KAHARINGAN, mungkin satu-satunya agama suku di Indonesia yang
kelihatan makin melembaga. Akhir Desember lalu, sekitar 70
alim-ulama dan cendekiawannya mengadakan rapat kerJanya yang
pertama di Palangkaraya. Mereka memang sudah membentuk Majelis
Besar Alim-Ulama Kaharingan Indonesia (MB-AUKI), 7 tahun
lalu-dari tingkat propinsi sampai ke desa. Penganutnya terhitung
30% dari penduduk Kalimantan Tengah -- yang belum ada satu juta
jiwa.
Kepada Departemen Agama, rapat kerja minta pengakuan yang jelas
sebagai agama. Bukan sebagai aliran kepercayaan. "Kami tidak mau
disebut kepercayaan. Sebab mereka yang menganut aliran
kepercayaan di Jawa itu 'kan sudah memiliki agama. Jadi kalau
disuruh kembali ke induknya, mereka dapat kembali ke Islam atau
Kristen. Tapi kami, mau kembali ke mana?" ujar Lewis Kobek
Dandan Ranying, Ketua Umum MB-AUKI, kepada George Y. Adicondro
dari TEMPO.
Lewis lalu menuturkan: sejak Departemen Agama ada, mereka sudah
memperjuangkan pengakuan Pemerintah. Waktu itu orang Kaharingan
sudah berhimpun dalam wadah yang bernama Serikat Kaharingan
Dayak Indonesia (SKDI), terbentuk 1950. Kemudian ada dukungan
pribadi dari Tjilik Riwut, gubernur Kalimantan Tengah pertama,
setelah propinsi itu terbentuk tahun 1957. Tjilik Riwut juga
yang mengusahakan tanah bagi kompleks Balai Induk Kaharingan di
Palangkaraya, serta pengangkatan wakil Kaharingan dalam DPRD
Kalimantan Tengah.
Bantuan Pemuda
Bahkan 23 Oktober 1961 Tjilik Riwut menyerahkan bantuan uang
sebanyak Rp 100 ribu kepada SKDI -- atas nama Menteri Agama di
Jakarta. Tahun 1967 SKDI berhimpun ke dalam Sekber Golkar --
yang lambangnya, pohon beringin, kebetulan mirip batang garing
(pohon kehidupan) yang merupakan simbol suci mereka. Ketika itu
Golkar masih tersusun dalam Kino-Kino (kelompok induk
organisasi), dan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia merupakan
organisasi No. 35 dalam Kino SOKSI.
Lalu Januari 1972, SKDI berhasil mengumpulkan 82 ulama
Kaharingan di Palangkaraya. Di situlah diputuskan ruang gerak
SKDI hanya meliputi perjuangan sosial politik, sementara untuk
pembinaan agama dan sosial budaya dihentuk majelis alim-ulama
tadi. Ketua Umum Majelis yang pertama, sampai sekarang, memang
Lewis KDR itu sarjana muda administrasi niaga berusia 40 tahun.
Wakil ketuanya Simal Penyang, Damang (Kepala Adat) Kampung
Pahandut, tempat berdirinya Kota Palangkaraya.
Dengan hadirnya wakil Majelis dalam DPRD, serta restu Golkar
sebagai partner SKDI sejak mula, tampaknya tak sulit
memperjuangkan bantuan keuangan dari Pemerintah Daerah. Di tahun
anggaran 1972-1973 itu, melalui APBD diperoleh bantuan Pemda
sebanyak Rp 1 juta lebih. Dan dari tahun ke tahun jumlah itu
semakin meningkat hingga mendekati Rp 7 juta dalam APBD
1978/1979 yang hampir usai.
Hasil suntikan dana rakyat Kal-Teng itu kelihatan jelas. Tahun
1973, terbit buku ajaran Kaharingan, Panaturan Tamparan Taluh
Handiai. 15 Balai Kaharingan di segenap kabupaten Kal-Teng pun
mengalami perbaikan. Belum lagi ratusan pasah patahu (tempat
sesaji) di desa-desa. Di samping itu Majelis Besar di
Palangkaraya juga mendirikan dua sekolah swasta -- satu SMP
Nasional, satu SMEA Nasional -- meski keduanya belum dipimpin
orang Kaharingan sendiri: direktur SMP-nya orang Islam, direktur
SMEA-nya Kristen. Namun di samping pelajaran agama Islam dan
Kristen, khusus untuk murid-murid beragama Kaharingan--walau
jumlahnya masih sedikit -- diberi pelajaran agama Dayak itu
seminggu sekali.
Hampir mirip organisasi gereja Kristen yang dominan di Kal-Teng,
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Pengurus Majelis Besar
Alim-Ulama membentuk 10 majelis daerah di tingkat kabupaten, 59
majelis resort di kecamatan dan 159 majelis kelompok di
kampung-kampung yang ada pengikutnya. Selain buku Panaturan,
juga diterbitkan berbagai buku petunjuk ibadah seperti doa
kebaktian umum (basarah), nyanyian rohani (kandayu), pemberkatan
perkawinan, petunjuk mengubur dan lain-lain. Kebanyakan
buku-buku itu ditulis dalam bahasa Dayak Ngaju, 'bahasa
persatuan' sukusuku Dayak di pedalaman Kalimantan itu.
Singkatnya, mereka semakin kuat. Tapi betulkah itu?
"Ah, tidak" -- kata beberapa tokoh muda Gereja Kalimantan
Evangelis. "Kenyataannya agama Kaharingan justru makin
kehilangan pasaran -- terutama di kalangan muda." Alasan mereka:
untuk bersekolah, saudara-saudara Dayak yang muda 'kan
kebanyakan terpaksa memasuki perguruan Kristen. Sedang untuk
memenuhi berbagai kewajiban agama, misalnya tiwah (upacara
penguburan kedua), biayanya kini terlalu mahal.
Namun Lewis dkk tersenyum sinis. Kata Lewis "Kesadaran agama tak
dapat diukur dari hal-hal materiil seperti tiwah itu. Apalagi
orang lupa bahwa biaya tiwah merupakan sumbangan bersama
beberapa keluarga -- kadang-kadang malah beberapa kampung. Lagi
pula soal tatacara 'kan dapat disederhanakan."
"Monotheistis"
Ketua Umum MB-AUKI itu justru menunjuk "kebangkitan kaum awam".
Khususnya para pemuda Dayak -- yang walaupun sudah menamatkan
pendidikan sampai sarjana atau sarjana muda, kini justru
cenderung memperdalam pengetahuan tentang ajaran leluhur
sendiri. Lantas ia menuding ucapan orientalis Barat dari
kalangan misi, Prof. Kraemer, yang pernah bilang bahwa 'agama
suku akan tumpas dengan sendirinya, karena tak dapat dikordinir
dan diorganisir'. "Pandangan ini, yang juga dikutip Dr Fridolin
Ukur dalam bukunya tentang sejarah GKE, sudah terbukti
ketidakbenarannya."
Sebab Kaharingan tidak tumpas, dan bisa diorganisir -- walaupun
pemeluknya dianggap "belum beragama" oleh agama-agama seperti
Kristen dan Islam. Dan di situlah pokok soalnya, menurut sang
ketua. "Akibat pandangan itu orang Kaharingan dianggap boleh
saja dijadikan obyek perebutan pengaruh antara agama-agama
tadi." Sekolah Kristen misalnya, dilihatnya telah dijadikan
sarana strategis untuk mengubah agama orang Dayak. Untunglah
setelah dibukanya sekolah negeri, orangtua Kaharingan dapat
dengan tenang mengirim anaknya ke sekolah tanpa perlu takut
perubahan agama si anak.
Tentu, perjuangan minta pengakuan resmi masih harus menempuh
jalan panjang. Apalagi dengan adanya semacam ketentuan, bahwa
yang dapat dianggap agama hanyalah ajaran berdasar wahyu Tuhan
yang diturunkan melalui seorang nabi, dan tertuang dalam sebuah
kitab suci. "Itu 'kan definisi subyektif? Apa jadinya kalau
definisi kami juga diterapkan pada agama-agama lain? Kan tidak
cocok? "
Dia juga menyerang pendapat orang, termasuk orang Dayak sendiri,
bahwa penganut agama Kaharingan menyembah dua dewa: Hattala
ranying sebagai penguasa alam atas, berkelamin jantan dan
menunggang burung tingang (enggang), dan Baqvin jata penguasa
alam bawah, berkelamin betina dan menunggang ular naga. "Itu
'kan hanya kedua aspek dari Tuhan yang satu. Jadi agama
Kaharingan jelas-jelas monotheistis," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini