BALI banjir turis? Banyak juga orang yang berpendapat begitu.
Bukan karena sekarang liburan Natal dan Tahun Baru. Tapi para
turis yang diperkirakan menyerbu Bali itu dikaitkan dengan
Kebijaksanaan 15 Nopember. Setelah Kenop 15, demikian istilah
populer buat tindakan pemerintah mendevaluasikan rupiah menjadi
625 per 1 US$, gengsi sekelompok valuta asing dengan sendirinya
makin naik di sini. Dan para turis bule atau bukan, pokoknya
mereka yang memiliki valuta asing, tiba-tiba merasa harga-harga
di Indonesia jadih lebih murah.
Seorang turis dari Amerika, yang pekan lalu menetap di Hotel
Sanur, merasa senang tarif hotel belum berubah. Apalagi bagi
turis yang terbang dari Jakarta ke Bali, mereka bisa menikmati
tarif pesawat yang tetap sama, meskipun untuk lin luar negeri
--kalau dibayar dalam rupiah -- sudah sejak pertengahan Nopember
lalu naik dengan 50%. Maka tak heran kalau para pengusaha dan
diplomat asing di Jakarta kabarnya banyak yang berlibur ke Bali.
Tapi benarkah arus turis melonjak di Bali? Tampaknya tidak.
Banyak kamar hotel ternyata tak terisi. Bahkan hotel kecilan
yang berjejer di pantai Kuta ada yang merasa was-was, takut
kalau sampai rugi di tengah bulan turis sekarang. Ini antara
lain dialami Ny. Kona, manajer Hotel Yasa Samudra. Menurut Kona,
tahun-tahun kemarin masih ramai. Tapi sekarang, "ada sekitar 60
tamu yang sudah pesan kamar membatalkan rencananya, tanpa sebab
yang jelas," katanya.
Yang bernasib seperti Ny. Kona tidak sedikit. Selain agak sepi,
Kenop 15, sepeti diakui Ida Bagus Kompyang kepada TEMPO "belum
terasa pengaruhnya sama sekali terhadap perhotelan." Ketua
Perhimpunan Hotel dan Restoran di Bali itu kemudian membuka
catatannya. "Hampir semua hotel di Bali masih melayani tamu-tamu
yang sudah pesan kamar jauh sebelum kebijaksanaan Nopember
dikeluarkan," katanya. Memang, para turis, terutama yang dari
Barat, biasanya sudah pesan tempat sejak 6 bulan sebelumnya.
Atau paling tidak 3 bulan. Pendaftaran itu diatur oleh agen
perjalanan yang ada di negeri mereka masing-masing Memang, efek
dari Kenop 15 terhadap dunia pariwisata itu tak segera kentara.
Seperti diibaratkan Ida Bagus, "bukan seperti cabe, begitu
dimakan begitu terasa panas."
Sekalipun begitu, Ketua PHRI itu belum bisa memberikan data yang
pasti tentang arus kedatangan turis setelah Kenop 15. Sebab,
gambaran angka-angka itu biasanya baru masuk pada akhir bulan.
"Dan kami belum sempat minta pada hotel," katanya.
Tapi untuk beberapa hotel besar, Ida Bagus mencatat beberapa
kemajuan. Dia tampak sedikit gembira, karena pengisian tamu
selama 1978 ada kemajuan dibmdingkan tahun lalu. Ini bisa
dimaklumi karena turis yan datang itu biasanya dalam kelompok,
dan hotel besarlah - yang sedikit banyak punya jaringan di luar
negeri -- menjala mereka. Maka penyakit lama yang sejak dulu
diderita hotel-hotel kecil di sana kambuh lagi. Mereka minta
untuk kesekian kalinya agar pemerintah mengulurkan bantuannya,
dan bukan cuma menganjurkan, agar hotel-hotel yang ditimpa
hutang bank itu disuruh merger.
Tapi siapa tahu tahun 1979 yang di ambang pintu ini membawa
nasib mujur. Bagus Kompyang, yang juga juragan hotel Segara
Village tidak pesimis rejeki akan mampir di hotel yang kecilan.
Dia menunjuk pada kemungkinan dibukanya penerbangan langsung
luar negeri ke Bali. Terakhir sudah dirintis penerbangan
langsung Bali-Singapura p.p. dengan Singapore Airlines. Juga
Cathay Pacific, yang sudah punya jaringan di segenap pelosok
kantong pariwisata, sejak lama melirik ke Bali. Dan pemerintah,
yang tadinya menutup pintu langsung itu demi melindungi Garuda,
pelan-pelan kini mulai mengendorkan palang pintunya. "Ya kalau
mautak terlalu ketinggalan dari negeri tetangga, satu-satu jalan
yang cepat adalah itu," kata seorang pejabat di Departemen
Perhubungan. "Toh penerbangan dalam negeri seperti Garuda tak
mampu membantu mengisi kamar-kamar hotel kecil itu."
Kenop 15 tentu saja bukan berarti cuma membuat nilai tukar
dollar naik terhadap rupiah. Kebijaksanaan itu ditempuh
pemerintah, selain terutama untuk memberikan suntikan obat kuat
buat ekspor, diharapkan bisa membuat lebih banyak turis
membelanjakan dollarnya di Indonesia. Tapi, seperti dirasakan
seorang manajer di Hotel Bali Hyatt, orang di Bali termasuk para
tamu, "umumnya cuma mengetahui harga dollar naik terhadap
rupiah. Titik." Kalau benar salah satu tujuannya adalah menarik
turis, maka Peter Plaisted, seorang guru dari Brisbane
(Australia) yang kini lagi tetirah di Bali, jadi bertanya-tanya.
"Apa sebabnya maksud baik dari kebijaksanaan itu tak
dipromosikan di negara saya?" Padahal kata Plaisted, "turis dari
Australia yang paling banyak dan boleh dibilang paling betah
tinggal di Bali."
Bagi turis-turis kelas dua seperti guru dari Australia itu,
pengeluaran setiap dollar amat berarti. Selain lebih suka
memilih hotel murah, adalah turis golongan itulah yang merayahi
Bali. Patut disayangkan kalau pihak pariwisata tak dengan cepat
mengambil manfaat dengan mempromosikan arti dollar mereka
sekarang untuk hidup di Bali. Buat Peter Plaisted, dia mengakui
merasa lebih kaya sekarang sebagai turis dibandingkan
sebelumnya.
Tapi di pelabuhan udara Ngurah Rai sampai pekan lalu belum
kelihatan suatu kesibukan yang menonjol. Demikian pula di Yogya,
kota turis kedua setelah Bali. Seorang petugas di pusat
informasi turis di Jl. Malioboro merasakan "Desember sekarang
ini bahkan lebih sepi dari Desember tahun lalu." Apa sebabnya,
dia sendiri belum banyak tahu. Tapi ada juga yang
menghubungkannya dengan rentetan pemogokan kaum buruh Australia
yang lagi ramai belakangan ini. Selain dari Australia, adalah
turis Amerika dan Perancis yang sering mampir di Yogya.
Rata-rata dalam sebulan Diparda tercatat 300-an turis di sana.
Tapi menurut Bambang Setyono, pimpinan cabang Tunas Indonesia
Travel, angka-angka yang biasa masuk di Diparda (Direktorat
Pariwisata Daerah) tak bisa dibuat pegangan. "Tunas saja setiap
bulannya rata-rata mengurus 400-an turis. Belum lagi delapan
tavel lainnya." Ada benarnya. Selain data yang masuk ke Diparda
itu sering terlambat dan tidak akurat, para turis asing yang
masuk ke Yogya itu tidak sama dengan di Bali, yang kalau tak
masuk lewat pelabuhan udara Ngurah Rai, ya melalui jalan darat
Gilimanuk. Tapi di Yogyakarta, banyak jalan bisa dilewati para
turis hingga mereka terlewatkan dari 'pencatatan'.
Tapi pukul rata, seperti diperkirakan Bambang dari Tunas itu,
Desember ini tergolong Desember yang dingin rupanya.
"Dibandingkan dengan Juni lalu, arus turis yang masuk Yogya
melalui Tunas malah menurun," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini