Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tunggakan yang menggumpal

Banyak alasan pemegang hph menunggak iuran hasil hutan (ihh) dan dana jaminan reboisasi (djr). jumlahnya sekitar rp 60 milyar. hasrul harahap mengharap agar lunas bulan desember.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI kucing-kucingan saja, soal pembayaran iuran hasil hutan (IHH) maupun dana jaminan reboisasi (DJR) itu. Menteri kehutanan yang baru, Hasjrul Harahap, pekan lalu, mulai bicara keras. Katanya, tahun ini tunggakan sekitar Rp 60 milyar itu harus sudah lunas. Di pihak lain, pemegang HPH punya dalih macam-macam. Misalnya di Medan, Sumatera Utara, ada pemegang HPH (hak pengusahaan hutan), yang tak mau disebut namanya, mempermasalahkan soal kepastian hukumnya. "Bagaimana tidak? Soalnya ada perkebunan bisa seenaknya merampas tanah hutan, yang sebenarnya sudah masuk kawasan HPH," katanya. Maka, kayu yang menjadi bahan baku industri kayu lapis jadi terganggu. Akibatnya, HPH enggan bayar IHH maupun DJR, dengan anggapan pencaplokan HPH-nya sebagai kompensasi. Sedangkan alasan klasik yang sering dikemukakan pemegang HPH adalah harga ekspor kayu lapis sedang anjlok. Namun, sekarang hal itu tak lagi bisa dipakai sebagai alasan. Sebabnya jelas, dua tahun terakhir ini adalah tahun-tahun keuntungan dunia perkayuan. "Jika sekarang sudah sanggup melunasi, Jangan menunda-nunda lagi," ujar Hasjrul Harahap seusai bertemu Ketua BPK, M. Jusuf, Sabtu lalu. Hanya seperti yang dikatakan Harjoto Manoppo dari PT Yayang Indonesia, Kalimantan Selatan, memang ada aturan main yang bisa dijadikan alasan menunggak. Misalnya pemegang HPH yang akan membangun hutan tanaman industri (HTI), ia mendapat penangguhan membayar kewajibannya. Sehingga, "Tunggakan itu 'kan semacam pinjaman tanpa bunga," katanya. Dan memang semua pemegang HPH di Kal-Sel, yang hutan produksinya lebih dari sejuta ha, sudah mengusulkan pembangunan HTI. Tapi menurut sumber Dinas Kehutanan di sana, baru PT Inhutani yang melaksanakannya dalam areal 252.000 ha. Alasannya: dana terbatas, pemegang HPH tak punya tenaga ahli. Sementara itu, tunggakan DJR di Kal-Sel dari tahun ke tahun meningkat--mencapai Rp 885 juta pada Maret lalu. Menurut catatan di Kanwil Kehutanan Kalimantan Timur, pemegang HPH di sana punya tunggakan Rp 141 juta. Yang lebih memprihatinkan di Lampung, utang IHH plus DJR mencapai Rp 5 milyar. Anehnya urusan pemegang HPH itu seperti tak bisa tuntas penyelesaiannya. Padahal, ada seperti angkat aturan yang cukup jelas. Misalnya, pembayaran IHH atau DJR yang tak tepat waktu, si pemegang HPH kena denda. Lalu, kalau masih berlarut-larut, bisa tertimpa sanksi tak dikeluarkan Rencana Karya Tahunan. Artinya, pekerjaan menebang kayu. Sanksi itu wajar. Toh pengusaha di bidang perkayuan telah sekian lama memanfaatkan kekayaan hutan, dan mendapat untung darinya. Sementara hutan itu tak bisa pulih dalam satu dua tahun. Apalagi, di samping penebangan resmi, sulit dihindari adanya penebangan liar. Misalnya di Lampung Utara, seperti diungkapkan seorang staf Dinas Kehutanan Dati I Lampung. "Dua tiga tahun lagi bisa habis hutannya," katanya. Karena itulah, perlu upaya yang kongkret pada pemulihan hutan, demi andalan ekspor nonmigas dari perkayuan ini. Menurut Direktur Utama PT International Timber Corp. of Indonesia, Abbas Adhar, pemegang HPH rugi kalau harus melakukan reboisasi sendiri. DJR yang bertarif 4 dolar AS per batang, memang, akan dikembalikan kepada pemegang HPH yang akan melakukan reboisasi. Tiap hektar dipatok pemerintah Rp 720 ribu. Biaya sebesar itu sudah termasuk penggarapan tanah, penanaman, dan perawatan tanaman selama tiga tahun. Padahal, "Perhitungan kami, biaya reboisasi itu mencapai Rp 1,2 juta," tutur Abbas, yang tahun lalu telah menyetor DJR 2,8 juta dolar AS dari produksi 700 ribu kayu bulatnya. Pemegang HPH seluas 650 ribu hektar di Kal-Tim itu berangan-angan, mungkin lebih baik kalau pemegang HPH tetap membayar dana reboisasi tanpa kewajiban melakukan reboisasi. "Tapi pemerintah sendiri yang melaksanakan reboisasi itu," tambahnya. Sedangkan IHH tetap dipungut dari pabrikan, setelah kayu menjadi barang setengah Jadi atau barang jadi. Sayangnya, tunggakan IHH dan DJR sudah telanjur menggumpal. Dan, itu menjadi bagian dari kewajiban Hasyrul Harahap untuk menertibkannya. Deadline yang ia berikan kepada pemegang HPH untuk melunasinya: Desember 1988. Tunggulah saja. Suhardjo Hs., Aimin Hatta (Banjarmasin), Affan Bey (Medan), Effendy Saat (Lampung), Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus