Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak krisis ekonomi global terhadap perbankan mulai terlihat di perbankan nasional. Anjloknya belanja masyarakat mengakibatkan roda industri melambat. Pada gilirannya, kemampuan banyak perusahaan membayar utang juga menurun. Itu tecermin dalam neraca perbankan pada triwulan pertama tahun ini. Rasio kredit seret atau non-performing loan (NPL) naik dari 3,8 persen pada akhir 2008 menjadi 4,5 persen pada Maret 2009.
Akibatnya, cadangan atau provisi yang mesti disisihkan perbankan meningkat. Bank Mandiri, misalnya, mesti mengalokasikan Rp 1,2 triliun karena kredit bermasalah (NPL gross)-nya naik menjadi 5,85 persen dibanding 5,14 persen pada triwulan pertama tahun lalu—NPL netto-nya 1,46 persen, naik dari posisi setahun lalu (1,31 persen). Bank BNI melakukan hal yang sama. Pencadangannya pada triwulan pertama tahun ini mencapai Rp 1,199 triliun untuk kredit seret 5,6 persen.
Persoalan ini memang tak mudah diselesaikan. Pencadangan yang meningkat bakal mengurangi kemampuan perbankan memberikan kredit. Ujung-ujungnya, kenaikan provisi itu akan menggerus laba. Satu-satunya cara adalah mengurangi kredit seret tersebut. ”Kami telah menagih utang bermasalah Rp 345 miliar untuk mengurangi pencadangan,” kata Pahala N. Mansyuri, Direktur Keuangan Bank Mandiri.
Direktur Pengelolaan Aset Khusus Mandiri Abdul Rahman menambahkan, penurunan kualitas kredit terutama terjadi pada debitor berbasis ekspor. Saat ini ada 130-an debitor yang masuk daftar pengawasan. Total pinjamannya sekitar Rp 12 triliun. Utang mereka memang belum masuk tahap restrukturisasi, tapi berpotensi menjadi kredit seret pada triwulan kedua tahun ini.
Bank BNI juga merestrukturisasi kredit empat debitor kakap pada Februari lalu. Pinjaman mereka mencapai Rp 1,8 triliun. Para debitor ini diminta menaikkan ekuitas dengan menjual aset, atau memperpanjang jatuh tempo dengan syarat ada tambahan jaminan. ”Kredit bermasalah di BNI justru di segmen menengah, dengan kredit Rp 10-100 miliar,” kata Direktur Utama BNI Gatot Suwondo. Rasio kredit seretnya saat ini 10 persen. Sebaliknya, kredit konsumtif, korporasi, dan usaha kecil hanya 3-4 persen.
Maka BNI akan memperketat aturan pengucuran kredit. Misalnya, compliance checklist dilakukan sebelum kredit direalisasi. Pola ini sebelumnya hanya dilakukan di segmen kredit korporasi. Divisi manajemen risiko juga harus memastikan risiko dan bagaimana mitigasinya sebelum kredit dicairkan, tak sekadar mengidentifikasinya. Pengawasan bahkan sudah dimulai begitu kredit masuk kategori dua (dalam perhatian khusus).
Direktur Biro Riset Infobank Eko B. Supriyanto mengatakan naiknya pencadangan merupakan sinyal buruk. Perekonomian yang kembang-kempis itu bisa membuat rasio kredit seret mencapai 6-8 persen tahun ini—di atas ambang batas 5 persen. Indikasinya jelas: pasar ekspor dunia menciut, dan konsumsi dalam negeri pun menurun. Akibatnya, dunia usaha mengurangi produksi, sehingga penjualannya ikut ambles.
Kepala Ekonom Danareksa Institute Purbaya Yudhi Sadewa melihat peningkatan tekanan terhadap perbankan dari banking pressure index, yaitu dari 0,8 menjadi 0,94. Padahal batas wajarnya sekitar 0,5. ”Kalau tidak hati-hati ditangani, kemungkinan terjadinya default perbankan secara sistemik meningkat,” ujarnya.
Penyebabnya, kata Yudhi, penyakit lama, yakni penumpukan dana pemerintah di Bank Indonesia. Tahun lalu, jumlahnya baru Rp 95 triliun. Eh, per Maret 2009 sudah melonjak menjadi Rp 170 triliun. Dana ini seharusnya dibelanjakan untuk menggerakkan sistem keuangan. Nyatanya, realisasi anggaran sangat minim. Dorongan terhadap perekonomian pun nyaris tak ada. Jika dibiarkan, ini akan menjadi lingkaran setan.
Retno Sulistyowati, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo