Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit gagal ginjal menarik perhatian masyarakat setelah kabar sejumlah bocil atau bocah cilik harus menjalani cuci darah karena bermasalah dengan ginjalnya. Semakin banyak orang di sekitar kita yang harus menjalani cuci darah dua kali seminggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/Menkes/1634/2023 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Ginjal Kronik, disebutkan bahwa Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 oleh Balitbang Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di Indonesia sebesar 0,38 % atau 3,8 orang per 1000 penduduk, dan sekitar 60% penderita gagal ginjal tersebut harus menjalani dialisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Prevalensi penyakit ginjal tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Utara sebesar 0,64% dan terendah di Sulawesi Barat 0,18%.
Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) tahun 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 1,93 juta kasus gagal ginjal dengan biaya Rp2,79 triliun dan menurun pada saat pandemi Covid pun tahun 2020 menjadi 1,79 juta kasus dengan biaya Rp2,24 triliun peserta JKN mendapat pelayanan untuk pelayanan terapi pengganti ginjal.
Belum ada data insidensi dan prevalensi PGK pada anak secara keseluruhan di Indonesia, tetapi menurut data Kemenkes, 220 anak dengan penyakit ginjal kronik tahap akhir menjalani dialisis sebagai terapi pengganti ginjal dan 13 anak menjalani transplantasi ginjal dari 16 RS Pendidikan di Indonesia tahun 2017.
Data dari Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2020, prevalensi penyakit dasar dari PGK yang menjalani dialisis terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi diikuti oleh nefropati diabetik dan glomerulopati.
Menurut Kemenkes, penyebab yang mendasari PGK pada anak berkaitan erat dengan usia pasien saat penyakit ginjal pertama terdeteksi. PGK pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun umumnya disebabkan oleh abnormalitas kongenital seperti hipoplasia atau displasia ginjal, dan/atau uropati obstruktif.
Dokter spesialis anak RSCM, Eka Laksmi Hidayati, mengatakan banyaknya anak yang menjalani dialisis di sana karena RSCM menjadi rumah sakit rujukan bahkan dari luar Jawa.
Dalam pernyataan di Jakarta, Kamis, 25 Juli 2024, Eka mengatakan saat ini terdapat sekitar 60 anak menjalani dialisis secara rutin yang 30 anak di antaranya menjalani hemodialisis.
"Karena mereka juga melihat bahwa sudah ada rujukan yang bisa mereka kirim, kemudian jadi banyak yang juga mengirimkan. Itu yang menyebabkan berkumpulnya jadi banyak, dan itu juga membuat Kementerian Kesehatan merasa bahwa memang ini harus disebarkan pelayanan untuk ginjal anak ini, dan sedang dikerjakan hal tersebut," katanya.
Konsumsi garam berlebihan bisa sebabkan sakit ginjal
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong dr. Anton Isdijanto, Sp.PD, menyatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi garam dalam jumlah berlebih dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit gagal ginjal.
“Di Indonesia itu belum ada edukasi kalori yang dibutuhkan berapa di luar makanan-makanan yang instan, terutama yang kandungan garamnya tinggi, gulanya tinggi, kalorinya juga jadi lebih tinggi,” kata Anton dalam diskusi daring di Jakarta, Sabtu, 20 Juli 2024.
Anton menuturkan bahwa seharusnya batas seseorang dapat mengonsumsi garam adalah lima gram atau sekitar satu sendok teh per hari bila melihat anjuran dari Kementerian Kesehatan.
Dia mencontohkan ketika mengonsumsi mi instan, kandungan garam yang masuk ke dalam tubuh bisa mencapai sekitar 3,7 hingga 3,8 gram. Jumlah tersebut belum termasuk kadar gula yang ada di dalam bumbu-bumbu atau lauk lain yang ditambahkan dalam mi.
“Yang dicari malah makanan instan, mi instan, pakai ayam goreng, ada tepung, ada garam, belum pakai bumbu-bumbu masak tinggi garam. Akhirnya apa? kena hipertensi sebagai gangguan metabolik,” ujar Anton seperti dikutip Antara.
Akibat kelebihan garam, ginjal akan dipaksa bekerja lebih keras untuk mengeluarkan garam dan membuat jantung harus memompa darah lebih cepat. Tekanan darah yang tinggi kemudian akan merusak pembuluh darah pada ginjal sehingga kemampuan ginjal untuk menyaring berbagai zat yang masuk ke dalam tubuh makin berkurang.
Bila hal ini berlanjut, kualitas maupun bentuk ginjal akan terdampak dan penderitanya bisa saja memerlukan alat bantu seperti mesin cuci darah. Tekanan darah dalam tubuh juga ikut meningkat secara keseluruhan.
“Pada prinsipnya ini seperti air minum. Air mengalir karena dipompa, air bisa diminum kalau ia sudah tersaring. Jadi, darah kita dipompa jantung, dialirkan melalui pipa pembuluh darah dan disaring oleh ginjal. Kalau terganggu, yang membuat tekanan tinggi adalah jantung yang memompa dan dampaknya akan mengarah di bagian filter,” ucap Anton.
Anton mengatakan penderita gagal ginjal mulai banyak ditemukan pada usia di bawah 27 tahun. Selain pola makan, penyebab lainnya adalah tidak menjalankan pola hidup yang sehat seperti kurang tidur dan jarang berolahraga.
Maka dari itu, ia meminta permasalahan ini dijadikan sebagai perhatian bersama dan momen baik untuk menjalankan pola hidup sehat seperti banyak mengonsumsi sayur dan buah, mengurangi konsumsi makanan asin dan instan serta rajin olahraga di sela kesibukan.