Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Desember Yang Ini Dingin

Pengaruh kenop-15 terhadap arus turis ke Bali belum baik. Kamar-kamar hotel banyak tak terisi. Tapi ada harapan bila terbuka penerbangan langsung Bali ke kantong pariwisata di luar negeri. (eb)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALI banjir turis? Banyak juga orang yang berpendapat begitu. Bukan karena sekarang liburan Natal dan Tahun Baru. Tapi para turis yang diperkirakan menyerbu Bali itu dikaitkan dengan Kebijaksanaan 15 Nopember. Setelah Kenop 15, demikian istilah populer buat tindakan pemerintah mendevaluasikan rupiah menjadi 625 per 1 US$, gengsi sekelompok valuta asing dengan sendirinya makin naik di sini. Dan para turis bule atau bukan, pokoknya mereka yang memiliki valuta asing, tiba-tiba merasa harga-harga di Indonesia jadih lebih murah. Seorang turis dari Amerika, yang pekan lalu menetap di Hotel Sanur, merasa senang tarif hotel belum berubah. Apalagi bagi turis yang terbang dari Jakarta ke Bali, mereka bisa menikmati tarif pesawat yang tetap sama, meskipun untuk lin luar negeri --kalau dibayar dalam rupiah -- sudah sejak pertengahan Nopember lalu naik dengan 50%. Maka tak heran kalau para pengusaha dan diplomat asing di Jakarta kabarnya banyak yang berlibur ke Bali. Tapi benarkah arus turis melonjak di Bali? Tampaknya tidak. Banyak kamar hotel ternyata tak terisi. Bahkan hotel kecilan yang berjejer di pantai Kuta ada yang merasa was-was, takut kalau sampai rugi di tengah bulan turis sekarang. Ini antara lain dialami Ny. Kona, manajer Hotel Yasa Samudra. Menurut Kona, tahun-tahun kemarin masih ramai. Tapi sekarang, "ada sekitar 60 tamu yang sudah pesan kamar membatalkan rencananya, tanpa sebab yang jelas," katanya. Yang bernasib seperti Ny. Kona tidak sedikit. Selain agak sepi, Kenop 15, sepeti diakui Ida Bagus Kompyang kepada TEMPO "belum terasa pengaruhnya sama sekali terhadap perhotelan." Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran di Bali itu kemudian membuka catatannya. "Hampir semua hotel di Bali masih melayani tamu-tamu yang sudah pesan kamar jauh sebelum kebijaksanaan Nopember dikeluarkan," katanya. Memang, para turis, terutama yang dari Barat, biasanya sudah pesan tempat sejak 6 bulan sebelumnya. Atau paling tidak 3 bulan. Pendaftaran itu diatur oleh agen perjalanan yang ada di negeri mereka masing-masing Memang, efek dari Kenop 15 terhadap dunia pariwisata itu tak segera kentara. Seperti diibaratkan Ida Bagus, "bukan seperti cabe, begitu dimakan begitu terasa panas." Sekalipun begitu, Ketua PHRI itu belum bisa memberikan data yang pasti tentang arus kedatangan turis setelah Kenop 15. Sebab, gambaran angka-angka itu biasanya baru masuk pada akhir bulan. "Dan kami belum sempat minta pada hotel," katanya. Tapi untuk beberapa hotel besar, Ida Bagus mencatat beberapa kemajuan. Dia tampak sedikit gembira, karena pengisian tamu selama 1978 ada kemajuan dibmdingkan tahun lalu. Ini bisa dimaklumi karena turis yan datang itu biasanya dalam kelompok, dan hotel besarlah - yang sedikit banyak punya jaringan di luar negeri -- menjala mereka. Maka penyakit lama yang sejak dulu diderita hotel-hotel kecil di sana kambuh lagi. Mereka minta untuk kesekian kalinya agar pemerintah mengulurkan bantuannya, dan bukan cuma menganjurkan, agar hotel-hotel yang ditimpa hutang bank itu disuruh merger. Tapi siapa tahu tahun 1979 yang di ambang pintu ini membawa nasib mujur. Bagus Kompyang, yang juga juragan hotel Segara Village tidak pesimis rejeki akan mampir di hotel yang kecilan. Dia menunjuk pada kemungkinan dibukanya penerbangan langsung luar negeri ke Bali. Terakhir sudah dirintis penerbangan langsung Bali-Singapura p.p. dengan Singapore Airlines. Juga Cathay Pacific, yang sudah punya jaringan di segenap pelosok kantong pariwisata, sejak lama melirik ke Bali. Dan pemerintah, yang tadinya menutup pintu langsung itu demi melindungi Garuda, pelan-pelan kini mulai mengendorkan palang pintunya. "Ya kalau mautak terlalu ketinggalan dari negeri tetangga, satu-satu jalan yang cepat adalah itu," kata seorang pejabat di Departemen Perhubungan. "Toh penerbangan dalam negeri seperti Garuda tak mampu membantu mengisi kamar-kamar hotel kecil itu." Kenop 15 tentu saja bukan berarti cuma membuat nilai tukar dollar naik terhadap rupiah. Kebijaksanaan itu ditempuh pemerintah, selain terutama untuk memberikan suntikan obat kuat buat ekspor, diharapkan bisa membuat lebih banyak turis membelanjakan dollarnya di Indonesia. Tapi, seperti dirasakan seorang manajer di Hotel Bali Hyatt, orang di Bali termasuk para tamu, "umumnya cuma mengetahui harga dollar naik terhadap rupiah. Titik." Kalau benar salah satu tujuannya adalah menarik turis, maka Peter Plaisted, seorang guru dari Brisbane (Australia) yang kini lagi tetirah di Bali, jadi bertanya-tanya. "Apa sebabnya maksud baik dari kebijaksanaan itu tak dipromosikan di negara saya?" Padahal kata Plaisted, "turis dari Australia yang paling banyak dan boleh dibilang paling betah tinggal di Bali." Bagi turis-turis kelas dua seperti guru dari Australia itu, pengeluaran setiap dollar amat berarti. Selain lebih suka memilih hotel murah, adalah turis golongan itulah yang merayahi Bali. Patut disayangkan kalau pihak pariwisata tak dengan cepat mengambil manfaat dengan mempromosikan arti dollar mereka sekarang untuk hidup di Bali. Buat Peter Plaisted, dia mengakui merasa lebih kaya sekarang sebagai turis dibandingkan sebelumnya. Tapi di pelabuhan udara Ngurah Rai sampai pekan lalu belum kelihatan suatu kesibukan yang menonjol. Demikian pula di Yogya, kota turis kedua setelah Bali. Seorang petugas di pusat informasi turis di Jl. Malioboro merasakan "Desember sekarang ini bahkan lebih sepi dari Desember tahun lalu." Apa sebabnya, dia sendiri belum banyak tahu. Tapi ada juga yang menghubungkannya dengan rentetan pemogokan kaum buruh Australia yang lagi ramai belakangan ini. Selain dari Australia, adalah turis Amerika dan Perancis yang sering mampir di Yogya. Rata-rata dalam sebulan Diparda tercatat 300-an turis di sana. Tapi menurut Bambang Setyono, pimpinan cabang Tunas Indonesia Travel, angka-angka yang biasa masuk di Diparda (Direktorat Pariwisata Daerah) tak bisa dibuat pegangan. "Tunas saja setiap bulannya rata-rata mengurus 400-an turis. Belum lagi delapan tavel lainnya." Ada benarnya. Selain data yang masuk ke Diparda itu sering terlambat dan tidak akurat, para turis asing yang masuk ke Yogya itu tidak sama dengan di Bali, yang kalau tak masuk lewat pelabuhan udara Ngurah Rai, ya melalui jalan darat Gilimanuk. Tapi di Yogyakarta, banyak jalan bisa dilewati para turis hingga mereka terlewatkan dari 'pencatatan'. Tapi pukul rata, seperti diperkirakan Bambang dari Tunas itu, Desember ini tergolong Desember yang dingin rupanya. "Dibandingkan dengan Juni lalu, arus turis yang masuk Yogya melalui Tunas malah menurun," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus