Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memulai bisnisnya sebagai pemasok bahan pangan dan obat-obatan untuk militer, dengan cepat Om Liem kemudian membangun kerajaan bisnis Grup Salim. Kini, dengan sekitar 300 anak perusahaan dalam genggamannya, Om Liem sudah menjelma menjadi simbol, semacam legenda sukses pengusaha Cina di Indonesia. Dan seperti menegaskan keindonesiaannya serta rasa bangga dan pengabdiannya kepada bangsa ini, ia berkata, "Saya seorang patriot...."
Kutipan itu disampaikan Om Liem kepada The Straits Times, Mei lalu, beberapa hari sebelum Presiden Soeharto jatuh. Tapi kemudian zaman berubah, politik berganti haluan. Tokoh-tokoh seperti berganti peran. Om Liem, tokoh yang dicintai sebagai penyedia 225 ribu lapangan pekerjaan, kini lebih banyak dikecam. Teman-temannya sesama konglomerat kurang lebih harus menerima nasib yang sama. Mereka dituding telah memanfaatkan kedekatannya dengan kekuasaan untuk mengeduk pelbagai keuntungan.
Karena itu pula agaknya, pekan lalu, dalam Sidang Istimewa MPR, konglomerat kembali menjadi perbincangan. Peserta sidang menilai, politik konglomerasi adalah dosa yang harus ditinggalkan. Gantinya, diluncurkanlah Tap. MPR No. XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Oleh para penggagasnya, yakni Fadel Muhammad, Didik Rachbini, Aburizal Bakrie, dan Fachry Ali, beleid ini dimaksudkan untuk mendongkrak peran ekonomi pengusaha kecil dan menengah--sebuah istilah yang hampir identik dengan "pribumi". Maklum, selama 32 tahun Orde Baru, pengusaha kecil dan menengah seperti selalu dianaktirikan.
Akibatnya, yang tumbuh meraksasa adalah konglomerat. Bermacam fasilitas dan kemudahan dinikmati pengusaha besar--yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Melalui kedekatan dengan penguasa, para taipan menguasai hampir 70 persen roda ekonomi. Dan rantai bisnis dari hulu sampai hilir yang ada dalam genggaman beberapa gelintir orang, pelan-pelan, kini sedang dicoba untuk "diratakan".
Sebenarnya, gempuran pada para konglomerat tak hanya lahir melalui beleid ketetapan MPR. Banyak hal lain yang selama ini telah menghajar kelangsungan bisnis konglomerat. Rontoknya beking politik, misalnya, merupakan faktor signifikan yang tak bisa diabaikan. Maklum, saking dekatnya para taipan dengan Keluarga Cendana, banyak proyek yang digaet tanpa prosedur resmi. Akibatnya, ketika Soeharto dipaksa turun, proyek-proyek jalan pintas ini juga terancam. Ada yang dikaji ulang, banyak yang dibatalkan.
Hajaran yang tak kalah hebat datang dari tagihan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Meskipun skema baru pengembalian BLBI sudah lebih ringan, tetap saja sulit bagi para konglomerat ini untuk membayar 27 persen utang BLBI di tahun pertama (lihat Lima, Satu, Eh, Empat Tahun, Deh).
Dengan beban ini, taipan sekelas Om Liem pun terpaksa menguras asetnya untuk membayar tagihan BCA Rp 30 triliun. Sjamsul Nursalim, pemilik Grup Gajah Tunggal, juga tak mungkin bangkit lagi. Seluruh asetnya bahkan tak mencukupi guna melunasi tagihan utang BDNI Rp 27,6 triliun. Sedangkan Usman Admajaya, bos Bank Danamon, mengklaim sudah tak punya apa-apa di tengah kewajiban BLBI senilai Rp 25,6 triliun.
Gempuran kuat lainnya adalah utang luar negeri swasta yang besarnya mencapai US$ 82 miliar. Sekitar sepertiga jumlah utang tersebut akan jatuh tempo tahun ini. Padahal kesanggupan membayar utang sungguh diragukan. Untuk memasuki skema restrukturisasi utang seperti diisyaratkan pemerintah melalui Indonesian Debt Restructuring Agency (Indra), para debitur juga belum mendapatkan persetujuan para krediturnya di luar negeri. Pendek kata, tanpa keajaiban, sulit mengharap perusahaan milik konglomerat lolos dari kebangkrutan lantaran jeratan utang.
Sementara itu, roda bisnis di Tanah Air betul-betul macet. Inflasi, yang akhir tahun ini diramalkan menembus 100 persen, telah membuat daya beli anjlok. Ditambah dengan suku bunga tinggi, tampaknya memang belum ada kabar yang menggairahkan sektor riil. Nah, bagi konglomerasi yang telanjur meraksasa, bertahan di tengah hajaran kondisi seperti ini tentu sebuah perkara yang amat berat.
Selain itu, masih ada soal penting yang membuat pusing para konglomerat. Tak lama lagi, bakal diluncurkan tiga undang-undang yang dipastikan akan memangkas kerajaan bisnis taipan.
Pertama, UU Antimonopoli, yang melarang penguasaan usaha dari hulu sampai hilir. Itulah sebabnya Indofood Sukses Makmur--yang menguasai rantai bisnis mi instan--sedang berupaya menjual pabrik tepung terigu Bogasari. Tapi penjualan "cikal bakal" kerajaan Grup Salim ini masih seret. Indofood mematok harga US$ 805 juta, sedangkan investor hanya mau menawar US$ 360 juta.
Undang-undang kedua adalah UU Perbankan, yang memudahkan kredit bagi pengusaha kecil dan menengah. Dengan UU ini, prosedur kredit bagi pengusaha kelas kakap akan diperketat. Malah akan ada aturan yang mengharuskan, untuk kredit dalam jumlah besar, pengusaha bersangkutan harus membagi dulu saham perusahaan kepada pengusaha kecil dan menengah. "Kalau dibilang enggak adil, ya memang harus begitu," komentar Fadel. Yang jelas, dengan cara ini, kekayaan diharapkan bisa merata ke semua lapisan.
Undang-undang yang ketiga adalah tentang kesempatan lebih luas bagi pengusaha kecil dan menengah. Sejauh ini belum ada gambaran teknis yang dimaksud dalam UU ini. Tapi Fadel Muhammad, bos Grup Bukaka, menyebutkan, intinya UU ini berupaya menggeser komposisi penguasaan perekonomian antara pri dan nonpri. Sementara sekarang perbandingannya 30:70, sepuluh tahun lagi harus 40:60. Target lain, "Mencetak 10 ribu pengusaha dalam sekian tahun," kata Fadel.
Caranya? Macam-macam. Misalnya pemberian 20 persen saham BUMN bagi pengusaha kecil dan menengah serta koperasi. Konsep lain, yang sempat memancing debat hangat, adalah redistribusi aset. Ini menyangkut aset perusahaan yang dijaminkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh bank-bank bermasalah. Menurut konsep Fadel, pengusaha pribumi harus diberi kesempatan mengelola ratusan aset tersebut. Kalau ternyata si pengusaha sanggup mendandani aset rongsokan menjadi bagus, "Dia berhak membeli 20 persen aset dengan harga murah."
Konsep serupa digelar Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution. Ia mematok syarat: pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) harus membagi saham untuk koperasi serta pengusaha kecil dan menengah. Prosedurnya seperti lelang. Seandainya pengusaha A hanya mau membagi 20 persen saham, sementara pengusaha B bersedia membagi 30 persen saham, izin akan diberikan buat pengusaha B.
Menteri Pendayagunaan BUMN, Tanri Abeng, juga tak ketinggalan. Bersama tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Tanri menggodok pendirian Lembaga Permodalan Nasional (LPN). Rencananya, LPN bertugas membeli saham-saham yang berprospek bagus. Kemudian, melalui lembaga reksadana, akan dikeluarkan surat berharga untuk dijualbelikan kepada masyarakat. Yang boleh membeli adalah keluarga dari kelas menengah, tentu dengan harga diskon. "Jadi, mereka bisa punya aset bagus dengan harga tidak terlalu tinggi," kata Soekarno Wirokartono, Deputi Fiskal dan Moneter Bappenas.
Nah, ada teka-teki muncul: benarkah skenario ini bisa mengubah total peta konglomerasi? Beberapa poin harus dipertimbangkan untuk menjawab soal ini. Beberapa analis yang dihubungi TEMPO menyebutkan, prospek jangka panjang skenario yang berbau charity semacam ini tidaklah cemerlang. Pengusaha kecil dan menengah yang dibesarkan dengan fasilitas, nantinya, akan bernasib sama dengan para konglomerat. Hancurnya tata ekonomi saat ini adalah ekses dari pemusatan kekuasaan yang berlebihan. Idealnya, kata seorang analis perusahaan sekuritas asing, yang dibangun adalah iklim bisnis yang fair dan hukum yang konsisten. "Bukan menghujani pengusaha kecil dengan saham dan aset," katanya.
Sementara itu, Lin Che Wei, analis dari SocGen Global Equities, mengibaratkan perekonomian kita sekarang bagaikan puing-puing rumah yang terbakar. Dari permukaan memang sudah tampak habis, tapi yang tersimpan di dalamnya belum tentu sudah ludes, "Sebab banyak bagian yang didesain tahan api." Yang masih bertahan, antara lain, sikap moral para pejabat serta pengusaha. Moral hazard masih sangat mungkin terjadi pada kedua golongan tersebut. Kalau itu tidak dipagari, "Kroni baru akan muncul," kata Lin Che Wei. Yang susah, keduanya bisa saja dengan mudah mengatasnamakan rakyat dan mengklaim diri sebagai patriot.
Mardiyah Chamim, Ali Nur Yasin, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo