Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penurunan daya beli masyarakat tercermin dari deflasi yang terjadi pada awal tahun 2025. Meskipun pemerintah menganggap deflasi sebagai tanda keberhasilan pengendalian harga, para ekonom justru menilai bahwa kondisi ini lebih mencerminkan lemahnya konsumsi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menyoroti dampak melemahnya daya beli terhadap sektor manufaktur. Ia menyebut bahwa tekanan di sektor ini berkontribusi besar terhadap meningkatnya angka pengangguran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Hal ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan akhirnya daya beli masyarakat menurun,” Hal ini diungkapkan Anton dalam keterangan resmi yang dipublikasikan laman UMS.ac.id, Rabu 19 Maret 2025.
Menurut Anton, menurunnya pengeluaran masyarakat juga memukul sektor perdagangan dan jasa. Situasi ini diperparah oleh ketidakpastian ekonomi global pascapandemi COVID-19, yang masih memicu krisis ekonomi, energi, serta ketegangan geopolitik.
Ia menilai bahwa langkah pemerintah untuk memberikan potongan tarif listrik serta merencanakan subsidi jalan tol selama libur lebaran belum cukup untuk mengatasi permasalahan struktural dalam perekonomian.
“Langkah yang lebih konkret dibutuhkan, seperti memperluas program bantuan sosial. Misalnya, menambah jumlah penerima Bantuan Langsung Tunai agar daya beli masyarakat tetap terjaga,” ujarnya.
Selain itu, Anton menyarankan agar pemerintah memberikan hibah kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta insentif bagi industri manufaktur. Langkah ini diyakini dapat membantu menstabilkan perekonomian dalam jangka pendek.
Anton juga menyoroti pentingnya membenahi iklim investasi di Indonesia. Meskipun beberapa kebijakan sudah ada, iklim investasi yang belum mendukung kinerja industri menjadi hambatan. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efisiensi perekonomian dengan mengurangi pungutan liar (pungli) dan korupsi di birokrasi. Menurutnya, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih tinggi, di atas 6%, menjadi indikator ketidakefisienan ekonomi.
“Pengurangan pungli dan kebocoran anggaran akan membantu menurunkan biaya ekonomi. Ini sangat penting agar iklim investasi lebih kondusif, dan daya saing industri Indonesia dapat meningkat,” pungkas Anton.
Sementara itu, Yudistira Hendra Permana, Ekonom Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), memperkirakan bahwasannya elemahan daya beli masyarakat diperkirakan masih menghantui perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2025 ini. Pasalnya krisis global yang belum sepenuhnya pulih semenjak pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebabnya.
“Kondisi global juga menghadapi krisis seperti krisis ekonomi, energi, dan geopolitik. Tentunya, Indonesia sebagai bagian dari perekonomian global, maka dampak berbagai level itu pasti terdampak dan ini sesuatu yang jelas menyebabkan berbagai tekanan ekonomi bagi menurunnya kemampuan daya beli masyarakat,” ujar Yudistira di laman resmi UGM.
Ia menjelaskan bahwa dalam situasi ini, masyarakat cenderung menahan konsumsi, baik untuk kebutuhan primer seperti bahan pangan maupun kebutuhan tersier. Akibatnya, permintaan terhadap berbagai barang dan jasa melemah, yang berpotensi menyebabkan lebih banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri.
Lebih lanjut, Yudistira mengingatkan bahwa daya beli masyarakat pada bulan puasa dan Lebaran tahun ini kemungkinan berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Menurut saya, tahun ini akan sedikit berbeda pola konsumsi umumnya. Masyarakat lebih akan menyimpan dananya sampai akhir tahun lagi,” jelasnya.
Berbeda pendapat, Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede, katakan daya beli masyarakat sejak awal 2025 masih cukup terjaga, meski menghadapi tekanan tertentu yang tercermin dari penerimaan pajak yang melemah.
“Penurunan penerimaan pajak ini, meskipun sebagian disebabkan oleh kebijakan teknis perpajakan seperti klaim lebih bayar akibat penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh Pasal 21, tetap perlu diwaspadai sebagai indikasi awal tekanan pada pendapatan riil masyarakat,” kata dia dilansir dari Antara, Kamis pekan lalu.
Namun, imbuh Josua, indikator positif lainnya seperti pertumbuhan konsumsi listrik di sektor industri, penjualan kendaraan bermotor yang mulai positif, serta PMI manufaktur Indonesia yang ekspansif (53,6 per Februari 2025) menunjukkan aktivitas ekonomi domestik yang relatif solid.
Memasuki Maret 2025, ia memperkirakan daya beli masyarakat akan meningkat secara temporer karena faktor musiman Ramadhan, stimulus pemerintah seperti diskon tarif tol dan tiket pesawat, serta pencairan THR ASN dan pekerja swasta yang mulai dilakukan sejak pertengahan Maret.
“Sehingga, sepanjang Maret 2025, daya beli masyarakat diproyeksikan membaik dibanding awal tahun, meskipun masih akan bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan dan barang pokok lainnya,” kata Josua.
Pilihan editor: Di Balik Kurs Rupiah Lemah Terhadap Dolar Amerika Serikat