalender 1978 jauh lebih mundur dari prestasi 1977. Indonesia menutup tahun buku 1978 dengan surplus neraca pembayaran hanya US$ 157 juta surplus pada 1977 mencapai US$ 1,1 milyar. Ekspor minyak turun US$ 500 juta dibanding ekspor minyak pada 1977, sekalipun ekspor gas alam cair naik dengan US$ 168 juta. Ekspor non-minyak hanya naik dengan 4% menjadi US$ 3,7 milyar. Kenaikan yang kecil ini terjadi sekalipun sebenarnya harga bahan utama ekspor Indonesia lebih baik (kecuali kopi) selama 1978 dibanding setahun sebelumnya. Harga karet, minyak sawit, kayu dan timah lebih tinggi dari harga pada 1977. Tapi masalah ekspor Indonesia memang cukup sederhana: Bagaimana ekspor bisa naik kalau produksinya tidak naik? Produksi karet, kopi atau minyak sawit tak bisa dinaikkan hanya dalam beberapa bulan. Karena itu diperlukan waktu beberapa tahun untuk melihat apakah devaluasi rupiah memang bisa meningkatkan ekspor bahan-bahan utama ini. Dan selama hal ini belum menjadi kenyataan, biarlah Indonesia berdoa semoga harga bahan-bahan ekspornya di pasaran internasional terus naik. Jelaslah, tak banyak yang bisa diharapkan Indonesia pada 1979 ini. Tetap Ketat Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh dalam suatu jamuan makan malam dengan para bankir baru-baru ini memperkirakan harga barang ekspor tradisionil Indonesia akan menghadapi "tekanan". Rachmat menunjuk pada perkiraan rendahnya pertumbuhan ekonomi dunia pada 1979 dibanding pertumbuhan selama 1978. Menurut Rachmat, kenaikan volume perdagangan antara negara-negara OECD diperkirakan sedikit lebih lambat, sedangkan volume impor negara-negara berkembang non OPEC diperkirakan akan merosot. Rachmat Saleh juga mengungkapkan prioritas program pemerintah tahun ini adalah mengendalikan inflasi. Katanya: "Keuntungan dari devaluasi akan lenyap, jika devaluasi dengan cepat diikuti oleh inflasi." Menurut Rachmat, pengendalian inflasi ini akan dilakukan lewat pengendalian kredit bank yang ketat. Dan Rachmat mengakui ini bisa menciptakan "beberapa kemandegan" dalam kegiatan ekonomi Indonesia untuk beberapa waktu. Kepada bank pemerintah maupun swasta akan ditetapkan batas pemberian kredit (ceiling) dan plafon ini harus dituruti secara ketat. Keperluan likwiditas tidak semuanya terpenuhi, menurut Rachmat, dan dana yang tersedia akan disalurkan pada sektor-sektor yang mendapat prioritas. Kalau kredit bank akan diperketat, maka pertambahan peredaran uang beredar akan turun. Sampai minggu pertama Desember 1978, jumlah uang yang beredar menurut Laporan Mingguan Bank Indonesia sudah mencapai Rp 2514 milyar, atau pertambahan 25% selama 1978, suatu tingkat pertambahan yang sama pada 1977. Kenaikan jumlah uang beredar yang paling besar terjadi pada Nopember 1978, sebanyak Rp 80 milyar. Ini terutama karena melonjaknya permintaan kredit dari perusahaan-perusahaan untuk menutup keperluan modal kerjanya akibat devaluasi, di samping penerimaan rupiah oleh eksportir meningkat dengan perobahan kurs. Belum jelas apakah pengendalian kredit bank yang ketat itu akan dilakukan lewat kenaikan tingkat bunga di samping juga lewat alokasi dana kesektor yang mendapat prioritas. Tapi yang pasti permintaan kredit yang sebagian tak terpenuhi itu akan mendorong naiknya bunga di pasaran bebas, dan ini memang sudah terjadi. Sementara itu dana dari masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabanas/taska turun sejak 15 Nopember 1978. Dalam waktu sebulan antara akhir Oktober dan Nopember 1978, deposito berjangka anjlog dengan Rp 5 milyar, dan tabanas/taska turun hampir Rp 3 milyar, jumlah penurunan paling besar selama ini. Banyak penyimpan deposito memang panik dengan pengumuman 15 Nopember dan buru-buru menarik depositonya. Tapi setelah situasi agak reda tampaklah peranan Singapura di belakang merosotnya deposito ini. Beberapa bank devisa belakangan ini menerima permintaan wesel dalam dollar Singapura secara menyolok, yang menunjukkan terjadinya arus modal dari Indonesia ke Singapura. Selidik punya selidik, ternyata bank-bank di Singapura memberi kenaikan bunga deposito dari 5,75% untuk deposito setahun menjadi 9% sejak 15 Nopember 1978: perangsang yang cukup menarik bagi pemilik uang di sini untuk memindahkannya ke Singapura. Bagi mereka yang punya banyak duit, rayuan bunga Singapura itu bisa membuat modal dari Indonesia lebih banyak lari ke sana. Keinginan untuk melarikan modal ke luar makin santer terdengar setelah timbulnya desas-desus pemerintah akan melakukan pengawasan ketat terhadap sistim devisa, lebih jauh lagi, kabar angin akan adanya devaluasi lagi sekitar 20%-40% sudah bertiup. Tapi kontan dibantah tegas oleh Rachmat Saleh. Dia juga membantah pemerintah akan mengawasi lalu lintas devisa. Namun setelah goncangan Kenop-15, rasa was-was itu tak mudah hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus