Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Logika pemberitaan ini sederhana saja. Lengsernya Soeharto diasumsikan pula sebagai keambrukan konglomerat Cina alias para kroni Orde Baru. Lantas, naiknya Habibie, dalam alur pikir ini, diartikan sebagai peluang lebar bagi naiknya kroni pribumi menjadi konglomerat era "reformasi".
Namun kenyataan memang tak semudah teori. Apalagi hampir semua pengusaha, tak peduli Cina atau pribumi, sedang diempas oleh krisis ekonomi yang dahsyat. Bayangkan, utang sektor swasta senilai US$ 85 miliar itu sepertiganya jatuh tempo tahun ini. Kegiatan bisnis sedang menurun, sementara inflasi sejak awal krismon sudah melompat 80 persen, bahkan diperkirakan akan melewati 100 persen di akhir tahun. Daya beli pun merosot dan perekonomian menyusut 15 persen, hingga konsumsi, belanja pemerintah, dan investasi merosot drastis. Belum lagi kerusuhan sosial, yang sudah beberapa kali timbul dan tak jelas kapan akan berakhir. Semua itu bisa membawa Indonesia kembali ke masa 10 tahun lalu.
Apalagi bisnis di masa datang tak bisa lagi hanya mengandalkan beking politik yang belum tentu stabil itu. Kecenderungan ekonomi yang semakin terbuka juga membuat proteksi semakin sulit didapat. Maka, untuk menjadi konglomerat harus mempunyai tiga hal: efisiensi, efisiensi, dan (sekali lagi) efisiensi.
Dalam perkara mahapenting ini, menurut David Chang, Direktur Riset Trimegah Securindolestari, bidang usaha yang punya daya saing tinggi di masa mendatang adalah yang bersumber dari alam (resources base) dan yang berorientasi ekspor. Tentu saja, perusahaan tersebut tidak boleh menanggung utang dolar yang besar. "Jadi masalahnya bukanlah pribumi atau Cina, tapi kembali ke mekanisme pasar," kata Markus Handowo Dipo, ekonom dari Universitas Indonesia.
Mereka yang memenuhi syarat ini ternyata tidak banyak. Beberapa analis yang diminta pendapatnya oleh TEMPO menyebutkan beberapa jagoan seperti Julius Tahija, Arifin Panigoro, dan Eka Tjipta Widjaja.
Julius Tahija memang tidak seterkenal Anthony Salim, tapi daya tahannya menghadapi gempuran krismon terbukti jauh lebih kuat. Mantan pemilik 53,5 persen saham Bank Niaga bernilai sekitar Rp 700 miliar tersebut kuat di arena bisnis pertambangan dan pembangkit tenaga listrik. "Kapal induknya" bernama PT Austindo Nusantara.
Uniknya, pada masa krisis ekonomi ini keluarga Tahija justru berinvestasi dengan membeli sebagian saham dua perusahaan tambang emas Australia, yaitu 50 persen saham Australia’s Laverton Gold di Sarawak dan 55,7 persen saham HMH Gold Mining di Kalimantan Barat. Selain itu, Tahija juga memiliki saham sekitar 10 persen di beberapa perusahaan pertambangan dan pembangkit energi listrik . "Tahija ini memang dikenal sebagai pengusaha yang tangguh dan hati-hati," kata David.
Jagoan berikutnya adalah Arifin Panigoro. Menurut David, walaupun bos perusahaan minyak PT Meta Epsi Duta (Medco) tidak pernah sepi dari kontroversi, karena pemasukan perusahaan Arifin adalah dolar, dia akan mampu bertahan. Arifin, yang memiliki perusahaan minyak terbesar di Indonesia, memiliki pengeboran di Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan. Karena dasar usahanya memang masih kuat, kasus tuduhan telah merugikan negara karena belum membayar kertas berharga (commercial paper) sebesar Rp 155 miliar, US$ 192 juta, dan 2,9 miliar yen tidak akan meruntuhkan bisnisnya.
Eka Tjipta Widjaja dengan dua gacoan perusahaan pulp dan kertas, yaitu PT Tjiwi Kimia dan PT Indah Kiat, adalah bintang berikutnya. Menurut analisa Lin Che Wei, Direktur Riset SocGen, kinerja kedua perusahaan ini baik karena pemasukan dolarnya. Sehingga melemahnya rupiah justru menguntungkan kedua pabrik Eka Tjipta. Bahkan, menurut David, Eka Tjipta ini adalah satu-satunya konglomerat Cina yang mampu bertahan.
Lalu, bagaimana dengan James Riady dengan "kerajaan" Lipponya? Lippo, mungkin juga akan bertahan. Bisnis keuangannya cukup kukuh. Properti memang lesu. Tapi Lippo punya sedikit keunggulan: tak banyak punya utang dan berhasil membangun kawasan pemukiman di tengah kawasan industri, yang kebetulan sudah laku. Jadi, kerugian proyek perumahan bisa sedikit diobati oleh keuntungan proyek kawasan industri di masa lalu.
Bank Lippo sendiri memang harus menambah modal sekitar Rp 2 triliun, tapi sejumlah analis percaya bahwa keluarga Riady cukup punya uang untuk penambahan modal. Baru-baru ini, keluarga Riady menjual sahamnya di Bank Lippo California dan Hongkong Chinese Bank. Tapi, apakah uang hasil penjualan tersebut akan kembali ke Indonesia atau tidak, itu yang tak diketahui para analis.
Tentu saja, tidak tertutup kemungkinan muncul nama pengusaha lain. Kalau menurut Markus Dipo, saat ini adalah kesempatan besar untuk mengembangkan pengusaha daerah yang bergerak di sektor agribisnis. Agaknya kecenderungan desentralisasi tak cuma akan terjadi di sektor politik, tapi juga bakal mewarnai peta konglomerasi baru republik ini.
Bina Bektiati, Ali Nur Yasin, Dewi Rina C., Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo