Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Operator di Blok Corridor

Setelah memperpanjang kontrak wilayah kerja Corridor, pemerintah masih melibatkan operator lama. Nilai dalam proposal yang diajukan Pertamina paling rendah.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum genap sepekan setelah pemerintah memperpanjang kontrak kerja sama pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas Corridor di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, penolakan atas keputusan itu bermunculan. Salah satunya dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), yang mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat, 26 Juli lalu. Mereka mempersoalkan kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Blok Corridor, yang dinilai kurang memprioritaskan PT Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas milik negara.

“Seharusnya Pertamina bisa memiliki 100 persen,” kata Presiden FSPPB Arie Gumilar, Kamis, 25 Juli lalu. Dalam kontrak perpanjangan, yang akan berlaku 20 tahun mulai Desember 2023, Pertamina mendapat bagian 30 persen, meningkat dibanding hak partisipasi pada periode kontrak saat ini yang hanya 10 persen.

Adapun hak partisipasi operator Blok Corridor saat ini, ConocoPhillips (Grissik) Ltd, yang sekarang mengendalikan 54 persen, akan turun menjadi 46 persen. Sisanya, Talisman (Corridor) Ltd atau Repsol, yang sekarang memegang 36 persen, nantinya menggembol 24 persen. Pembagian itu belum mencakup alokasi 10 persen yang akan ditawarkan kepada badan usaha milik daerah. Kontrak bagi hasil yang semula menggunakan konsep cost recovery selanjutnya memakai skema gross split.

Surat keputusan tentang persetujuan perpanjangan dan penetapan bentuk serta ketentuan-ketentuan pokok kontrak kerja sama Blok Corridor diteken Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan pada Senin, 22 Juli lalu. Pemerintah mempertimbangkan investasi atas pelaksanaan komitmen kerja pasti pada lima tahun pertama senilai US$ 250 juta (sekitar Rp 3,5 triliun). Penerimaan negara dari bonus tanda tangan (signature bonus) yang disodorkan konsorsium sebesar US$ 250 juta. “Tidak ada yang melebihinya,” kata Jonan dalam keterangan tertulis.

Dwi Soetjipto/ Dok.TEMPO/Aditia Noviansyah

Jonan menambahkan, ketiganya sepakat operator tetap dipegang ConocoPhillips hingga Desember 2026. “Selanjutnya, ConocoPhillips akan menyerahkannya kepada Pertamina. Mereka bertiga akan tetap memegang Blok Corridor hingga 2043.”

Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, periode transisi sebaiknya melibatkan operator lama. “Tidak harus menjadi operator, tapi paling tidak memiliki interest,” tutur Dwi, Selasa, 30 Juli lalu. Dengan begitu, ia melanjutkan, masa transisi akan berlangsung mulus. Ia membandingkannya dengan masa transisi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur, yang kurang bagus.

Pengelola wilayah kerja Mahakam sebelumnya, Total E&P Indonesie, tidak hanya tak mendapat perpanjangan kontrak, tapi juga tidak dilibatkan dalam pengelolaan ladang gas itu. Walhasil, produksinya yang pernah mencapai 1.711 juta kaki kubik per hari (MMSCFD)—ketika ditangani Total—kini jeblok menjadi sekitar 660 juta kaki kubik per hari.

Karena itu, Dwi menambahkan, kondisi teranyar wilayah kerja menjadi salah satu pertimbangan. Ia menegaskan, untuk mempertahankan produksi serta lifting minyak dan gas nasional, peralihan kemudi blok-blok migas harus berjalan baik. Ia mengapresiasi ConocoPhillips, yang bersedia menyerahkan tongkat estafet operator Blok Corridor kepada Pertamina nantinya.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Kardaya Warnika, justru mempertanyakan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap wilayah kerja migas terminasi. Ia membandingkan keputusan Kementerian Energi di Blok Mahakam tidak memperpanjang kontrak Total E&P dan lantas menyerahkannya kepada Pertamina. Juga kebijakan pemerintah tak memperpanjang kontrak Chevron di Blok Rokan. “Inkonsistensi ini menimbulkan ketidakpastian bagi investor,” ujarnya.

Potensi sumber daya dan cadangan Blok Corridor yang seksi membuat wilayah kerja ini menjadi incaran. Wood Mackenzie mencatat penemuan gas yang signifikan pertama kali terjadi pada 1990. Cadangan gas yang cukup melimpah dan telah terbukti tersebar di Corridor, khususnya di lapangan Suban. Wilayah kerja ini menjadi salah satu sumber pasokan gas utama Indonesia.

Berdasarkan data SKK Migas, cadangan gas wilayah kerja Corridor sebanyak 2,94 triliun kaki kubik per Januari 2018. Jumlah itu akan berkurang sebesar 1,83 triliun kaki kubik sepanjang periode produksi hingga 2023. Artinya, cadangan yang tersisa tinggal 1,11 triliun kaki kubik. “Kalau transisi tak berjalan baik, produksinya bisa turun,” Dwi Soetjipto menjelaskan.

Blok Corridor meliputi dua area penghasil minyak, yakni Suban Baru dan Rawa. Tujuh lapangan penghasil gas tersebar di sana dengan area utama Suban, Sumpal, dan Dayung. Total luas wilayah kerja ini 2.905,29 kilometer persegi, meliputi area daratan (onshore).

Para pemegang participating interest masih tertarik mengelola Blok Corridor, termasuk ConocoPhillips dan Pertamina. Maka pemerintah mempersilakan mereka menyampaikan proposal, baik sendiri-sendiri maupun dalam bentuk konsorsium.

Sejumlah pejabat bercerita, penawaran yang disampaikan setiap perusahaan tak memberikan keuntungan optimal bagi negara. Nilai dalam proposal Pertamina bahkan paling rendah dibanding ConocoPhillips dan Repsol, terutama nilai bonus tanda tangan, yang jauh di bawah US$ 100 juta. ConocoPhillips dan Repsol menawarkan bonus tanda tangan lebih dari US$ 100 juta.

Dwi enggan merinci proposal ketiga perusahaan. Tapi ia tak menampik informasi bahwa penawaran Pertamina paling rendah. Ia menjelaskan, dalam lelang tersebut, aspek yang dinilai antara lain nilai bonus tanda tangan dan komitmen kerja pasti bagi pemasukan negara.

Sempat pula muncul proposal duet ConocoPhillips dan Repsol. Tapi akhirnya ketiga perusahaan berunding untuk membuat proposal bersama alias berkonsorsium. Pemerintah menilai penawaran konsorsium jauh lebih menarik dengan bonus tanda tangan dan komitmen kerja pasti masing-masing US$ 250 juta. Termasuk dalam persentase kepemilikan baru dan pembagian hak pengoperasian (operatorship).

Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Arie Gumilar membenarkan kabar bahwa Pertamina sempat menyampaikan proposal pengelolaan Blok Corridor. Penawaran diajukan melalui anak perusahaan, yakni PT Pertamina Hulu Energi Corridor, sekitar Agustus 2018. Arie menjelaskan, induk perusahaan menugasi Pertamina Hulu Energi (PHE) mengakuisisi blok-blok migas yang masa kontraknya akan habis. Misalnya wilayah kerja Offshore North West Java oleh PHE Offshore North West Java dan West Madura Offshore oleh PHE West Madura Offshore. “Kecuali Blok Mahakam dan Blok Rokan, langsung oleh Pertamina pusat, karena sangat besar.”

Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Meidawati mengaku tak mengetahui hal itu. “Itu urusan Pertamina pusat,” ujarnya di sela pemaparan penanganan tumpahan minyak di laut utara Jawa, di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis, 1 Agustus lalu. Adapun Direktur Hulu Pertamina Dharmawan Samsu tak menjawab pertanyaan Tempo. Begitu pula juru bicara ConocoPhillips Indonesia, Diarmila Sutedja.

President & General Manager ConocoPhillips Bij Agarwal mengatakan perusahaannya akan terus mencari peluang untuk menciptakan nilai bagi pemerintah Indonesia. “Di Blok Corridor, kami mengevaluasi potensi sumur baru, terus menggarap sumur yang ada, dan mengembangkan proyek optimisasi fasilitas,” ucapnya dalam keterangan di situs resmi perusahaan.

Juru bicara Pertamina, Fajriyah Usman, menyambut baik meningkatnya hak partisipasi bagi Pertamina. “Kami percaya pemerintah telah mempertimbangkan yang baik bagi semua pihak,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 29 Juli lalu.

Selanjutnya, Pertamina akan menyiapkan strategi untuk menjadi operator. Perusahaan berencana mengintegrasikannya dengan Blok Rokan, yang akan dikelola mulai 2021, dan kilang Dumai di Riau.

Menjaga Produksi di Masa Transisi

RETNO SULISTYOWATI, EKO WAHYUDI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus