Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, yang pertama terjun ke bisnis belanja per telepon adalah PT Pos dan Giro. Sayangnya, bisnis baru tersebut manajemennya kacau. Maka, ditawarkanlah bisnis belanja per telepon itu ke Enny Hardjanto, bekas salah satu wakil presiden Citibank dan direktur Bank Papan. Terbentuklah Bebita pada bulan Agustus 1998. Bebita dikelola PT Sumber Adi Markcel, dan Enny duduk sebagai presiden direktur di sana.
Penjarahan memang menakutkan banyak orang. "Orang banyak yang nyetok barang tanpa informasi harga yang benar," papar Enny. Maka, belanja per telepon adalah cara yang paling aman. Promosi lain Enny: belanja lewat telepon itu hemat waktu, tidak boros, dan lebih murah. Lho? "Karena kami tidak memungut biaya antar," kata Enny. Untuk servis itu, Bebita mensyaratkan jumlah belanja minimal Rp 500 ribu. Kini anggotanya sekitar seribu orang.
Sebagai pelopor, Bebita didukung 40 produsen yang menyediakan 400 jenis barang kebutuhan sehari-hari. Dengan investasi Rp 2,5 miliar, Enny yang dikenal sebagai "pakar" kartu kredit itu mengoperasikan lima kendaraan boks untuk melayani delapan hingga 12 pesanan tiap harinya.
Kalau Anda tertarik, cukup mengisi formulir Bebita yang tersedia di Bank Universal dan membayar iuran tahunan Rp 50 ribu. Lalu, Anda tinggal menelepon mengenai barang yang Anda butuhkan dan operator Bebita akan memberitahukan harganya. Dalam waktu 2x24 jam, belanjaan Anda akan sampai ke depan rumah. Kalau barang rusak, kedaluwarsa, atau tidak sesuai pesanan? Pasti diganti.
Bebita memang memfokuskan pasarnya pada kelas menengah ke atas. Paling tidak, kelas masyarakat yang memiliki telepon. Tapi, ibu-ibu bisa menghemat tenaga, waktu, biaya transpor, dan biaya parkir. Demikian iming-iming Bebita. Selain itu, Enny menjamin harga barang-barangnya bersaing dengan harga pasaran karena keuntungan didapatnya dari produsen, dengan marjin 5-8 persen per item.
Pasar Bebita sementara ini juga terbatas hanya para pemilik rekening di Bank Universal karena pengeluaran belanja dibayar dengan direct debit. "Kami sedang mengupayakan membuka banyak window untuk membayar," kata Enny. Nah, sekarang, pelanggan bisa membayar melalui kartu kredit BNI 46 dan direct debit dari rekening di Unibank.
Selain Bebita, ada Dial Mart yang mengaku punya dua ribu anggota. Nah, salah satu pemegang sahamnya adalah Lenny Marlina, bintang film zaman baheula. Persyaratan untuk menjadi anggota Dial Mart sebenarnya hampir sama dengan Bebita, yaitu mengisi formulir yang disediakan, dan seminggu kemudian Anda sudah dapat berbelanja dengan panduan dari katalog. Iuran per tahunnya hanya Rp 30 ribu dan belanja minimalnya cukup Rp 200 ribu. Kelebihan lain dari Dial Mart adalah lebih banyak cara pembayarannya. Selain melalui beberapa bank, juga bisa dengan kartu kredit. Namun, menurut beberapa konsumen yang diwawancarai TEMPO, harga barang di Dial Mart lebih mahal daripada di Bebita.
Yang agak berbeda dari model kedua perusahaan di atas adalah Fres? Mart. Perusahaan belanja per telepon yang ini menggunakan sistem pemasaran multilevel dengan prinsip "member gets seven". Pokoknya, kalau seorang konsumen mendapat tujuh anggota baru, dia akan mendapat berbagai bonus, mulai dari potongan iuran tahunan sampai setoran dari "bawahan"-nya.
Fres? Mart juga menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti ikan, daging, sayuran, dan bumbu dapur. "Semuanya segar," kata Okky Asokawati, peragawati yang menjadi direktur layanan.
Jadi, Fres? Mart yang punya anggota seribu pelanggan ini lebih berani mengambil resiko. Dengan investasi Rp 6 miliar, Fres? Mart berjanji bahwa konsumen akan mendapatkan kiriman daging yang masih fresh. Membuktikannya? Ya, susah. Wong bisnis Fres? Mart ini baru dibuka pertengahan November, jadi belum ada komplain dari konsumennya.
Jadi, pertarungan di antara perusahaan belanja per telepon ini belum tampak serunya. Namun, apa pun yang ditawarkan, yang penting adalah "teliti sebelum membeli". Tini Hadad, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terutama mengkhawatirkan mutu barang yang tidak bagus dan harga yang tidak stabil. Kalau tidak melihat barangnya sendiri, bagaimana bisa membedakan beras yang berkualitas sama dengan harga Rp 3.000 antara bulan lalu dan sekarang, misalnya. "Ini seperti kucing dalam karung saja," kata Tini. Ya, karena konsumen hanya menerima barang yang dikirimkan
Ada saran? "Datangi sendiri dan teliti penawaran mereka," kata Tini. Karena pihak YLKI mengkhawatirkan model belanja per telepon ini bisa menjangkitkan "penyakit" yang mirip dengan belanja lewat televisi: barang yang didapat tidak sama dengan yang diiklankan.
Kekhawatiran Tini memang masuk akal. Menurutnya, belanja per telepon hanya cocok dilakukan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Australia, yang kualitas barang dan harganya sudah mapan.
Masalahnya, menurut Tini, masyarakat kita belum butuh cara belanja lewat telepon. Masyarakat umumnya lebih pas dengan melihat dan memilih barang yang dikehendaki--boleh sambil cuci mata di mal atau di supermarket yang dingin. Tapi, gaya ?kan kalau angkat telepon dan barang langsung diantar? Asal, jangan dompet Anda ikut terkuras dan barang-barang "tak mutu" ikut diantar ke rumah Anda.
Bina Bektiati, Dewi Rina Cahyani, I.G.G. Maha Adi.
Info Grafis |
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo