SIAPA cepat, dia dapat. Bunyinya klise, tapi buat usahawan yang ingin maju, prinsip ini harus dipegang teguh. Hanya saja yang terjadi di kalangan pengusaha Indonesia malah sebaliknya. "Pengusaha kita sangat lamban dalam merebut peluang," kata Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia. Ia berani bicara begitu, setelah melihat nilai ekspor Indonesia ke Amerika, yang dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kenaikan berarti. Padahal, awal tahun depan, empat macan Asia, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura, positif dicoret dari daftar eksportir barang-barang yang tercantum dalam GSP. Artinya, setelah pencoretan itu, keempat harimau tak berhak lagi atas pembebasan maupun pemotongan bea masuk yang selama ini dinikmatinya. Dengan demikian, terbukalah peluang yang sudah seharusnya dimanfaatkan sedini mungkin oleh pengusaha Indonesia. Tepatnya lagi, mereka sudah harus memasang kuda-kuda untuk menggantikan posisi keempat macan tadi. Hal itulah yang mengilhami Chris, dalam rencana memberikan "Briefing khusus untuk Top Executive", pekan depan. "Ini briefing, bukan seminar yang isinya hanya omong tok, sementara pesertanya tidak mendapatkan apa-apa," ujar Chris. Briefing yang akan diikuti oleh seratus lebih pengusaha (dengan biaya 200-250 dolar per orang) ini akan memberikan banyak informasi dan petunjuk yang praktis. Terutama tentang peluang-peluang, yang bisa dimanfaatkan sesegera mungkin. "Sekarang, bukan saatnya lagi merengek-rengek minta proteksi pengusaha harus mencari sendiri peluang bisnis," ujarnya. Dan kelambatan pengusaha Indonesia, menurut analisa Chris, justru disengaja. Soalnya, mereka menganggap remeh GSP. Buktinya, dari sekitar 3.000 jenis barang yang terdaftar, Indonesia baru memanfaatkan 290 jenis saja. Nilai ekspor yang dicapai Indonesia juga belum berarti. Jangan dibandingkan dengan ke empat negara macan, tapi cukup melihat ketetangga malaysia, Muangthai, dan Filipina. Pada 1986 ekspor mereka yang menggunakan fasilitas GSP rata-rata mencapai 400 juta dolar. Sementara itu, Indonesia hanya mampu ekspor 37,2 juta dolar. Memang, nilai ini melonjak banyak jika dibandingkan perolehan tahun 1987, sebesar 49,4 juta dolar. Tapi masih "belum ada apa-apanya". Apalagi jika dibandingkan dengan perolehan Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura, masing-masing menggondol 4,17 2,5 1,7 dan 1,3 milyar dolar AS. Total seluruhnya menjadi US$ 9,67 milyar dolar, atau 60% dari seluruh impor Amerika yang menggunakan fasilitas GSP - sebesar 16 milyar dolar. "Angka total keempat negara itu telah melebihi ekspor total nonmigas kita yang hanya 8,5 milyar dolar," ujar Chris. Pengusaha kita lamban tidak hanya ke Amerika, tapi juga ke negara-negara lain, yang menyediakan fasilitas keringanan bea masuk serupa. Ke Jepang, misalnya, tahun lalu Indonesia hanya bisa mengekspor senilai 160 juta dolar. Ini berarti, negeri kita berada di urutan terbawah, jika dibandingkan empat negara Asean lainnya kecuali Brunei. Begitu pula ekspor ke negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Indonesia menduduki posisi juru kunci. Sehingga, kalau diurut-urut, kini Indonesia menduduki peringkat ke-22 dari 129 negara yang terdaftar dalam GSP. Dikeluarkannya empat macan dari daftar GSP berarti pengusaha tidak lagi boleh "alon alon asal kelakon." Harus cepat. Sebab, produk sang harimau akan terkena bea masuk. "Artinya, daya saing produk kita jadi meningkat," ujar Chris. Kalaupun beberapa produk belum mampu bersaing, pengusaha Indonesia masih bisa terjun ke produk-produk lainnya, yang kalau didaftar bisa memakan ratusan halaman. Tapi soalnya tetap terbentur pada kelambanan tadi, yang juga bisa terlihat per komoditi. Sebagai bandingan adalah lima komoditi yang terdiri atas kecap, tape recorder, aneka plywood, komponen-komponen elektronik (seperti loudspeaker, microphone, dan headphone), dan barang-barang aluminium. Kelima jenis barang ini, sudah banyak diproduksi di dalam negeri. Tapi dalam hal ekspor, Indonesia hanya menguasai sekitar 0,58% dari nilai 130,2 juta dolar - angka ini totalitas ekspor lima komoditi tersebut yang dihasilkan Indonesia dan empat negara macan. Apa yang menghambat pengusaha Indonesia? Menurut Chris, pengusaha kita malas mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Padahal, pemberian fasilitas GSP ini tidak bersifat otomatis, tapi terlebih dulu harus diurus di Departemen Perdagangan Amerika. Para pengusaha itu juga menganggap GSP hanya menguntungkan importir Amerika. "Padahal, yang dijual 'kan barang kita-kita juga," ujarnya. Ditambah lagi Departemen Perdagangan kurang membantu. "Mereka tidak punya data-data yang lenkap, karena barang-barang yang masuk dalam GSP dianggap kecil," katanya lebih lanjut. Benarkah? Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kumhal Djamil, tampaknya, tidak sepakat. Ketika kayu lapis lunak Indonesia dicabut dari daftar GSP, karena dianggap telah mampu bersaing tanpa fasilitas, Kumhal ada menyatakan, sebenarnya pengusaha kita tidak lambat dalam memanfaatkan peluang. "Persoalannnya, banyak barang yang masuk dalam daftar GSP belum kita produksi. Dan kalaupun ada, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujarnya. Seorang pejabat tinggi di Deperdag mengungkapkan alasan lain yang tidak kalah logisnya. Katanya, hambatan utama adalah kualitas produk Indonesia yang belum memadai. Atau dengan kata lain, masih kalah dengan produk-produk Taiwan. "Barang kita tidak bisa bersaing untuk memperoleh fasilitas GSP," kata sumber ini. Selain itu, adalah sikap kebanyakan pengusaha Indonesia, yang selalu cepat puas pada prestasinya sendiri. Hal ini dibenarkan Menperdag Arifin Siregar. "Memang, semuanya tergantung sikap pengusaha sendiri," tutur Arifin. Sedangkan pemerintah semata-mata hanya memberikan dorongan, informasi, serta berbagai kemudahan bagi pengusaha. Misalnya deregulasi. Mungkin, itulah sebabnya, pekan ini pemerintah, tampaknya, akan mewujudkan rencana pembentukan Inlonesia Incorporated. Salah satu caranya adalah dengan membahas peluang-peluang GSP, yang akan didiskusikan oleh pihak Deperdag, Departemen Perindustrian, dan pengusaha. Tapi, peran PDBI dalam membriefing para top executive di Mercantile Club, pekan depan, tidak pula bisa dikesampingkan. Apalagi kalau melihat topik pembicaraan yang cukup menarik, berjudul "Indonesia Incorporated & GSP 4 Macan Asia". Budi Kusumah, Yopie Hidayat, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini