BEBERAPA indikator ekonomi 1978 menunjukkan hasil yang lebih
baik dari 1977. Tapi prestasi neraca pembayaran Indonesia selama
tahun kalender 1978 jauh lebih mundur dari prestasi 1977.
Indonesia menutup tahun buku 1978 dengan surplus neraca
pembayaran hanya US$ 157 juta surplus pada 1977 mencapai US$
1,1 milyar. Ekspor minyak turun US$ 500 juta dibanding ekspor
minyak pada 1977, sekalipun ekspor gas alam cair naik dengan US$
168 juta.
Ekspor non-minyak hanya naik dengan 4% menjadi US$ 3,7 milyar.
Kenaikan yang kecil ini terjadi sekalipun sebenarnya harga bahan
utama ekspor Indonesia lebih baik (kecuali kopi) selama 1978
dibanding setahun sebelumnya. Harga karet, minyak sawit, kayu
dan timah lebih tinggi dari harga pada 1977.
Tapi masalah ekspor Indonesia memang cukup sederhana: Bagaimana
ekspor bisa naik kalau produksinya tidak naik? Produksi karet,
kopi atau minyak sawit tak bisa dinaikkan hanya dalam beberapa
bulan. Karena itu diperlukan waktu beberapa tahun untuk melihat
apakah devaluasi rupiah memang bisa meningkatkan ekspor
bahan-bahan utama ini. Dan selama hal ini belum menjadi
kenyataan, biarlah Indonesia berdoa semoga harga bahan-bahan
ekspornya di pasaran internasional terus naik. Jelaslah, tak
banyak yang bisa diharapkan Indonesia pada 1979 ini.
Tetap Ketat
Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh dalam suatu jamuan makan
malam dengan para bankir baru-baru ini memperkirakan harga
barang ekspor tradisionil Indonesia akan menghadapi "tekanan".
Rachmat menunjuk pada perkiraan rendahnya pertumbuhan ekonomi
dunia pada 1979 dibanding pertumbuhan selama 1978. Menurut
Rachmat, kenaikan volume perdagangan antara negara-negara OECD
diperkirakan sedikit lebih lambat, sedangkan volume impor
negara-negara berkembang non OPEC diperkirakan akan merosot.
Rachmat Saleh juga mengungkapkan prioritas program pemerintah
tahun ini adalah mengendalikan inflasi. Katanya: "Keuntungan
dari devaluasi akan lenyap, jika devaluasi dengan cepat diikuti
oleh inflasi." Menurut Rachmat, pengendalian inflasi ini akan
dilakukan lewat pengendalian kredit bank yang ketat. Dan Rachmat
mengakui ini bisa menciptakan "beberapa kemandegan" dalam
kegiatan ekonomi Indonesia untuk beberapa waktu. Kepada bank
pemerintah maupun swasta akan ditetapkan batas pemberian kredit
(ceiling) dan plafon ini harus dituruti secara ketat. Keperluan
likwiditas tidak semuanya terpenuhi, menurut Rachmat, dan dana
yang tersedia akan disalurkan pada sektor-sektor yang mendapat
prioritas.
Kalau kredit bank akan diperketat, maka pertambahan peredaran
uang beredar akan turun. Sampai minggu pertama Desember 1978,
jumlah uang yang beredar menurut Laporan Mingguan Bank Indonesia
sudah mencapai Rp 2514 milyar, atau pertambahan 25% selama 1978,
suatu tingkat pertambahan yang sama pada 1977. Kenaikan jumlah
uang beredar yang paling besar terjadi pada Nopember 1978,
sebanyak Rp 80 milyar. Ini terutama karena melonjaknya
permintaan kredit dari perusahaan-perusahaan untuk menutup
keperluan modal kerjanya akibat devaluasi, di samping penerimaan
rupiah oleh eksportir meningkat dengan perobahan kurs.
Belum jelas apakah pengendalian kredit bank yang ketat itu akan
dilakukan lewat kenaikan tingkat bunga di samping juga lewat
alokasi dana kesektor yang mendapat prioritas. Tapi yang pasti
permintaan kredit yang sebagian tak terpenuhi itu akan mendorong
naiknya bunga di pasaran bebas, dan ini memang sudah terjadi.
Sementara itu dana dari masyarakat dalam bentuk deposito
berjangka dan tabanas/taska turun sejak 15 Nopember 1978. Dalam
waktu sebulan antara akhir Oktober dan Nopember 1978, deposito
berjangka anjlog dengan Rp 5 milyar, dan tabanas/taska turun
hampir Rp 3 milyar, jumlah penurunan paling besar selama ini.
Banyak penyimpan deposito memang panik dengan pengumuman 15
Nopember dan buru-buru menarik depositonya. Tapi setelah situasi
agak reda tampaklah peranan Singapura di belakang merosotnya
deposito ini. Beberapa bank devisa belakangan ini menerima
permintaan wesel dalam dollar Singapura secara menyolok, yang
menunjukkan terjadinya arus modal dari Indonesia ke Singapura.
Selidik punya selidik, ternyata bank-bank di Singapura memberi
kenaikan bunga deposito dari 5,75% untuk deposito setahun
menjadi 9% sejak 15 Nopember 1978: perangsang yang cukup menarik
bagi pemilik uang di sini untuk memindahkannya ke Singapura.
Bagi mereka yang punya banyak duit, rayuan bunga Singapura itu
bisa membuat modal dari Indonesia lebih banyak lari ke sana.
Keinginan untuk melarikan modal ke luar makin santer terdengar
setelah timbulnya desas-desus pemerintah akan melakukan
pengawasan ketat terhadap sistim devisa, lebih jauh lagi, kabar
angin akan adanya devaluasi lagi sekitar 20%-40% sudah bertiup.
Tapi kontan dibantah tegas oleh Rachmat Saleh. Dia juga
membantah pemerintah akan mengawasi lalu lintas devisa. Namun
setelah goncangan Kenop-15, rasa was-was itu tak mudah hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini