Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ancaman dari Muangthai

Investasi pengusaha jepang di asean berjumlah 33% dari total investasi. pengusaha jepang ternyata lebih suka melakukan investasi di muangthai. jepang juga lebih banyak mengimpor dari muangthai.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI ASEAN, Jepang masih tetap jadi rebutan. Tak heran jika keenam negara anggota perhimpunan itu, pekan lalu, menginginkan rombongan pengusaha dan bankir mereka dalam jumlah cukup besar ke pertemuan bisnis Jepang-ASEAN ke-13 yang diprakarsai oleh Keiai Doyukai (orgamsasi pengusaha Jepang semacam Kadin di sini) di Kyoto. Acara ini dimaksudkan untuk mendiskusikan pelbagai rencana investasi Jepang di ASEAN. Selama ini investasi pengusaha Jepang di ASEAN masih di bawah investasi mereka di Amerika Utara, yang berhasil menarik 49% dari total investasi itu tahun lalu. Sedangkan ASEAN cuma 33% . Namun, belakangan ini tampak kecenderungan posisi itu sudah berubah. ASEAN makin disukai. Boleh jadi, inilah sebabnya Indonesia kali ini juga mengirim sebuah delegasi besar berjumlah 30 orang yang terdiri atas pengusaha, seperti William Soerjadjaya, dan Dirut Bank Bumi Daya Omar Abdalla. Memang ini kesempatan berharga. Paling tidak untuk mengetahui bagaimana posisi Indonesia di mata pengusaha Jepang dibandingkan negeri ASEAN lainnya sekarang ini. Maklum, isu yang terdengar selama ini: Pengusaha Jepang kurang begitu berminat menanamkan modal mereka di Indonesia. Ketidakpuasan itu tak mereka lontarkan secara terbuka. Hanya beberapa pejabat Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (JETRO) kerap menyebutkan alasannya, antara lain, karena tak adanya lagi fasilitas pajak bebas tax holiday, rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tingginya biaya produksi di sini. Benarkah begitu? Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita sudah membantahnya. Sambil membeberkan angka yang katanya dikutipnya dari sumber Jepang sendiri, ia menegaskan investasi Jepang bahkan bukan cuma meningkat, "Tapi paling besar di ASEAN." Pada 1985, jumlah investasi yang disetujui hanya US$ 127 juta, tapi tahun berikutnya meloncat sekitar 159% menjadi US$ 328 juta. Bahkan pada Januari sampai April ini, tambah Ginandjar, jumlah investasi yang disetujui sudah mencapai US$ 103,209 juta. Selama ini investasi Jepang paling besar memang berada di Indonesia. Bagaimana menurut para pengusaha Jepang sendiri? Hasil sebuah poll (pengumpulan pendapat umum) perihal iklim investasi di ASEAN, yang diadakan Desember tahun lalu oleh Keizai Doyukai, sempat dibagikan kepada peserta pertemuan di Kyoto itu. Poll yang respondennya terdiri atas ratusan pengusaha Jepang itu antara lain menjawab pertanyaan tentang negeri mana yang akan dipilih mereka jika akan memusatkan penanaman modalnya di ASEAN. Sebanyak 186 pengusaha, yang boleh memilih lebih dari satu negara, memberikan jawaban: Pilihan terbanyak mereka jatuh pada Muangthai, dengan 87 suara (46,8%). Lalu disusul: Malaysia 74 suara (39,8%), Singapura 66 suara (35,5%), baru diikuti Indonesia 61 suara (32,8%). Indonesia juga ternyata harus kalah lagi dari Muangthai, ketika para pengusaha Jepang diminta menunjuk dari negeri mana mereka paling banyak mengimpor. Muangthai tetap dipilih pengusaha Jepang, 53%. Baru kemudian berturut-turut Singapura (34,3%), Indonesia (33%), dan Malaysia (32,8%). Ada sejumlah pertanyaan lain tentu diajukan dalam poll, tapi dua pertanyaan ini secara spesifik memang meminta para pengusaha memilih nama negara. Muangthai ternyata terbukti lebih menarik di mata pengusaha Jepang. Entah apa scbabnya, kurang jelas. Yang terang, beberapa pengusaha Jepang mulai banyak yang menghentikan kegiatan mereka di Indonesia. Bisa jadi karena alasan hukum karena harus memenuhi ketentuan Indonesianisasi seperti yang terjadi pada penjualan saham oleh grup Mitsubishi dan Kuraray. Pekan lalu, dua perusahaan Jepang itu menjual semua saham mereka pada mitra lokalnya pengusaha tekstil terkenal The Ning King. Ketiganya sebelumnya sama-sama pemegang saham di PT Kumafiber, perusahaan pembuat serat sintetis, bahan baku tekstil. Tapi, juga menarik, dalam waktu bersamaan perusahaan Jepang yang lain, grup Mitsui, juga menjual beberapa baglan saham mereka pada mitranya Erwin Pohan di PT Djaya Beverage Bottling Company, perusahaan pembuat minuman ringan Coca Cola dan Fanta di sini. Memang kerja sama mereka sudah berlangsung 15 tahun. Dan dalam kurun waktu itu, pihak Jepang menurut ketentuan harus mengoper dominasinya atas saham pada rekannya. Tapi, benarkah mereka ikhlas menjual saham itu pada mitra lokalnya? Untuk pertanyaan ini pihak pengusaha Jepang memang belum bicara terus terang. Dan bila hasil pengumpulan pendapat itu menjadi kenyataan, dalam waktu mendatang bukan tak mungkin Muangthai bisa menggeser posisi Indonesia. Laporan Seiichi Okawa & Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus