Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SKT babak belur dihajar SKM. Sebentar, ini bukan pertandingan tinju. Si penghajar itulah sigaret kretek mesin (SKM), dan yang dihajar sigaret kretek tangan (SKT). Terbukti, memang, belakangan ini SKM yang lebih diminati konsumen. Konon, karena SKM lebih terjaga rasanya, di samping rapi terbungkus serta menarik. Dan, harganya pun tak jauh berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untunglah, sebelum SKT KO, datang Menteri Keuangan Radius Prawiro yang ruparupanya merisaukan periuk nasi pelinting tradisional yang jumlahnya ratusan ribu orang. Menteri segera memahami keadaan, lalu menurunkan cukai rokok SKT 2,5 persen sampai 10 persen. Penurunan cukai itu juga berlaku bagi industri kecil yang memproduksi sigaret kretek filter tangan (SKFT). Sedangkan cukai untuk SKM tetap seperti tarif lama: 35 persen dan 37,5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang ada gunanya. Segera, pabrik rokok Mana, di Kudus, berkibar lagi setelah tak berproduksi dua tahun. Dan, akhir tahun lalu, pabrik itu tak memproduksi SKT lagi, melainkan SKFT. Sebab, filterlah yang diduga akan laku. Produksi pertama 12.000 batang per hari, dan, "Eh, ternyata mendapat animo dari masyarakat," tutur Gandi Sandjaja, kepala pemasarannya.
Kini, dengan modal kerja yang terputar sebesar Rp 50 juta, pabrik itu mampu memproduksi 360.000 batang per hari, dengan tenaga buruh sebanyak 35 orang. Meski begitu, itu masih jauh di bawah masa jaya Mangga pada 1969-1971, yang sempat mempekerjakan 200 tenaga pelinting dengan modal kerja sekitar Rp 100 juta.
Sebenarnya, perubahan dari kretek biasa ke kretek filter tak perlu mengubah alat produksi. Artinya, tak perlu tambahan modal. Penggiling rokoknya masih yang dulu, dari kayu jati dengan alas gulungan kain. Proses kerjanya pun tak banyak berbeda. Ramuan tembakau serta filternya diletakkan pada gulungan kain, lalu digoyang. Kemudian menyusul kertas pembungkusnya, digoyang lagi, jadilah kretek filter.
Tapi, memang, goyang untuk kretek biasa dan kretek filter berbeda. Yang jelas, produksi buruh penggiling hanya setengah kapasitas dibandingkan bila mereka menggiling kretek biasa. Kunci inilah tampaknya yang membuat sukses rokok Mangga. Dan jelas, bila rahasia goyang filter tak diketahui, kualitas produksi tentulah di bawah mutu.
Hal terakhir itulah yang terjadi dengan pabrik rokok Pamor, misalnya. Menurut Yongky Setiawan, pimpinan Pamor, produksi kretek fllternya tak merata goyangnya, hingga "banyak yang bolong di tengah, maka diisapnya kurang mantap." Ia pun maklum bila pembeli lalu menjauhinya. Pamor pun, akhir bulan lalu, kembali ke goyang kretek biasa. Produksinya sekarang mencapai 350.000 batang dengan melibat 200 orang tenaga kerja.
Nasib yang sama juga dialami oleh pabrik rokok Klampok. "Lebih baik bertahan dengan SKT" kata H. Sunardi, pemiliknya, pasrah. Kini, Klampok setiap harinya memproduksi 500.000 batang SKT dengan mengerahkan 300 tenaga kerja.
Tampaknya, SKFT belum bisa menjadi alternatif bagi kelangsungan hidup pabrik rokok SKT kelas gurem, agar tetap bisa melayani selera konsumen, kata S. Suharto, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Indonesia (Gapri). Suharto sendiri, pemilik pabrik rokok Sri Hesti, tetap hanya memproduksi kretek linting tangan biasa. Selama masih ada konsumen yang berselera menikmati SKT, "saya terus bertahan. Dan, nyatanya, sampai sekarang saya masih bisa hidup."
Tapi sampai kapan? Kecenderungan menunjukkan produksi SKT di Kudus semakin merosot. Tiga tahun silam produksi SKT dari 30 anggota Persatuan Pabrik Rokok Kudus sekitar 17,9 milyar batang, sedangkan SKM hanya 9,8 milyar batang. Tahun lalu, produksi SKT hanya 15,5 milyar batang sedangkan SKM menjadi 20,2 milyar.
Itu berarti lapangan kerja bagi buruh linting makin menciut pula. Sudah barang tentu problematiknya tak cuma berada di dalam pabrik, tak cuma soal beralihnya goyang kretek biasa ke goyang filter. Masalah tenaga kerja lapisan bawah, yang cuma menguasai satu jenis keterampiian, adalah masalah negeri berkembang yang padat penghuninya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo