ORGANISASI pengekspor minyak OPEC membuka lembaran baru ketika mereka berhasil mengajak 7 negara non-OPEC berunding di markas besarnya di Wina, pekan lalu. Peristiwa penting ini sempat menyulut harga minyak dengan beberapa dolar. Termasuk minyak mentah kebangsaan Inggris jenis Brent, yang naik 3 dolar menjadi sekitar US$ 17 per barel. Dialog dua hari kelompok non-OPEC dengan panitia pemantau harga minyak OPEC - Arab Saudi, Aljazair, Indonesia, Nigeria, dan Venezuela - pada Selasa dan Rabu lalu ingin mencari formula untuk mengerek kembali harga minyak menjadi rata-rata 18 dolar sebarel. Untuk itu, kelompok non-OPEC, terdiri atas Angola Malaysia, Meksiko, Mesir, Oman, dan Republik Rakyat Cina, setelah melalui diskusi seru itu, bersepakat menurani ekspor minyaknya dengan 5 persen selama Mei dan Juni, dengan pengertian OPEC pun akan melakukan hal yang sama. Sayang, Colombia tak bersedia menandatangani kesepakatan tersebut. Itu berarti keenam negara non-OPEC akan menyisihkan 200.000 barel ekspor mereka sehari, sedang OPEC harus mau mengurangi ekspornya dengan sekitar 850.000 barel sehari. Kalau sampai gagasan tersebut diterima, sementara pengamat minyak di Barat beranggapan harga minyak blsa menggapai sekitar US$ 20 per barel dalam musim panas mendatang. Tapi itulah yang tak bisa disetujui Arab Saudi. Itu ditegaskan Menteri Perminyakan Hisham Nazer dalam sidang lanjutan di Wina yang hanya untuk ke-13 anggota OPEC. Ketua delegasi Arab Saudi mengatakan, pemerintahnya hanya bisa menerima usul pengurangan produksi yang seimbang "barel demi barel," dengan non-OPEC. Hisham yang tidak seflamboyan Sheik Zaki Yamani, tapi lebih dikenal sebagai menteri "teknokrat", mengingatkan betapa OPEC telah begitu besar mengorbankan produksinya, sedang non-OPEC yang tak mempunyai organisasi belum berbuat banyak untuk mempertahankan harga minyak. Ada benarnya. Arab Saudi yang di zaman jayanya minyak pernah menggenjot produksi hingga 10 juta barel sehari, kini harus senang menerima kuota 4,3 juta barel sehari. Peran Arab Saudi selalu penting untuk memantau gerakan harga minyak. Mereka punya kemampuan untuk tampil sebagai sing producer: menggenjot produksi karena tergiur oleh harga minyak yang tinggi. Namun, peran itu telah lama tak mereka gunakan. Anehnya, sikap keras Hisham Nazer, seperti dilaporkan Youssef M. Ibrahim dari The New York Times, bukan cuma ditujukan pada kelompok non-OPEC, tapi juga di antara sesama negara OPEC. Dalam sidang istimewa OPEC yang dibuka sehari setelah selesainya perundingan dengan non-OPEC Hisham Nazer mengatakan, berapa pun nantinya pengurangan produksi akan diputuskan, harus dibagi rata di antara 12 anggota OPEC, tanpa Irak. Keruan saja anggota sekecil Gabon, yang punya produksi 150.000 barel, menjerit. "Sungguh tak masuk akal," kata Menteri Perminyakan Gabon, Etienne Mogava Chioba, yang menuding Arab Saudi seakan-akan tak ingin memanfaatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan negara-negara non-OPEC. Arab Saudi juga diberitakan tidak menyetujui usul bagus Aljazair, agar OPEC mengurangi produksinya dengan 300.000 barel sehari, dan sebagai imbalannya ketujuh negara non-OPEC mengerem produksinya dengan 183.000 barel sehari. Kabarnya, banyak yang bersimpati dengan usul Aljazair yang diumumkan hari Ahad pagi di bulan Ramadan ini. Tapi jika Arab Saudi bilang "tidak", perundingan pun sulit mencapai konsensus. Bukan itu saja. Harga minyak di pasaran future yang lebih bersifat psikologis dan spekulatif pun ikut-ikutan turun. Brent yang Jumat lalu mulai bergeser di bawah US$ 17 per barel, tertekan lagi menjadi US$ 16 sebarel awal pekan ini. Tapi para analis di Eropa beranggapan, penurunan harga minyak itu sementara sifatnya, dan akan naik lagi di saat belahan dunia bagian utara bersiap-siap menyambut tibanya musim dingin. "Akan timbul panik sebentar, tapi seperti biasa hal itu akan teratasi," kata Mehdi Varzi, pialang dari Kleinwort Grievson di London, seperti dikutip Reuters. Gagalkah pertemuan OPEC dan non-OPEC ? Ketua OPEC Rilwanu Lukman dari Nigeria bilang, "Kami sukses. Kami telah mendiskusikan usul non-OPEC. Dan kami percaya, usul yang mereka lontarkan adalah permulaan yang baik. Kami akan melanjutkan dialog dengan mereka." Itu pula pendapat sebagian besar anggota yang lain, termasuk Indonesia. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini