Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEKAD Yani memiliki rumah sudah bulat. Tahun ini ia harus sudah tinggal di rumah baru. Berbagai pameran properti telah dikunjungi, tapi rumah idamannya—seharga Rp 150-an juta—belum ditemukan. Target ibu satu anak ini sebenarnya tidak muluk-muluk. ”Di pinggiran Jakarta coret pun oke,” kata perempuan 30 tahun itu.
Yani tentu tak melewatkan REI Expo 2009, yang digelar di Jakarta Convention Center, 2-10 Mei lalu. Pameran apartemen dan perumahan ini melibatkan 90 perusahaan properti yang menjual 108 lokasi proyek. Sebagian besar ada di Jabodetabek, tapi ada juga properti di Bali, Samarinda, Balikpapan, dan Manado. Namun tetap saja Yani belum menemukan rumah idamannya.
Pangkal soalnya adalah masih tingginya suku bunga perbankan. Padahal, sejak Desember lalu, Bank Indonesia sudah enam kali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) dari posisi terakhirnya 9,5 persen. Terakhir, Selasa pekan lalu, Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan 25 basis point menjadi 7,25 persen. Artinya, sejak November lalu, suku bunga sudah turun 2,25 persen.
Sayangnya, respons perbankan sangat lamban. Padahal harga bahan baku rumah naik. Sebaliknya, daya beli masyarakat anjlok lantaran krisis global. Akibatnya, pasar properti pun kembang-kempis menanti darah baru. Kini, setelah penurunan suku bunga acuan itu, banyak pihak berharap perbankan bersicepat menurunkan suku bunga, termasuk bunga kredit pemilikan rumah (KPR).
Pekan lalu, direksi Bank Mandiri menggelar rapat untuk melihat seberapa jauh dan kapan penyesuaian bunga itu bisa dilakukan. Direktur Mandiri Abdul Rachman mengatakan Mandiri mengevaluasi pengaruh dan bagaimana reaksi yang tepat. Penurunan bunga paling cepat bisa diberlakukan terhadap pinjaman jangka pendek, alias kredit bertenor di bawah setahun.
”Untuk yang jangka panjang, perhitungannya berbeda,” kata Abdul kepada Bunga Manggiasih dari Tempo. Khusus untuk KPR, bank nasional terbesar ini telah dua kali menurunkan bunga sejak tren penurunan BI Rate akhir tahun lalu. Pada 1 April, tingkat bunga dikoreksi menjadi 13,5 persen, dari posisi Februari 14,75 persen.
Bank BCA per Maret tahun ini juga mengoreksi bunga KPR menjadi 12,5-13,5 persen, yang berlaku tetap selama tiga tahun. Pada awal 2009, bunga KPR BCA masih 15 persen. Bunga KPR akan bergerak mengikuti pasar pada tahun keempat dan seterusnya. Namun, kata Wakil Direktur Utama Jahja Setiaatmadja, BCA akan menjaga pergerakan bunga di kisaran 14 persen.
Toh, kata Jahja, penurunan suku bunga KPR tersebut tak serta-merta mendongkrak permintaan. Tren permintaan menurun karena daya beli masih rendah, di samping harga properti juga naik. ”Orang kalau enggak perlu banget, kecuali berantem dengan mertua, enggak membeli rumah,” kata dia berseloroh.
Hingga triwulan pertama 2009 ini, Jahja menambahkan, grafik realisasi KPR BCA nyaris flat, alias pertumbuhannya minim dibanding kuartal sebelumnya. Dari total KPR yang dikucurkan Rp 8-9 triliun, kredit yang baru hanya Rp 400-500 miliar per bulan. BCA memang sangat selektif, cuma 30-40 persen aplikasi yang disetujui.
Bank Tabungan Negara (BTN), yang menguasai mayoritas pangsa pasar kredit rumah bersubsidi, masih mengkaji penurunan suku bunga. Alasannya, kata Direktur Utama BTN Iqbal Latanro, perseroan itu memilih berhati-hati. Sebab, biaya pendanaan saat ini terbilang masih tinggi.
Prinsipnya, menurut Iqbal, semua pelaku perbankan dalam negeri menginginkan bunga kredit yang tidak terlalu tinggi. ”Tapi cost of fund menjadi kendala penurunan bunga,” kata Iqbal seusai rapat umum pemegang saham di kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Akibatnya, ia menambahkan, banyak bank harus mencari pendanaan lain. Pada 1 April lalu, BTN menurunkan bunga KPR dari 14,5 menjadi 14 persen. Namun suku bunga baru ini hanya berlaku bagi nasabah baru.
Pasar KPR memang tak semeriah awal tahun lalu. Kelesuan terjadi sejak Juli-Agustus, ketika kasus subprime mortgage meledak di Amerika. Tren penurunan terus terjadi sampai Februari. Saat itu, Jahja menambahkan, BCA memberikan bunga 15 persen. ”Sepi banget tuh KPR waktu itu,” katanya.
Anton Sitorus, kepala riset lembaga konsultan properti Jones Lang LaSalle, menyayangkan suku bunga yang tak kunjung susut. Hal ini berdampak pada tingkat pertumbuhan, yang diperkirakan kurang dari 10 persen tahun ini. Padahal, jika suku bunga disesuaikan ke level 10-12 persen seperti pada 2004, pertumbuhan bisa melonjak. Permintaan apartemen, misalnya, saat itu melompat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Loyonya bisnis KPR juga dirasakan Bank Mandiri. Karena itu, kata Direktur Korporasi Mansyur S. Nasution, perseroannya hanya memasang target pertumbuhan 15 persen tahun ini. Pada 2008, pertumbuhan kredit sektor perumahan bank pelat merah ini mencapai 35 persen. Sedangkan BCA menargetkan penyaluran KPR baru (nett) Rp 2 triliun hingga akhir tahun ini.
Bank CIMB Niaga pun hanya berani menargetkan pertumbuhan KPR tujuh persen. Juru bicara CIMB Niaga, Dina Sutadi, mengatakan suku bunga di banknya sudah turun ke 12,5 persen. Bank baru hasil merger Lippo-Niaga ini menguasai 10,3 persen pangsa pasar kredit perumahan.
Menurut Ketua Real Estate Indonesia Teguh Satria, fasilitas KPR menjadi darah industri perumahan, terutama untuk rumah yang harganya di bawah Rp 500 juta. Misalnya, untuk segmen harga Rp 150-500 juta, 70 persen pembelian dilakukan secara kredit. Begitu pula kelompok rumah bersubsidi, rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah sederhana sehat (RSH), yang harganya di bawah Rp 150 juta. Pasar rumah bersubsidi ini bisa dibilang tidak ada matinya. Peminatnya membeludak karena ada program bantuan pemerintah.
Pasar KPR, Teguh menambahkan, ada kemungkinan membaik awal semester kedua ini. Masyarakat menunggu penurunan bunga setelah BI Rate dipangkas. Diperkirakan bunga bisa turun ke level 12 persen, dari posisi saat ini 13,75-14 persen.
Sembari menunggu bunga melorot, ada saja yang dilakukan pelaku bisnis properti dalam menawarkan dagangannya. PT Gapuraprima, misalnya, dalam REI Expo 2009 ini bekerja sama dengan BRI mengiming-iming paket bunga kredit 8,25 persen hingga 13,75 persen. Gapuraprima menawarkan Perumahan Bukit Cimanggu di Bogor dalam paket 8,25 persen. ”Sudah ada 250 orang yang mendaftar,” kata Irfan Muhazir, consumer loan account officer BRI.
Khusus untuk paket 13,25 persen, Irfan menambahkan, tidak ada subsidi bunga. Sedangkan paket 13,75 persen ditujukan untuk kredit kepemilikan rumah kedua. Paket ini berlaku hingga tiga bulan ke depan.
Gapuraprima juga menawarkan cara pembayaran installment. Polanya, pembeli mengangsur 30 persen harga selama tiga bulan, sedangkan sisanya, 70 persen, dicicil selama sembilan bulan. ”Yang ini paket tanpa bunga,” kata marketing executive Gapuraprima Group, Dwi Baiduwi. Tampaknya, metode ini cukup cespleng menggaet konsumen. Buktinya, sekitar 70 persen pembeli memilih skema pembayaran ini.
Iming-iming lain, Dwi menambahkan, paket asuransi. Ini hasil kerja sama dengan Allianz. Setelah pembayaran 30 persen, konsumen akan mendapat polis asuransi. Juga program cash back 100 persen. ”Beli Rp 200 juta dikembalikan Rp 200 juta,” begitu janji yang tertera di dalam brosur perumahan CBD Serpong.
Dengan paket-paket tersebut, Dwi bebas dari persoalan suku bunga KPR yang tengah diributkan. Kuncinya, kata dia, memberikan program yang memikat pembeli. ”Paling tidak 3 sampai 4 transaksi sehari bisa dikantongi,” ujar Dwi.
Tentu saja itu hanya berlaku bagi mereka yang punya duit kontan. Bagi yang pas-pasan, suku bunga tetap jadi masalah. Selama suku bunga masih tinggi, selama itu pula mereka harus menahan diri. Yani salah satunya.
Retno Sulistyowati, Iqbal Muhtarom, R.R. Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo