Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ketika Sekolah Tak Lagi Mengasyikkan

Bersekolah di rumah mulai menjadi pilihan anak-anak. Pemerintah belum menggodok standardisasi sistem sekolah rumahan.

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari di bulan Desember 2002. Seto Mulyadi duduk tercenung di ruang tengah rumahnya. Psikolog yang mengkhususkan diri di psikologi anakanak itu tengah mendengarkan penuturan Eka Putri Duta Sari, 14 tahun, putri sulungnya. Kepada sang ayah, siswa kelas tiga Sekolah Menengah Pertama Global Jaya, Bintaro, ini mengatakan enggan pergi ke sekolah.

Padahal, dalam hitungan bulan, Minuk—begitu temantemannya biasa memanggil Eka—harus bersiap mengikuti ujian akhir. Minuk merasa suasana sekolahnya tak lagi asyik. Kurikulum sekolah dirasanya berat, aturan sekolah terasa kaku. Cara guru memberi sanksi pada murid masih menggunakan pendekatan fisik. Minuk merasa menjadi robot. ”Seumur kita masih ada yang dijewer, dilempar kapur, ” kata Minuk.

Gadis remaja itu juga merasa sering berselisih pandangan dengan gurugurunya. Minuk merasa permainan pianonya bagus. Bakat keseniannya juga ia rasakan menonjol di bidang puisi dan menulis. Tapi di rapor, nilainya untuk pelajaran kesenian merah membara. Minuk tak puas.

Maka, di ruang tengah rumah yang asri di kawasan Cirendeu, Tangerang, ayah dan anak itu berembuk. Melalui diskusi panjang, Minuk akhirnya menyimpulkan: ”Belajar bisa di mana saja, dengan apa saja.” Untuk itu ia memutuskan untuk bersekolah di rumah.

Minuk beruntung, kedua orang tuanya yang psikolog menyokong keputusannya bersekolah di rumah (home schooling). Waktu belajar disusun bersama sesuai dengan kesepakatan. Kurikulum tak jadi soal. Seto yang kebetulan juga anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) memakai kurikulum nasional, meski dimodifikasi menurut kepentingan anak.

”Yang penting memenuhi prinsip dasar kurikulum, yaitu etika, moral, estetika, jasmani, nasionalisme dan kewarganegaraan serta iptek,” ujar Seto. Sejumlah guru untuk semua mata pelajaran didatangkan ke rumah. Kecuali materi nasionalisme dan kewarganegaraan. Untuk materi ini, doktor psikologi jebolan Universitas Indonesia ini punya jurus tertentu menggembleng sang anak.

Saat Seto bertugas ke daerah sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Minuk diajaknya serta. Ia dikenalkan dan diajak tinggal bersama anakanak dalam pengungsian di Aceh, Papua, dan Maluku. ”Inilah pelajaran kewarganegaraan yang amat efektif ketimbang sekadar menghafal namanama menteri,” katanya. Jurus itu ampuh. Minuk menjadi lebih peka terhadap lingkungan.

Bagaimana dengan ujian kelulusan? Minuk tak mau ketinggalan. Melalui sebuah lembaga pendidikan di Jakarta Selatan, Minuk ikut ujian Kelompok Belajar Paket B (setingkat SMP). Ia berhasil lulus dan mendapat sertifikat.

Ketika kini temantemannya sibuk menyiapkan ujian nasional Sekolah Menengah Atas, Minuk sudah disibukkan mencari tempat kuliah. November tahun lalu, ia sudah lulus ujian Kejar Paket C (setingkat Sekolah Menengah Atas). ”Saya lagi bingung, mau masuk jurusan desain atau psikologi seperti ayah,” ujarnya.

Keberhasilan sang kakak belajar sendiri di rumah membuat dua adiknya tergiur mengikuti. Demi anakanak, Deviana, sang ibu, akhirnya memutuskan tinggal di rumah untuk mengawasi mereka. Dari empat bersaudara, hanya yang nomor dua masih tetap bertahan belajar di sekolah umum. ”Saya tak memaksa. Itu hak anak yang harus dihargai,” kata Seto.

Memilih bersekolah di rumah juga dilakukan Nur Hamdi Muhammad, 10 tahun, anak bungsu pendongeng asal Yogyakarta, Wees Ibnu Sayy alias Wahidus Sururi. Hamdi yang sering diajak manggung itu menolak masuk Sekolah Dasar begitu lulus Taman Kanakkanak. Ia tak mau seperti kakaknya, Andi Maya Nafisa Nur, yang sering tertidur di meja belajar garagara terlalu capek mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah (PR) setiap hari.

Berundinglah Wees dengan istrinya, Lusiana Sabariah. Pasangan pendiri Rumah Dongeng Indonesia itu akhirnya memilih mengajari Hamdi di rumah dengan metode yang mereka rancang. Anak diberi kesempatan mengajukan usul soal apa yang ia minati.

Dalam bahasa Wees, anak dilibatkan dalam membuat kurikulum. ”Mau pelajaran apa saja, ia harus usul. Mau materi apa? Belanja, bercocok tanam, memasak, kerajinan tangan?” kata Wees. Tapi materi dasar seperti membaca, berhitung, dan menulis tetap wajib dilakukan.

Tempat belajar pun bebas. Bisa di sawah, pasar atau di mana saja. Yang penting anak diajak bernalar dengan gembira, tapi tetap bertanggung jawab. Contohnya tentang waktu belajar. Anak menyusun jadwal belajar dan pelajaran yang diminati dan harus melaksanakan apa yang telah mereka susun sendiri. Dengan begitu, tak ada alasan anak menolak karena ia sendiri yang menyusun.

Hampir empat tahun melakoni sekolah di rumah, Hamdi mengaku belajar banyak hal dari apa yang ia lihat, dengar, serta diskusikan. Mulai dari menghitung telur ayam di kandang belakang rumahnya, sampai jumlah cabai yang berbuah di pohon setiap minggu. Di kala senggang, ia masih menyisakan waktu bermain bola dengan kawankawannya.

Setahun terakhir ini Hamdi memilih belajar menggambar. Juga menulis, berpuisi, belajar komputer, membaca skenario, dan membuat sekuel fotografi. ”Saya ingin jadi seniman atau sutradara.” Apakah benarbenar tak berminat sekolah atau kuliah dan memperoleh ijazah? ”Kuliah nanti. Tapi emoh di Indonesia, di luar negeri saja,” ujarnya.

Sekolah di rumah bagi anak yang dipilih kedua keluarga ini sebenarnya bukan ”barang baru” di Indonesia. Sejumlah tokoh nasional dan tokoh pendidikan di Indonesia adalah produk home schooling. Contohnya Haji Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, dan Buya Hamka. ”Meski tak pernah mengenyam sekolah formal, para tokoh itu telah meneruskan pendidikan itu di rumah,” kata Direktur Pendidikan Kesetaraan Ella Yullaelawati.

Dalam empat tahun terakhir, sistem ini kembali diminati. Secara konseptual, menurut Pengamat Pendidikan Anita Lie dari Universitas Widya Mandala Surabaya, ketidakpercayaan atas sekolah formal muncul karena sejumlah alasan. Misalnya kurikulum yang terus berubah dan memberatkan anak, atau sistem belajar sekolah formal yang cenderung menganggap anak sebagai obyek, bukan subyek.

Seto mengakui kondisi itu. Menurut dia, sistem pembelajaran sekolah formal membuat anak bagai robot dan memasung kreativitas serta berbagai bentuk kecerdasan emosi, moral, dan spiritual anak. Ia menganggap pilihan sekolah di rumah adalah jalan pendidikan alternatif yang positif bagi anak.

Kunci keberhasilan sistem sekolah di rumah adalah kesungguhan dan kerja ekstra keras dari orang tua. ”Jika setengahsetengah, kasihan anaknya,” kata Seto. Apalagi, basis utama sistem ini adalah upaya melindungi dan mengembangkan hak dan kompetensi anak.

Praktisi pendidikan Arief Rachman mengingatkan kesungguhan orang tua justru bisa menjadi kelemahan. Soalnya, tak ada mekanisme kontrol mengukur kesungguhan itu dalam menjalankan pendidikan di rumah.

Ia juga mengkhawatirkan kematangan jiwa anak yang tak terasah karena jarangnya proses sosialisasi. ”Mau tidak mau, harus ada proses sosialisasi dan pertemuan dengan sekolah formal,” ujarnya. Menurut dia, hal ini susah dilakukan karena pendekatan sekolah rumahan lebih bersifat individual dan kasuistis.

Toh, sejumlah lembaga tetap maju dengan menyediakan konsep sekolah rumahan dengan modul dan kurikulum sendiri yang berbeda dengan kurikulum nasional. Beberapa di antaranya berafiliasi dengan badan di luar negeri, contohnya Morning Star Academy.

Lembaga yang didirikan September 2002 itu kini telah memiliki 400 murid. Seratus di antaranya anakanak. Selain membantu mencarikan bahan bagi orang tua, mereka memberikan tutorial bagi siswa tiga kali dalam sepekan.

Ada pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Mekanika (PKBM). Anggotanya sudah ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan saja ada sekitar 15 lembaga dengan jumlah siswa hampir seribu orang.

Sasarannya sebenarnya orang kurang mampu, tapi belakangan orang berada juga mendaftar di sini. ”Termasuk para artis,” kata Ignatius Doni R. Moningka, Sekretaris dan Penanggung Jawab PKBM. Di lembaga ini, jadwal belajar ditetapkan bersama. Yang penting tatap muka minimal 5 x 3 jam per minggu. Mereka menggunakan kurikulum nasional melalui sistem modul. Atau, bisa juga mendatangkan tutor ke rumah.

Kendati tergolong baru, kualitas produk sekolah rumahan ternyata cukup memuaskan. ”Umumnya bahasa Inggris mereka sangat bagus,” ujar Ella.

Repotnya, pemerintah belum menggodok standardisasi sistem sekolah rumahan. Padahal, UU Sistem Pendidikan Nasional mengakuinya. Belakangan, pemerintah berusaha memberikan ijazah bagi mereka. Caranya dengan mengkategorikan sekolah rumahan itu sebagai kelompok belajar sehingga pelaksanaan ujian dapat disinergikan dengan pendidikan nonformal.

Adapun untuk pelaksanaan ujian, menurut Ella, harus terdaftar dan akan menjadi bimbingan seleksi dan penyelenggaraan dari dinas kependidikan. ”Agar tak terjadi praktek jualbeli ijazah atau lulusnya siswa yang tidak kompeten.”

Widiarsi Agustina, M. Reza Maulana, Nuraini, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus