PERMOHONAN Indonesia mendapatkan pinjaman baru sebesar US$ 555,7 juta dari Dana Moneter Internasional (IMF) sudah masuk. Hasilnya diduga bakal ketahuan segera, karena para eksekutif badan dunia itu bersidang membahas permintaan tersebut di Washington, Senin pekan ini. Jika permohonan itu dikabulkan, inilah kali kedua Indonesia, sejak 1983, meminta bantuan pinjaman Compensatory inanang Facility dari IMF--kredit lunak berjangka waktu tiga sampai lima tahun untuk membantu neraca pembayaran suatu negara yang defisit, akibat turunnya penerimaan dari ekspor. "Tak berarti ada yang gawat, jika kita mengambil pinjaman itu. BI (Bank Indonesia) mau mengambil pinjaman tersebut, karena syaratnya lunak," kata seorang bankir pemerintah. Gawat mungkin belum. Tapi, yang pasti, soal utang luar negeri lagi hangat diperbincangkan. Masalahnya, menurut beberapa pengamat ekonomi, beban utang luar negeri kita, sampai 1986 saja, diperkirakan US$ 33 milyar - setelah dihitung kenaikan akibat apresiasi yen. Dari jumlah itu sekitar USS 5 milyar harus dibayar (cicilan dan utang pokoknya) pada tahun anggaran 1987-88 ini. Arsitek ekonomi Orde Baru Prof. Dr. Widjojo Nitisastro bahkan sudah memperingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil pinjaman baru luar negeri. "Jumlah utang yang harus dibayar jika dibandingkan dengan ekspor sudah menunjukkan lampu kuning. Sudah kuning biasanya merah," kata Widjojo seusai mengikuti sidang ekonomi Dewan Interaksi V di Kuala Lumpur, dua pekan lampau. Widjojo mengibaratkan utang Indonesia dengan lampu kuning, karena dengan membayar cicilan dan bunga utang sebesar US$ 5 milyar, perbandingan utang terhadap ekspor kita mencapai 33% - jauh di atas titik rawan, yang dulu disebut-sebut 20%. Kendati demikian, bekas Menko Ekuin itu gembira karena Indonesia termasuk salah satu negeri yang berhasil mengelola utang luar negerinya. Karena itu, kita tak perlu menjadwalkan pembayaran utang, seperti Filipina dan Turki. Walau hasil ekspor total turun sekitar 20%, terutama akibat penurunan hasil dari minyak dan gas alam cair, pada periode 1986-1987 pemerintah telah bertekad akan membayar utang dan cicilannya. Risikonya tentu ada, karena dana yang ditarik tak main-main: US$ 5 milyar - tak jauh di bawah perolehan ekspor minyak dan gas alam cair 1987-1988 sekitar US$ 6,9 milyar. Maka, jika cicilan itu jadi dibayarkan, pemerintah bakal kehilangan separuh dari anggaran rutmnya dan hanya punya tabungan sekitar US$ 2 milyar dalam APBN 1987-1988. Tak pelak lagi, mesti ada yang dikorbankan. Misalnya, laju pertumbuhan ekonomi, yang pernah diperkirakan mencapai 3% pada tahun anggaran ini. Haruskah pertumbuhan yang belum mencapai 5% seperti ditargetkan pada Pelita IV dikorbankan? Seorang pejabat perbankan mengatakan, sebenarnya mudah bagi pemerintah kalau mau minta penjadwalan utang. Tapi, tambah sumber itu, hal tersebut sudah diputuskan tidak akan dilaksanakan. Mau tak mau, laju pertumbuhan ekonomi terpaksa dikorbankan. Untuk berjaga-jaga dari akibat menipisnya cadangan devisa, yang sekarang diperkirakan lebih sedikit dari US$ 5 milyar, maka BI mengajukan permintaan kredit IMF tadi. Jurus lain mengatasi utang luar negeri, salah satu di antaranya yang tengah dijajaki ialah merundingkan utang-utang yang jatuh tempo. Utang yang tertunda pembayarannya itu dijadikan utang baru dengan syarat pinjaman, termasuk bunga, lebih ringan dari utang sebelumnya. Tampaknya, cara inilah, bukan penjadwalan kembali, yang dipilih pemerintah untuk mengatasi problem pembayaran utang luar negerinya. Belum diketahui utang yang mana saja yang telah dapat diselesaikan dengan cara itu. Yang pasti, lembaga peminjaman uang dari Jepang, OECF, termasuk yang diharapkan menyetujui metode pembayaran tersebut. "Kita sidak tahu persis porsi utang pemerintah dan kapan jadwal pembayaran pinjaman-pinjaman itu, maka sulit memastikan mana saja utang yang dapat dinegosiasikan dengan pihak yang meminjamkannya," kata Direktur Studi CSIS Dr. Hadi Soesastro. Ia mengaku termasuk yang mengusulkan perlunya dirundingkan cara pembayaran semua utang luar negeri Indonesia. Ternyata, pemerintah sudah menjalankan cara pembayaran yang mirip dengan usulnya. Jika metode pembayaran itu berjalan mulus, Indonesia bakal bernapas lega. Apalagi, seperti disarankan Hadi, jika kita bisa pula melaksanakan liberalisasi di bidang perekonomian. "Bagaimanapun itu perlu buat meningkatkan ekspor nonmigas," katanya. Meski terdaftar sebagai pengutang nomor enam terbesar di dunia - nomor satu Brasil dengan jumlah utang sekitar US$ 110 milyar - Indonesia kelihatan tak bakal kesulitan mengatasi pembayaran bunga cicilan dan utang pokok pada tahun anggaran ini. Maka, Bank Ekspor-Impor AS tak ragu-ragu menawarkan kredit US$ 100 juta pada Indonesia. "Kredit ini semacam fasilitas bantuan yang belum pernah kami berikan pada negara mana pun," kata John A. Bohn Jr., Dirut Bank Exim AS, selepas menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Senin pagi pekan ini. OHN menyatakan, Bank Exim menilai pemerintah Indonesia berhasil meng. J ambil langkah yang tepat dengan penyelesalan yang akurat dan kesulitan ekonomi yang berat. "Saya gembira melihat cara pemerintah Indonesia bertindak mengatasi masalah keuangan dan ekonomi selama ini," katanya. Bank Exim AS itu percaya Indonesia akan mampu mengatasi kesulitannya. "Maka, kami berani memberikan kredit," ujar Bohm. Utang negara Dunia Ketiga, menurut bekas PM Jepang Takeo Fukuda, berjumlah US$ 1,3 trilyun lebih. Tak dirinci mana yang masih bisa ditagih, mana pula yang harus dibatalkan karena negara peminjam tak mampu lagi membayarnya. Maka, Sidang Dewan Interaksi V di Kuala Lumpur, bulan lalu, mengusulkan agar dibentuk sistem baru yang memungkinkan penghapusan semua utang, jika negeri yang berutang tak lagi mampu membayar. Usul menarik, memang. Apalagi, jika bisa diwujudkan. Soalnya, maukah negara debitur kehilangan duit yang mereka pinjamkan kepada negeri berkembang, terutama di saat ekonomi lagi sulit begini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini