Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dugaan Pertamax Dicampur Pertalite, LBH Jakarta: Masyarakat Berhak Mendapat Kompensasi

LBH Jakarta menilai masyarakat berhak mendapat kompensasi dari Pertamina terkait kasus Pertamax dicampur Pertalite.

28 Februari 2025 | 20.49 WIB

Sejumlah kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU Jakarta. Pertamina. Dok. Pertamina
Perbesar
Sejumlah kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU Jakarta. Pertamina. Dok. Pertamina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai masyarakat berhak mendapat kompensasi dari kasus dugaan korupsi bahan bakar minyak (BBM) di lingkungan PT Pertamina (Persero). Sebab, dalam kasus tersebut ada dugaan pencampuran atau pengoplosan dalam BBM jenis Pertamax.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika dugaan tersebut benar terjadi, Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan konsumen Pertamina punya hak menuntut ganti rugi. "Masyarakat berhak untuk mendapatkan pemulihan, mulai dari ganti rugi hingga kompensasi," kata Fadhil di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat, 28 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fadhil, seharusnya tidak ada perbedaan kualitas dalam produk yang masyarakat beli. "Yang mana itu seharusnya dijamin kualitasnya dan dijamin penyediaannya bagi masyarakat," ucap dia.

Fadhil menyoroti kemungkinan dampak serta kerugian yang dialami warga sebagai konsumen utama BBM. Maka dari itu, dia menyatakan warga memiliki hak untuk mengambil langkah hukum jika pengoplosan memang benar terjadi. "Untuk mendapatkan pemulihan dan menjamin kejadian serupa tidak lagi terjadi di masa depan," ujar Fadhil.

Saat ini, LBH Jakarta membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat adanya dugaan Pertamax oplosan ini. Hingga 28 Februari 2025, sudah ada setidaknya 426 laporan yang LBH Jakarta terima.

Dugaan Pertamax oplosan mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak. Ada sejumlah petinggi Pertamina yang menjadi tersangka. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga. Selain itu, ada juga Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.

Para tersangka korupsi Pertamina ini diduga melakukan blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka diduga membeli RON 90 atau lebih rendah, namun mengaku membeli RON 92. Kemudian RON 90 itu dioplos atau blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.

Pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.

“Baik yang dari luar negeri maupun yang dari dalam negeri, itu kita sudah menerima dalam bentuk RON 92. Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel, artinya belum ada aditif. Jadi Pertamina Patra Niaga itu mengelola dari terminal sampai ke SPBU,” ujar Mars Ega, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, pada Rabu 26 Februari 2025.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus