Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN kenes, sejumlah anggota staf Bank Pembangunan Asia (ADB) mengajak Sri Mulyani Indrawati berfoto ria. Tolakan halus Menteri Keuangan itu tak mempan. Akhirnya, ia pasrah dipotret di ruang Media Center, Bali International Convention Center, Senin pekan lalu. ”Buat di Facebook, Bu,” teriak seorang wartawan.
Selama hampir sepekan, Sri Mulyani menjadi tokoh utama Sidang Tahunan ke-42 Dewan Gubernur ADB di Nusa Dua, Bali. Dia tak hanya hadir dalam rapat-rapat dewan, tapi juga kerap memimpin sejumlah pertemuan bilateral. Ia sempat mengatakan kelelahan mengikuti ritme perhelatan itu.
Lelahnya terobati. Keputusan Dewan Gubernur ADB meningkatkan modal dari US$ 55 miliar menjadi US$ 165 miliar menjadi satu penawar. Dengan dana sebesar itu, negara-negara anggota dapat memperbesar pinjaman. Selain itu, ADB membentuk countercyclical support facility. Presiden ADB Haruhiko Kuroda mengatakan instrumen pendanaan itu khusus untuk menangani krisis di negara-negara berkembang.
Dengan dana mencapai US$ 3 miliar diharapkan belanja fiskal negara bersangkutan bisa ditingkatkan. Utang ini harus digunakan untuk proyek-proyek investasi seperti pembangunan infrastruktur. ”Saya yakin ini membantu ekonomi yang memburuk dan melindungi penduduk miskin dari dampak terburuk krisis,” kata Haruhiko.
Upaya menangkal dan mengantisipasi krisis lanjutan juga menjadi fokus ASEAN. Di sela-sela perhelatan yang dihadiri 60-an negara tersebut, sepuluh negara ASEAN bersama Jepang, Cina, dan Korea Selatan akhirnya menuntaskan Chiang Mai Initiative. Awalnya, konsep dana cadangan bersama ini digagas pada 2003 dengan nilai US$ 20 miliar. Oktober tahun lalu, jumlahnya ditingkatkan menjadi US$ 80 miliar dan US$ 120 miliar dalam pertemuan di Phuket, Thailand, Februari lalu.
Menurut Sri Mulyani, Chiang Mai Initiative merupakan kesepakatan paling penting dalam pertemuan di Nusa Dua itu. Saat di Phuket atau sidang lainnya, tiga negara tersebut begitu ngotot atas sejumlah klausul seperti jumlah kontribusi dan kekuatan pengambilan suara. ”Setiap kata dibahas,” katanya.
Dalam pertemuan di Bali itu akhirnya Jepang dan Cina sepakat menyumbang US$ 38,4 miliar; Korea US$ 19,2; Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand US$ 4,7 miliar. Total jenderal dengan negara ASEAN lainnya, dana yang terkumpul mencapai US$ 120 miliar. Menggunakan rumus 2,5 kali nilai kontribusi, Indonesia bisa mengakses pinjaman hingga US$ 11,9 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan dana patungan tadi hanya akan dikumpulkan jika salah satu negara meminta penarikan untuk memitigasi krisis likuiditas. Dengan catatan, satu negara boleh menolak permintaan negara lain.
Besarnya dana yang akan dikucurkan tersebut, kata Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin Indonesia Bambang Soesatyo, memicu sentimen positif. Sayangnya, kebijakan dan teori yang bagus ini kerap amburadul saat pelaksanaan. Misalnya, karena salah sasaran. Selain itu, dana ini sering menjadi begitu mahal. ”Sehingga efektivitas ke pengusaha tidak ada,” kata Bambang.
Apalagi bila dana itu baru mengucur di akhir tahun, banyak industri yang akan tumbang. ”Napas ekonomi kita tidak sepanjang itu,” katanya. Maka Kadin mengusulkan pemerintah lebih fokus membuat kebijakan yang aplikatif, seperti percepatan realisasi stimulus ekonomi yang mencapai Rp 73 triliun. Atau, menciptakan dana murah dalam negeri dengan menekan suku bunga kredit.
Ekonom Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, sepakat. Lembaga-lembaga dunia seperti ADB hanya efektif memberi sinyal bahwa dunia memiliki komitmen memerangi krisis global. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan fiskal di sektor riil dapat diambil dari triliunan dana stimulus yang dialokasikan untuk keringanan pajak. Pemerintah juga harus memperbaiki kinerja penyerapan anggaran. Belanja fiskal yang selama ini terlaksana pada kuartal ketiga dan keempat mesti dipercepat di awal tahun. ”Ini menggerakkan sektor riil,” kata Erani.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo