KARENA resesi tak dapat ditangkal, sekarang Untung Slamet Suwarni (Ussu) tak untung lagi. Hotel terkenal yang berlokasi di jalan raya Cisarua-Bogor ini terbelit utang, bahkan kini sedang dalam proses pelelangan. Padahal, ketika tahuntahun pertama didirikan, Ussu pernah menangguk untung yang tidak sedikit. Pemilik Ussu, Pak Slamet, dulu tak segan-segan mencantumkan predikat internasional pada hotelnya. Kini, pada saat-saat genting seperti sekarang, gelar "internasional" sudah ditanggalkan. Ada apa dengan Ussu? Semua berawal pada tahun 1972. Untung Slamet, 63 tahun, yang bekas tentara pejuang, membangun bungalo pribadi. Ketika itu, tempat-tempat peristirahatan di daerah Cisarua memang belum banyak. Jadi, tidaklah mengherankan kalau orang-orang yang punya niat bersantai banyak yang tertarik untuk menyewa. Nah, itulah yang mendorong Slamet membangun Hotel Ussu. Mulamula, ia hanya membuat lima unit bungalo di atas tanah seluas 3.000 m2. Ternyata, laku keras, Waktu itu, boleh dibilang, tingkat okupansi hotel rata-rata mencapai 75%. Akhirnya, diputuskan untuk membangun hotel secara serius. Dengan merogoh Rp 300 juta plus pinjaman dari BNI 1946, Slamet berhasil mewujudkan impiannya. Pada Maret 1974, di atas tanah seluas tiga hektar, berdirilah Ussu, terdiri atas 12 flat berikut 73 bungalo. "Harga minyak sedang boom ketika itu, dan yang menginap di Ussu paling sedikit 50 orang sehari," tutur salah seorang manajernya. Sejak itu angin segar tak henti berembus. Pada 1982 Slamet melakukan ekspansi, dengan membangun bungalo dan kamarkamar baru pada lahan seluas 2,6 hektar. Kapasitasnya melesat jadi 121 bungalo, 262 kamar, 42 flat, 6 ruang sidang, 4 kolam renang, bioskop, restoran, panti piiat, supermarket, art shop, sampai barber shop. Dana tambahan yang disuntikkan juga tidak sedikit: Rp 1 milyar. "Ketika itu saya menjual rumah dan tanah saya yang di Kebon Jeruk, Jakarta," ujar pemilik hotel yang mempunyai empat anak dan 12 cucu ini. Konon, ekspansi itu benar-benar sudah diperhitungkan dengan matang, bahkan Slamet berkonsultasi dengan seorang penset hotel. Sayang, perhitungan juga sering dibuat demi kelancaran kredit bank. Maka, tidak diperkirakan akibat kejatuhan harga minyak dan ancaman resesi. "Suasana resesi yang memunculkan berbagai kebijaksanaan pemerintah telah memukul usaha kami," kata Slamet. Alasannya, gerakan mengencangkan ikat pinggang yang digalakkan telah mengurangi berbagai keglatan yang selama ini menguntungkan, seperti rapat kera, seminar, dan lokakarya. Padahal, pendapatan yang diandalkan selama ini, ya, dari kegiatan-kegiatan itu. Sejak itu pamor Ussu memudar. Status internasionalnya terpaksa ditanggalkan. Bagaimana tidak. Tamu yang datang cuma 10-15 orang. Ini artinya, penghasilan rata-rata sehari hanya Rp 200 ribu. Padahal, Ussu harus menghidupi 150 karyawan. Belum biaya tetap untuk menjalankan diesel: Rp 100 ribu per hari, plus rekening air yang Rp 1 juta per bulan. "Kami sudah tidak kuat lagi mengelola Ussu," demikian pengakuan Slamet. Bisa dimaklumi kalau cicilannya pada BNI tak lancar lagi. Untuk menutupi utangutangnya, Ussu pun dipreteli sebagian demi sebagian, alias dijual. Aset yang telah dilego antara lain 22 unit flat, supermarket, art shop barber shop, panti pijat, amusement, dua restoran, bioskop, kolam renang, dan pelataran parkir, yang keseluruhannya memiliki luas 1,6 hektar. Ternyata, itu pull belum cukup. Kata Slamet, sekalian untuk membiayai renovasi, sebagian lainnya terpaksa dilelang. Kali ini dijual 18 unit bungalo dan 8 unit flat, dengan penawaran Rp 700 juta. Sekalipun megap-megap, tidak berarti Slamet akan mengundurkan diri dari dunia bisnis. Sebanyak Rp 700 juta - sisa dari pembayaran utangnya - akan digunakan untuk mengubah wajah Ussu. Dengan uang itu, sisa Ussu yang luasnya tiga hektar akan dilengkapi dengan telepon, video, antena parabola, dan kulkas di setiap kamar. Di samping itu, sarapan pagi yang sempat dilupakan kini akan disediakan lagi. "Kami akan 'mencanggihkan' kembali Ussu," ujar Untung Slamet, suami Suwarni. Barangkali inilah upaya terakhir, agar hotel Untung kembali beruntung. Budi Kusumah, Jenny Ratna Suminar, Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini