Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Perjuangan Kaharingan

Para ulama & cendikiawan dari penganut agama kaharingan mengadakan rapat kerja di Palangka Raya. Berbagai buku telah diterbitkan dalam bahasa Dayak Ngaju dan mereka minta pengakuan resmi sebagai agama.(ag)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAHARINGAN, mungkin satu-satunya agama suku di Indonesia yang kelihatan makin melembaga. Akhir Desember lalu, sekitar 70 alim-ulama dan cendekiawannya mengadakan rapat kerJanya yang pertama di Palangkaraya. Mereka memang sudah membentuk Majelis Besar Alim-Ulama Kaharingan Indonesia (MB-AUKI), 7 tahun lalu-dari tingkat propinsi sampai ke desa. Penganutnya terhitung 30% dari penduduk Kalimantan Tengah -- yang belum ada satu juta jiwa. Kepada Departemen Agama, rapat kerja minta pengakuan yang jelas sebagai agama. Bukan sebagai aliran kepercayaan. "Kami tidak mau disebut kepercayaan. Sebab mereka yang menganut aliran kepercayaan di Jawa itu 'kan sudah memiliki agama. Jadi kalau disuruh kembali ke induknya, mereka dapat kembali ke Islam atau Kristen. Tapi kami, mau kembali ke mana?" ujar Lewis Kobek Dandan Ranying, Ketua Umum MB-AUKI, kepada George Y. Adicondro dari TEMPO. Lewis lalu menuturkan: sejak Departemen Agama ada, mereka sudah memperjuangkan pengakuan Pemerintah. Waktu itu orang Kaharingan sudah berhimpun dalam wadah yang bernama Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), terbentuk 1950. Kemudian ada dukungan pribadi dari Tjilik Riwut, gubernur Kalimantan Tengah pertama, setelah propinsi itu terbentuk tahun 1957. Tjilik Riwut juga yang mengusahakan tanah bagi kompleks Balai Induk Kaharingan di Palangkaraya, serta pengangkatan wakil Kaharingan dalam DPRD Kalimantan Tengah. Bantuan Pemuda Bahkan 23 Oktober 1961 Tjilik Riwut menyerahkan bantuan uang sebanyak Rp 100 ribu kepada SKDI -- atas nama Menteri Agama di Jakarta. Tahun 1967 SKDI berhimpun ke dalam Sekber Golkar -- yang lambangnya, pohon beringin, kebetulan mirip batang garing (pohon kehidupan) yang merupakan simbol suci mereka. Ketika itu Golkar masih tersusun dalam Kino-Kino (kelompok induk organisasi), dan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia merupakan organisasi No. 35 dalam Kino SOKSI. Lalu Januari 1972, SKDI berhasil mengumpulkan 82 ulama Kaharingan di Palangkaraya. Di situlah diputuskan ruang gerak SKDI hanya meliputi perjuangan sosial politik, sementara untuk pembinaan agama dan sosial budaya dihentuk majelis alim-ulama tadi. Ketua Umum Majelis yang pertama, sampai sekarang, memang Lewis KDR itu sarjana muda administrasi niaga berusia 40 tahun. Wakil ketuanya Simal Penyang, Damang (Kepala Adat) Kampung Pahandut, tempat berdirinya Kota Palangkaraya. Dengan hadirnya wakil Majelis dalam DPRD, serta restu Golkar sebagai partner SKDI sejak mula, tampaknya tak sulit memperjuangkan bantuan keuangan dari Pemerintah Daerah. Di tahun anggaran 1972-1973 itu, melalui APBD diperoleh bantuan Pemda sebanyak Rp 1 juta lebih. Dan dari tahun ke tahun jumlah itu semakin meningkat hingga mendekati Rp 7 juta dalam APBD 1978/1979 yang hampir usai. Hasil suntikan dana rakyat Kal-Teng itu kelihatan jelas. Tahun 1973, terbit buku ajaran Kaharingan, Panaturan Tamparan Taluh Handiai. 15 Balai Kaharingan di segenap kabupaten Kal-Teng pun mengalami perbaikan. Belum lagi ratusan pasah patahu (tempat sesaji) di desa-desa. Di samping itu Majelis Besar di Palangkaraya juga mendirikan dua sekolah swasta -- satu SMP Nasional, satu SMEA Nasional -- meski keduanya belum dipimpin orang Kaharingan sendiri: direktur SMP-nya orang Islam, direktur SMEA-nya Kristen. Namun di samping pelajaran agama Islam dan Kristen, khusus untuk murid-murid beragama Kaharingan--walau jumlahnya masih sedikit -- diberi pelajaran agama Dayak itu seminggu sekali. Hampir mirip organisasi gereja Kristen yang dominan di Kal-Teng, Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Pengurus Majelis Besar Alim-Ulama membentuk 10 majelis daerah di tingkat kabupaten, 59 majelis resort di kecamatan dan 159 majelis kelompok di kampung-kampung yang ada pengikutnya. Selain buku Panaturan, juga diterbitkan berbagai buku petunjuk ibadah seperti doa kebaktian umum (basarah), nyanyian rohani (kandayu), pemberkatan perkawinan, petunjuk mengubur dan lain-lain. Kebanyakan buku-buku itu ditulis dalam bahasa Dayak Ngaju, 'bahasa persatuan' sukusuku Dayak di pedalaman Kalimantan itu. Singkatnya, mereka semakin kuat. Tapi betulkah itu? "Ah, tidak" -- kata beberapa tokoh muda Gereja Kalimantan Evangelis. "Kenyataannya agama Kaharingan justru makin kehilangan pasaran -- terutama di kalangan muda." Alasan mereka: untuk bersekolah, saudara-saudara Dayak yang muda 'kan kebanyakan terpaksa memasuki perguruan Kristen. Sedang untuk memenuhi berbagai kewajiban agama, misalnya tiwah (upacara penguburan kedua), biayanya kini terlalu mahal. Namun Lewis dkk tersenyum sinis. Kata Lewis "Kesadaran agama tak dapat diukur dari hal-hal materiil seperti tiwah itu. Apalagi orang lupa bahwa biaya tiwah merupakan sumbangan bersama beberapa keluarga -- kadang-kadang malah beberapa kampung. Lagi pula soal tatacara 'kan dapat disederhanakan." "Monotheistis" Ketua Umum MB-AUKI itu justru menunjuk "kebangkitan kaum awam". Khususnya para pemuda Dayak -- yang walaupun sudah menamatkan pendidikan sampai sarjana atau sarjana muda, kini justru cenderung memperdalam pengetahuan tentang ajaran leluhur sendiri. Lantas ia menuding ucapan orientalis Barat dari kalangan misi, Prof. Kraemer, yang pernah bilang bahwa 'agama suku akan tumpas dengan sendirinya, karena tak dapat dikordinir dan diorganisir'. "Pandangan ini, yang juga dikutip Dr Fridolin Ukur dalam bukunya tentang sejarah GKE, sudah terbukti ketidakbenarannya." Sebab Kaharingan tidak tumpas, dan bisa diorganisir -- walaupun pemeluknya dianggap "belum beragama" oleh agama-agama seperti Kristen dan Islam. Dan di situlah pokok soalnya, menurut sang ketua. "Akibat pandangan itu orang Kaharingan dianggap boleh saja dijadikan obyek perebutan pengaruh antara agama-agama tadi." Sekolah Kristen misalnya, dilihatnya telah dijadikan sarana strategis untuk mengubah agama orang Dayak. Untunglah setelah dibukanya sekolah negeri, orangtua Kaharingan dapat dengan tenang mengirim anaknya ke sekolah tanpa perlu takut perubahan agama si anak. Tentu, perjuangan minta pengakuan resmi masih harus menempuh jalan panjang. Apalagi dengan adanya semacam ketentuan, bahwa yang dapat dianggap agama hanyalah ajaran berdasar wahyu Tuhan yang diturunkan melalui seorang nabi, dan tertuang dalam sebuah kitab suci. "Itu 'kan definisi subyektif? Apa jadinya kalau definisi kami juga diterapkan pada agama-agama lain? Kan tidak cocok? " Dia juga menyerang pendapat orang, termasuk orang Dayak sendiri, bahwa penganut agama Kaharingan menyembah dua dewa: Hattala ranying sebagai penguasa alam atas, berkelamin jantan dan menunggang burung tingang (enggang), dan Baqvin jata penguasa alam bawah, berkelamin betina dan menunggang ular naga. "Itu 'kan hanya kedua aspek dari Tuhan yang satu. Jadi agama Kaharingan jelas-jelas monotheistis," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus