Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater, 200 penonton

Sanggar teater jakarta mementaskan "mentang-mentang dari new york" saduran noorca marendra di arena terbuka pasar seni ancol. grup teater tak perlu mencari tempat pentas & ancol pun tidak sepi penonton.(ter)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN baru sekali ini di Pasar Seni Ancol, Jakarta, ada pementasan drama. 18 Januari kemarin, Sanggar Te ater Jakarta --yang pernah ikut Festival Teater Remaja dan menjadi harapan banyak orang -- mementaskan Mentang-mentang dari New York saduran Noorca Marendra di Arena Terbuka Pasar Seni Ancol. Gaya pementasan memang cocok dengan suasana Sudibyanto, sutradaranya, menyuguhkan tontonan lenong. Tapi ceritanya itu sendiri sudah unik. Begini. Seorang cewek penjual serabi, berhasil pergi ke New York dan tinggal beberapa lama di sana. Pulang ke Jelambar, kampung halamannya di Jakarta, dia demam New York. Segala sesuatu di lingkungannya harus berbau New York. Bahkan emaknya, yang sudah lebih setengah umur, disuruhnya mempermak wajahnya ke salon. Dan di rumah dimintanya memakai backless. Naskah Noorca ini memang komedi akhirnya si cewek kembali ke "kepribadian kampung halaman" -- karena pacarnya menolak menikahinya kalau dia masih sok New York. Melihat pementasan gaya lenong, kita memang tak perlu bertanya: kenapa si cewek bisa sampai ke sono, apa urusannya dan, lain-lain. Yang penting lucu, peronton senang pemain senang. Dan penonton yang kurang lebih 200 orang memang banyak tertawa, melupakan mendung tebal yang menggantung di Taman Impian Ancol. Untung saja tidak hujan. Sementara beberapa bulan ini pementasan teater di Taman Ismail Marzuki agak sepi (terakhir Bel Geduwel Beh Danarto, Nopember lalu), menarik bahwa Ancol menaruh perhatian terhadap teater modern -- yang di luar TIM dan Gelanggang-gelanggang Remaja diduga tak ada peminatnya. Numpang Berlatih Tapi memang Ancol punya pegangan dalam pengaturan acara. Tahun 1977 diadakan angket pengunjung: pertunjukan apa saja yang mereka sukai. Hasilnya di samping band, sandiwara modern ternyata termasbk yang mendapat suara banyak. Pengunjung yang mengisi angket itu tentunya sudah tahu lebih dahulu bagaimana "teater modern" itu. Sebab sudah sejak 1975 Pasar Seni Ancol menyuguhkan teater. Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, mungkin yang melakukan gebrakan pertama dengan pementasan Lho. Lalu juga Teater Sajanya Ikranagara, beberapa grup teater remaja antara lain Teater Sunda Kelapa -- di samping sudah sejak setahun lewat Pasar Seni punya grup sendiri: Teater Pasar. Pertunjukan teater di arena terbuka itu gratisan. Ini tentunya sesuai dengan honor yang diterima grup-grup teater itu: antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Mulanya memang tak dimaksudkan sebagai pertunjukan khusus. Artinya grup itu tidak mempersiapkan permainannya semata-mata untuk Ancol. Teater Mandiri misalnya, tahun 1975 itu boleh dikatakan numpang berlatih di Ancol -- untuk pementasan di TIM. Juga Ikranagara membawakan naskah yang habis dipentaskan di TIM. Jadi wajar, kalau Sanggar Teater Jakarta misalnya mengeluh: honor tak cukup kalau juga diperhitungkan dengan biaya latihan. Ya jangan mengeluh. Paling tidak grup teater tak perlu cemas mencari tempat berpentas. Kalau TIM memang sudah punya kriteria sendiri, yang agak susah ditembus, masih ada lima Gelanggang Remaja yang lebih mudah ditonjok -- dan Pasar Seni Ancol yang bersedia menyediakan honorarium yang pas. Pihak Ancol sendiri tidak mencari. "Grup itu yang mengajukan permintaan untuk mentas di Pasar Seni Ancol," kata orang sana. Dan kalau sekali ternyata cukup banyak penontonnya, pihak Ancol tak keberatan mengundangnya. Sanggar Teater Jakarta sendiri, dulu mementaskan Lomba Ngibul di situ. Tapi apa untungnya Ancol? "Ya, pokoknya ada acara yang memang termasuk pilihan pengunjung," kata orang bagian programa itu. Dan memang he lum pernah ada pementasan teater yanL sepi penonton. Kalau 200 orang saja pasti ada. Kebanyakan penonton itu mereka yang pulang dari berenang, atau yang tujuannya semula jalanjalan ke pantai, atau pacaran dan yang tidak-tidak -- tapi akhirnya kecantol di Arena Terbuka Pasar Seni. Namun banyak juga yang sengaja nonton teaternya. "Kita memang mau nonton dramanya Noorca," kata tiga remaja yang selama pementasan malam itu nampak serius. Jadi mungkin TIM nanti hanya perlu mementaskan teater yang terseleksi benar-benar, kalau sudah banyak pementasan di luar. Ibukota bisa lebih ramai keseniannya. Dan Festival Teater Remaja yang diselenggarakan di TIM boleh menampakkan hasilnya: membina grup dan penonton teater -- di mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus