Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditembaki, Lho Kok Anteng


Rupiah ternyata kebal peluru. Ketika hujan pelor menyambar sembilan korban pada aksi rakyat di Jakarta, Jumat lalu, harga dolar di pasar valuta asing justru merosot. Sore itu, harga dolar ditutup pada Rp 7.850, setelah paginya sempat melonjak hingga Rp 8.100.

Kekebalan rupiah terhadap guncangan politik ini mestinya agak ganjil. Biasanya, begitu negara dalam keadaan genting, stabilitas terancam, nilai tukar rupiah langsung terbanting. Lho, kok kini tidak. Apakah ini bukti bahwa aksi rakyat menentang Sidang Istimewa MPR tidak cukup besar sebagai sinyal keguncangan politik?

Tunggu dulu. Menurut para pengamat pasar uang, hari itu harga dolar bisa ditekan karena pasar valuta asing (valas) begitu sepi. Soalnya, para pemain bukan cuma menahan diri, tapi kalau perlu menghindar dari permainan. Mereka takut mengambil posisi lantaran risiko terlalu besar.

"Boro-boro jual-beli. Asal impas saja, kita mau cepat-cepat pulang," kata seorang dealer di sebuah bank asing di Jakarta. Beberapa bank devisa menutup "kiosnya" lebih awal sebelum perdagangan berakhir. Akibatnya, pasar valas di Jakarta boleh dibilang melompong, hampir tanpa pemain.

Dalam situasi seperti itu, ada pemborongan rupiah di Singapura. Tak ada yang bisa memastikan, siapa aktor di balik aksi borong itu. Namun sejumlah dealer pasar uang merasa yakin, bank-bank pemerintah yang dibeking Bank Indonesia (BI) berada di belakang aksi ini. Ketangguhan yen ikut membantu daya tahan rupiah sehingga tak tersengat tembakan peluru aparat keamanan.

Persoalannya, seberapa lama rupiah bisa dipertahankan? Apakah harga dolar bisa dikendalikan pada posisi Rp 8.000-an?

Sayang, banyak yang ragu. Soalnya, campur tangan BI mengendalikan pasar valas bergantung pada kelancaran pencairan pinjaman luar negeri. Harus diakui, soal pencairan utang ini, sekarang agak seret. Dana Moneter International (IMF) menunda lagi nota kesepakatan pencairan US$ 1 miliar yang mestinya diteken Jumat lalu. Kalau situasi politik tetap memanas dan pemerintah masih bersikap semau gue dalam menangani tuntutan rakyat, bukan mustahil, IMF akan membatalkan pencairan dananya. Kalau ini benar-benar terjadi, weleh-weleh, BI tak akan mampu menyangga daya tahan rupiah. Mata uang RI bakal lumpuh seperti wayang hilang gapitnya.

Bunga Turun, Bagaimana Deposito Anda?


Suku bunga rupiah terus merosot. Dalam satu setengah bulan terakhir, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) turun dari 70 persen menjadi 51 persen. Gubernur bank sentral, Syahril Sabirin, berharap suku bunga bisa terus dipangkas. Dalam pekan-pekan mendatang, ia yakin suku bunga SBI bisa terus ditekan hingga tinggal 40 persen. Aksi menekan suku bunga ini memang telah direstui Dana Moneter Internasional (IMF).

Jika suku bunga SBI merosot, tingkat bunga kredit maupun simpanan bank (termasuk deposito) juga ikut turun. Sejumlah bank pemerintah kini telah memotong suku bunga dari 65 persen--awal bulan lalu--menjadi hanya 55 persen saat ini untuk deposito jangka sebulan, dan dari 58 persen menjadi 55 persen untuk deposito dengan jangka tiga bulan.

Nah, dengan tren penurunan suku bunga seperti ini, bagaimana cara terbaik menyimpan untuk deposito? Apakah bertahan dalam deposito bulanan yang bunganya makin melorot dengan cepat? Ataukah harus mengalihkan ke deposito tahunan yang memberi kepastian bunga?

Seorang pemain pasar uang yakin, bunga tak akan turun terlalu cepat. Riset Pentasena Securities menyimpulkan, hingga tiga bulan ke depan, suku bunga akan berkisar antara 47 persen dan 54 persen. Dan, bukan mustahil setelah awal tahun nanti, untuk mengerem inflasi, suku bunga akan naik lagi. Soalnya, dengan ekspansi anggaran, harga barang-barang dikhawatirkan akan membubung kembali.

Dengan perhitungan ini, seorang manajer tresuri bank swasta menyarankan agar memilih deposito tiga bulanan saja. Kendati persentase bunganya tak besar (lebih rendah dari deposito bulanan), gejolaknya lebih stabil. Sebaliknya, deposito tahunan, biarpun stabil, tingkat bunganya kurang menarik.

Tapi itu kalau Anda memang cuma bermain dalam deposito. Lain halnya jika Anda, pemain pasar uang, memang gemar memutar duit--bukan cuma dalam deposito tapi juga dalam investasi saham--dan berani menanggung risiko. Menurut seorang analis pasar modal, akan sangat menguntungkan jika kini bermain di deposito bulanan. Alasannya cuma satu: deposito jangka pendek jauh lebih likuid. Anda bisa mengubah arah investasi kemana pun Anda mau.

BNI Menyuntik Modal dengan Aset


Resep hidup sehat bagi industri perbankan kini gampang: suntik modal. Dengan injeksi kapital, perbankan punya energi untuk menghadapi serbuan kredit macet. Dan resep itulah yang akan dilakukan Bank Negara Indonesia (BNI). Bank terbesar yang dikontrol pemerintah ini akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham, awal Desember nanti. Ketika itu, BNI akan meminta persetujuan pemegang saham publik untuk menambah modal.

Menurut perhitungan SocGen Securities di Singapura, Bank BNI butuh injeksi modal Rp 12,5 triliun lebih agar dapat memenuhi syarat minimal kecukupan modal. Dari jumlah ini, paling tidak Rp 2,4 triliun di antaranya harus ditanggung pemegang saham lama. Selebihnya akan ditomboki pemerintah melalui mekanisme penerbitan obligasi.

Dengan kredit bermasalah hampir Rp 35 triliun, agaknya tak ada pilihan lain bagi pemegang saham BNI selain menyetujui rencana penambahan kapital itu. Masalahnya, apakah pemegang saham BNI cukup punya duit untuk melakukan injeksi kapital? "Saya kok skeptis," kata seorang analis perbankan.

Keraguan justru dialamatkan pada pemerintah yang kini menguasai 75 persen saham BNI. Menurut perhitungan analis ini, pemerintah tak mampu memenuhi kewajibannya menambah modal karena anggaran belanja negara amat terbatas. Lalu, apa yang akan dilakukan? "Paling banter," katanya, "pemerintah akan menginjeksi BNI tanpa memakai uang tunai, tapi dengan aset." Misalnya, dengan menyuntikkan Bank Tabungan Negara ke dalam BNI.

Tetap Monitor, bukan Kontrol


Debat kusir tentang kontrol atau monitoring devisa akan segera mendapat jawaban. Bersama IMF, kini pemerintah tengah menyiapkan aturan untuk meningkatkan kualitas monitoring arus modal yang keluar dan masuk ke Indonesia. "Sistem itu," kata Ginandjar, "harus efektif, transparan, tapi tak boleh memberi kesan adanya pengendalian kapital."

Bagaimana persisnya aturan itu, Ginandjar memang belum mau buka-bukaan. Tapi, jangan nafsu: semuanya menjadi jelas pekan ini ketika pemerintah meneken kesepakatan bersama IMF. Menurut bocoran, salah satu aturan monitoring itu adalah pengubahan sistem pelaporan transaksi ekspor-impor. Dalam aturan yang baru, transaksi ekspor-impor akan dicatat secara cash basis--sebesar apa yang keluar atau masuk ke Indonesia. Selama ini, sistem pelaporan ekspor-impor dicatat berdasar nilai transaksi. Akibatnya, devisa hasil ekspor itu sering cuma manis di buku saja. Soalnya, dolarnya tak kembali ke tanah air, tapi disimpan di luar negeri.

Indofood Melepas, AWB Berminat


Monopoli terigu segera berpindah tangan. Bogasari Flour Mills, penguasa 80 persen pasar tepung terigu di Indonesia, akhirnya harus dilepas oleh PT Indofood Sukses Makmur. Pabrik penggilingan tepung dengan kapasitas empat juta ton setahun itu rencananya akan dilepas dari pohon bisnis Salim Grup, paling lambat awal tahun depan.

Direktur Indofood, Fransiscus Welirang, mengakui penjualan Bogasari dilakukan karena kepepet. Dengan aturan Undang-Undang Antimonopoli, yang kini tengah disiapkan, penguasaan lini bisnis dari hulu ke hilir--seperti Indofood yang menguasai penggilingan terigu hingga mi instan--diharamkan.

Lalu, siapa pembeli Bogasari? Ada sekitar enam pelamar. Calon paling kuat tampaknya dipegang Pepsi Co., kongsi Salim Grup dalam pelbagai industri makanan. Tapi Pepsi akan bersaing ketat dengan Australian Wheat Board Ltd. (AWB). Pemegang monopoli ekspor terigu Australia ini mengaku berminat berat untuk melamar Bogasari. AWB bahkan sudah berunding dengan sejumlah kelompok usaha di Indonesia untuk mewujudkan niatnya.

Welirang mengakui, Indofood kini tengah melakukan tawar-menawar dengan sejumlah pihak. Kapan transaksi terjadi, itu akan sangat tergantung pada kapan UU Antimonopoli itu terbit. Jika aturan ini bisa diundangkan lebih cepat, kata Welirang, "Kami tak akan menunggu hingga awal tahun untuk melepas Bogasari."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus