I Left My Heart in San Francisco, inilah judul lagu mendayu-dayu yang, kendati nadanya sulit, dinyanyikan dengan pas oleh Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Rabu malam pekan lalu di Nusa Dua, Bali. Rupa-rupanya, hanya dalam pesta kecil dengan staf, beberapa polisi dan pecalang yang membantu pengamanan sidang, ia bisa santai, bernyanyi dan tertawa. Dan itu dimungkinkan karena empat jam sebelumnya lembaga kreditor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) menyetujui pinjaman US 2,7 miliar kepada Indonesia.
Tapi, sebelum pinjaman disetujui, raut wajah Djatun?begitu ia biasa disapa? selalu tertekuk dengan bibir terkatup. Begitu pula ketika bernegosiasi soal penjadwalan ulang utang luar negeri di forum Paris Club. Katanya, negosiasi Paris Club ketiga di Paris berlangsung dua hari tanpa henti, dari pukul 9 pagi hari Kamis sampai Jumat pukul 3 sore. "Tidak ada yang tidur," ia mengenang. Malam hari setelah persetujuan dicapai, Dorodjatun tak bisa memicingkan mata. Pria yang suka membaca ini akhirnya melewatkan detik-detik tengah malam dengan berjalan kaki selama dua jam.
Toh, setelah mendapat pinjaman baru, ia masih harus menyelesaikan agenda berikutnya dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Setelah itu, barulah ekonom yang pernah menjadi penyiar lagu-lagu jazz di Radio Prambors tahun 1970-an ini berkonsentrasi dengan anggaran belanja tahun 2003.
Lulus program doktor dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada 1980, Dorodjatun, yang menjabat Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada tahun 1989 juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Telekomunikasi Nasional. Terakhir ia menjadi duta besar di Amerika Serikat, sebelum ditunjuk oleh Presiden Megawati sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Gotong Royong.
Kepada Leanika Tanjung dari Majalah TEMPO, Dorodjatun menjelaskan banyak hal, antara lain tentang perundingan Indonesia dan CGI dan anggaran tahun 2004. Ia tampak lelah dengan segunung persoalan ekonomi, dan perlu istirahat. "Tapi situasi tidak mengizinkan," katanya, menghela napas. Berikut petikannya.
Benarkah CGI memberi pinjaman US$ 2,7 miliar, padahal Indonesia hanya perlu US$ 2,65 miliar?
Sebenarnya yang kita minta rentangnya US$ 2,4 miliar-2,8 miliar. Mereka memberikan US$ 2,7 miliar. Ini yang terkecil yang pernah kita terima selama masa krisis.
Apakah itu sudah termasuk dana tambahan karena
ditundanya subsidi solar?
Kita sudah menghitung semuanya. Meski demikian, tahun ini kita terpaksa menggunakan dana kontinjensi. Premium tidak bisa diturunkan karena itu bukan untuk rakyat kebanyakan. Kalau solar, bisalah turun. Minyak tanah juga harus disubsidi.
Anggaran 2003 bisa diasumsikan sudah aman, tapi bagaimana anggaran 2004? Bukankah pemerintah menginginkan defisit di bawah 1 persen, sementara kontrak dengan IMF sudah selesai, sehingga tidak ada lagi forum Paris dan London Club untuk penjadwalan utang?
Kita akan meningkatkan penerimaan dalam negeri dan menekan pengeluaran. Sementara sebelumnya terfokus ke makro, sekarang kita banting setir ke mikro. Pajak akan digenjot dengan meningkatkan rasio pajak. NPWP yang tidur akan dibangunkan. Pengeluaran ditekan dengan efisiensi.
Apakah bisa dirinci lebih dalam lagi?
Banyak yang harus dilakukan. Penggunaan listrik harus dihemat. Mobil? Apa perlu mobil mewah? Saya tidak merasa berdosa, karena Volvo yang saya pakai bekas menteri lain. Banyak yang bisa dihemat, yang duitnya bisa digunakan untuk menaikkan gaji.
Apakah perlu gerakan penghematan besar-besaran?
Sejak kapan kita tidak mengadakan gerakan hidup sederhana, sudah setua usia pemerintah Indonesia. Kenapa selalu lolos, karena subsidi bisa dinikmati semua orang. Bayangkan, subsidi buat orang kaya bayar bensin di zaman Soeharto, sampai-sampai harga BBM lebih murah dari harga air mineral. Hebat kita.
Kalau dari sisi pemerintah, apa yang bisa dilakukan?
Ada tim investasi dan ekspor. Pelabuhan harus bekerja lebih baik. Perusahaan harus efisien. Kita akan terfokus ke mikro. Kelemahan di sini umumnya karena banyak perusahaan milik keluarga sehingga efisiensi tidak ada, apalagi terus dibantu subsidi pemerintah.
Paris Club III berhasil menjadwal ulang utang US$ 3
miliar untuk tahun 2004 ketika forum ini tak ada lagi.
Berapa utang yang harus dibayar?
Sedang dihitung. Mungkin yang harus dikembalikan akhir 2003 sekitar US$ 9 miliar.
Berarti pemerintah harus benar-benar bekerja keras di semua lini?
Ya, kita harus tertib agar mampu memenuhi kewajiban dan defisit anggaran di bawah satu persen. Saya bekerja keras dengan teman-teman di kabinet supaya itu terpenuhi. Tentunya defisit nol persen tidak bisa dicapai tahun 2004. Masih di bawah satu persenlah. Tahun 2005 akan ditentukan oleh pemerintah baru. Karena dipilih langsung oleh rakyat, dia yang akan menentukan perjalanan lebih lanjut. Tapi uang IMF harus dikembalikan. Uang Bank Dunia dan ADB tidak boleh terlambat dibayar bunga dan amortisasinya. Seluruh dana yang menjadi hak Indonesia sudah ditarik dari IMF. Dan itu berarti tak ada lagi pinjaman baru dari lembaga ini.
Apakah Indonesia bisa membangun, terutama infrastruktur, tanpa pinjaman dari lembaga itu?
Setiap tahun ada 2,5 juta pencari kerja baru. Kalau ekonomi tumbuh 7-8 persen, itu bisa terserap habis. Tapi, kalau cuma 3-4 persen, cuma 1,2 juta tiap tahunnya. Anda mau dalam keadaan seperti tadi, ya, kita berwacana terus. Sudah empat tahun kita begini. Kita harus bekerja keras kalau tidak mau lagi dengan apa yang Anda sebut ketergantungan. Saya juga bingung dengan sebutan ketergantungan. Ketergantungan apa? Wong kita dikasih bunga lebih rendah dari pasar komersial. Orang mau menolong kok dimarahi. Tidak mengerti saya.
Berarti kerja sama dengan IMF selama ini adalah pertolongan bagi Indonesia?
Kita sudah menjadi anggota Dana Moneter Internasional sejak pengakuan kemerdekaan. Kita dipungut iuran tiap tahunnya, seperti juga 180-an negara lain yang menjadi anggota IMF. Iuran itu bisa ditarik melalui apa yang disebut special drawing right atau hak menarik khusus, kalau ada permasalahan dengan neraca. Disebut khusus karena setiap negara ada kuotanya. Amerika Serikat terakhir mendapat jatah US$ 29 miliar, sedangkan kita US$ 2 miliar. Jadi, yang kita ambil adalah jatah kita sendiri.
Berapa yang sudah ditarik Indonesia?
Sudah empat kali kuota. Dan mendapat empat kali kuota itu tidak mudah. Argentina dan Brasil sulit mendapat lebih dari satu kali kuota. Uangnya memang uang kita, tapi harus disetujui semua negara. Ini semacam arisan yang diberikan lewat rapat 23 anggota eksekutif. Dan di IMF, Indonesia sekarang diwakili Sri Mulyani. IMF mempunyai konstitusi yang mengatakan semua negara yang menarik lebih dari kuotanya harus melakukan pengembalian utang dalam kerja sama dengan IMF. Untuk itu, ada jangka waktunya, ada protokolernya. Jadi, yang habis akhir tahun ini adalah hak Indonesia untuk menarik. Bukan putus. Kalau putus bisa malapetaka.
Malapetakanya di mana?
Dengan peringkat CCC, sulit mencari pinjaman dengan bunga rendah. IMF, Bank Dunia, dan ADB memberikan dengan bunga 1-4 persen. Kita menuduh IMF mendikte. Saya bingung di mana mendiktenya. Pada waktu kita menjadi anggota IMF, di konstitusinya disebutkan soal yang ada dalam LoI. Semua ada di situ dan konsekuensi kita mengikutinya karena mempergunakan duit arisan tadi. Dulu dimulai oleh Menko Ginandjar, kemudian Kwik Kian Gie. Apa tidak baca konstitusinya? Kita bukan didikte, tapi memang begitu konstitusinya.
Ketika pemerintah mengeluarkan T-bond, benarkah terjadi kelebihan permintaan?
Betul, tapi karena ada yang menjadi penjamin solvency, yaitu IMF, dan CGI yang menjaga likuiditas. Sekarang tugas kita mengubah agar solvency yang didukung IMF dan likuiditas yang dibantu CGI bisa memberikan keuntungan (profitability) buat kita. Sampai sekarang profitability itu belum kembali. CAR bank tidak bisa naik di atas 10. NPL juga tak turun. Sektor riil belum merasakan kenikmatan.
Apakah karena pengelolaannya tidak becus?
Ini yang saya katakan, kita ini aneh. Hal ini diwacanakan karena ketidakbecusan dalam negeri. Padahal, sesudah peristiwa WTC, ekonomi dunia merayap. Lalu ada kasus Enron, World Com. Waktu saya jadi duta besar di Amerika Serikat, IHSG sekitar 11.000 poin. Sekarang tinggal 8.000 poin. Saya sedih kalau organisasi internasional yang kita andalkan saat krisis kita marahi dan sumpahi. Padahal kewajiban dia untuk menolong kita, karena kita punya hak. Tapi kita merasa didikte. Dan kreditor dianggap hanya mementingkan kepentingan sendiri. Di sinilah harus kita tes betul. Misalnya lewat Paris dan London Club, dengan jaminan solvency dari IMF dan likuiditas dari CGI, kreditor bersedia menjadwal ulang.
Apakah Paris Club tidak akan ada, sehubungan habisnya dana pinjaman dari IMF?
Kita berusaha untuk tidak lagi. Tetapi namanya juga niat, itu kan pada akhirnya harus diukur dari hasilnya. Niat kita menstabilkan makro, maka yang harus diukur adalah apakah betul inflasi rendah dan kurs stabil. Kita punya niat dan tekad, program IMF kita selesaikan akhir tahun karena itu amanat. APBN juga mengatakan hanya menarik sisa dana yang sempat tertunda waktu masa Menko Rizal Ramli.
Pembangunan berikutnya akan terfokus ke mikro. Apakah tantangannya akan berat sekali?
Ya, kita akan berusaha mengundang sebanyak mungkin investor karena sudah terjadi krisis investasi di Indonesia. Laju pertumbuhan investasi dunia memang tidak naik. Banyak yang berpikir, lebih baik memegang duit kontan dan emas. Kalaupun masuk ke saham, mereka selalu masuk ke perusahaan yang sudah berdiri dan bagus.
Lalu, apa yang akan dikerjakan pemerintah selanjutnya?
Saya anggap kritik CGI betul. Korupsi harus diberantas, dan harus memperbaiki daya serap dana. Selain itu, memberi kepastian hukum. Keteledoran pemerintah dulu adalah ngomong tinggi soal kandungan lokal. Ternyata cuma beberapa mobil yang kandungan lokalnya naik. Yang lain, kaca spion saja tidak bisa bikin. Akhirnya investor mengkonsolidasi usaha ke negara yang industri suku cadang dan komponennya sudah muncul, seperti Thailand. Untuk elektronik, Malaysia termasuk dalam lima negara besar penghasil chip. Kita sendiri lebih banyak berandai-andai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini