Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menyoroti dampak kasus dugaan korupsi impor minyak mentah yang menyeret tujuh tersangka, termasuk empat orang dari Pertamina. Ia menilai kasus ini berpotensi mempengaruhi harga BBM bersubsidi serta tata kelola energi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komaidi menjelaskan harga minyak di pasar bersifat dinamis, dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Namun, jika memang terjadi markup dalam impor minyak, maka dampaknya bukan hanya pada harga BBM subsidi, tetapi juga pada alokasi anggaran yang dikeluarkan oleh negara. “Apakah ini melanggar SOP atau ada keuntungan harga yang lebih murah, itu yang perlu ditelusuri,” ujarnya saat dihubungi Selasa malam, 25 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Komaidi, meskipun kasus ini muncul ke permukaan, mekanisme penjualan minyak antara pihak swasta dan BUMN, khususnya Pertamina, tidak akan terganggu selama prosedur dan regulasi tetap dijalankan dengan baik. “Ini bukan berarti sistemnya yang salah, tetapi ada kemungkinan prosedur yang dilanggar,” katanya.
Maka dari itu, dampak kasus ini terhadap daya beli masyarakat cenderung minim. Menurutnya, faktor lain seperti inflasi dan kebijakan subsidi pemerintah lebih berpengaruh terhadap stabilitas harga BBM di pasar. “Kalau bicara soal daya beli, seharusnya tidak ada dampak langsung karena harga minyak dunia juga tidak bisa dikontrol oleh Indonesia sendiri,” tuturnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa dalam bisnis energi, khususnya impor minyak, harga yang diperoleh bisa bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi pasar global. “Seperti halnya membeli beras di pasar, harga bisa berbeda-beda meskipun kualitasnya sama,” katanya.
Potensi Korupsi dalam Bisnis Energi
Komaidi berpendapat bahwa dalam bisnis apapun, potensi penyimpangan selalu ada, terutama dalam sektor yang melibatkan impor dalam jumlah besar. “Bukan hanya di Pertamina, dalam impor beras atau komoditas lain pun ada risiko yang sama,” katanya.
Menurutnya, faktor transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam mengelola bisnis energi agar terhindar dari penyimpangan. “Yang penting adalah memastikan bahwa regulasi ditegakkan dengan baik dan ada mekanisme pengawasan yang efektif,” ujarnya.
Ia menilai, publik tidak terburu-buru menyimpulkan sebelum ada hasil resmi dari proses yang berlangsung. “Jika dalam penyelidikan ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka sudah seharusnya prosesnya ditegakkan. Namun, jika ternyata bisnis berjalan sesuai prosedur, maka itu harus dipulihkan,” tegasnya. “Kita tunggu saja prosesnya, agar kejelasan bisa diperoleh,” katanya.