SEORANG tamu dari Jepang sudah ditunggu di Jakarta. Dialah Sosuke Uno, Menlu Jepang yang pesawatnya mendarat di Jakarta Rabu pekan ini. Di Cengkareng, isi tas pejabat VIP itu tentu tidak aan diperiksa oleh pihak bea cukai. Tapi bisa ditebak, di dalamnya pasti ada sepucuk surat dari PM Jepang Noboru Takeshita untuk Presiden Soeharto. Isinya apa lagi kalau bukan jawaban atas permintaan Indonesia agar Jepang memberi keringanan atas utang Indonesia yang diakibatkan yendaka. Seperti diberitakan sebelumnya, dalam pertemuan dengan PM Jepang di Manila akhir tahun silam, Presiden Soeharto telah membicarakan masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia. Salah satu yang mendesak adalah beratnya utang Indonesia akibat menguatnya mata uang Jepang atau sering disebut yendaka itu. Sepulang dari Manila, pembicaraan segera disusul dengan korespondensi. Ada tiga usul yang diajukan Indonesia: pertama, kalau boleh Jepang menghibahkan sebagian utang pokok Indonesia, sebagaimana telah ilakukan Australia, Kanada, dan Inggris. Atau kedua, hibahkan kenaikan beban cicilan utang Indonesia akibat yendaka. Pilihan ketiga, beban utang akibat yendaka itu diubah menjadi pinjaman lunak yang baru. Dan menurut koran ekonomi terkemuka Nihon Keizai Shimbun edisi pekan lalu, Jepang agaknya akan memilih usul ketiga, yakni memberikan pinjaman kstra US$ 1,1 milyar. Dan itu saja kabarnya udah sangat memusingkan pemerintah Jeang. Mengapa? Kredit ekstra yang diminta Indonesia erjumlah US$ 1,1 milyar, sedangkan pinaman rutin yang biasa diberikan pemerintah lepang lewat IGGI masih jauh di bawah angka tersebut. Benar tidaknya berita ini belum dapat dipastikan. Seorang pejabat tinggi dari Deartemen Luar Negeri Jepang, yang dihubuugi biro TEMPO di Tokyo Sabtu pekan silam, menolak memberi tanggapan. Menurut sumner itu, pemerintah Jepang menyadari bahwa yendaka telah memperberat beban utang Femerintah Indonesia. "Tapi yendaka bukan kesalahan Jepang. Artinya, beban utang Indonesia tidak harus ditanggung Jepang sendiri," katanya. Pihak Indonesia pun menyadari bahwa yendaka itu bukan kesalahan Jepang. Tapi bola permainan ada di lapangan mereka. Sebab, dampak negatif dari yendaka masih bisa diatasi oleh Jepang sendiri. Tak lain karena menguatnya nilai yen berbarengan dengan jatuhnya harga-harga berbagai komoditi, yang mereka impor dengan dolar. Situasi ini telah memberi keuntungan besar bagi Jepang dari impor minyak saja, misalnya, negara ltu sudah bisa menabung milyaran dolar. Lalu bagaimana tanggapan pemerintah Jepang yang disampaikan Menlu Uno ke Jakarta? "Kepastiannya tunggu saja pemberitahuan dari Sosuke Uno di Jakarta. Mudah-mudahan, bisa melebihi bantuan rutin Jepang selama ini," jawab pejabat tinggi dari Deplu Jepang tadi. Namun, menurut sumber atadi, permintaan Indonesia untuk mendapatkan bantuan ekstra sulit dipisahkan dari bantuan rutin Jepang. Adapun kredit rutin Jepang selama ini hanya bisa dipakai untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Sekalipun begitu, toh sikap pemerintah Tokyo sudah mulai luwes dalam memberikan pinjaman. Buktinya, dalam tahun anggaran lalu (1987-88), kredit yang diberikan pemerintah Jepang tercatat sebesar 88 milyar yen atau sekitar US$ 704 juta (menurut kurs 1 dolar = 125 yen). Sebagian kredit itu, 27,2 milyaryen (sekitar US$ 217 juta), ternyata bisa dipakai sebagai kredit barang. Selain itu, perkembangan baru juga muncul pada akhir tahun silam. Dalam pertemuan Presiden Soeharto di Manila, menurut pejabat Deplu itu, PM Takeshita juga sudah menjanjikan kredit rehabilitasi sebesar 21,5 milyar yen (sekitar US$ 172 juta). Sehingga, total kredit yang dijanjikan Jepang untuk tahun fiskal 1987-88 lalu sebenarnya berjumlah US$ 876 juta. Sementara ini, menurut sumber lain di Tokyo, pemerintah Indonesia kemungkinan juga telah mengajukan usul baru. "Kredit rutin Jepang untuk tahun anggaran berjalan (1988-89) seluruhnya bisa dimanfaatkan sebagai dana lokal. Artinya, bantuan Jepang bisa dipakai sebagai dana pelengkap bagi proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman dari donor lain di IGGI," katanya. Sinyalemen tersebut masuk akal. Sebab, seperti terungkap dalam buku nota RAPBN 1988-89, tabungan pemerintah diperkirakan (hanya) berjumlah Rp 1.737 milyar - atau sekitar Rp 472,6 milyar lebih kecil dari tahun anaran silam. Padahal, perhitunan itu berdasarkan harga minyak rata-rata US$ 16 per barel, satu dolar di atas perhitungan tahun fiskal yang lalu. Presiden Cory Aquino, menurut sumber tadi, kabarnya juga sudah meminta pinJaman ekstra di luar kredit, yang biasa diberikan Jepang untuk Filipina. Kredit ekstra yang diminta Cory diperkirakan sekitar US$ 700 juta per uhun untuk masa lima tahun - total menjadi US$ 3,5 milyar. Ada dugaan bahwa permintaan Filipina itu berkaitan dengan kegagalan pemerintah Cory menaikkan kontrak penyewaan pangkalan Subic dan Clark kepada AS. Dalam negosiasi terakhir, pemerintah Filipina konon meminta bayaran 10 kali lipat dari sewa AS sekarang ini, berarti USS 120 juta per tahun. Pemerintah Washington malah diminta agar mau juga membantu meringankan beban utang Filipina, yang kini berjumlah sekitar US$ 28 milyar. Permintaan Filipina kepada AS, konon, telah dioperkan AS kepada sekutunya yang terkuat di Asia: Jepang. Belum Jelas apakah permmtaan Filipina itu bakal dilayani Jepang. Yang pasti, UUD Jepang dan masyarakat Jepang juga merasakan bahwa tidakmungkin harus membiayai sebuah pangkalan militer asing. Tetapi sumber dari Deplu Jepang mengatakan bahwa tekanan AS semakin keras, hingga Jepang terpaksa mulai memikirkan kredit istimewa bagi Filipina. Pemerintah Jepang tampaknya mulai pekan ini hendak menunjukkan sikap "mau mengambil tanggung jawab masalah dunia" Sebelumnya peran ini kurang tampil, apalagi mendesak. PM Noboru Takeshita, menurut sumber dari Deplu tadi, pekan ini merencanakan suatu kunjungan ke empat negara Eropa. PM Jepang itu kabarnya hendak mengumandangkan slogan "Jepang menyumbang bagi dunia". Mungkinkah kunjungan Menlu Uno ke Jakarta bagian dari slogan itu? Seiichi Okawa (Tokyo), M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini