Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ekonom Bright Institute Ungkap Risiko Bank Indonesia yang Borong SBN Rp150 Triliun Tahun Depan

Kementerian Keuangan akan menerbitkan SBN pada 2025.

27 Desember 2024 | 05.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Surat Berharga Negara (SBN). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp/pri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) bakal memborong surat berharga negara (SBN) sekitar Rp150 triliun tahun depan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan rencana tersebut sudah menjadi kesepakatan antara dirinya dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada pengumuman hasil rapat dewan gubernur 18 Desember 2024 lalu, Perry memaparkan bahwa langkah ini merupakan salah satu operasi moneter bank sentral. Tujuannya adalah menstabilkan mata uang rupiah, terlebih setelah mata uang Indonesia anjlok menembus Rp16 ribu per dolar Amerika Serikat pada Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perry membeberkan bahwa persamuhan dengan bendahara negara telah menghasilkan kesepakatan. Kementerian Keuangan akan menerbitkan SBN pada 2025, sedangkan Bank Indonesia bakal menjalankan rencana operasi moneter dengan membeli SBN di pasar sekunder.

Rencana ekspansi diambil setelah BI melihat berbagai perkembangan uang primer, kebutuhan likuiditas dan lain sebagainya. Jumlahnya bahkan tidak hanya Rp100 triliun bisa menembus Rp150 triliun. “Bahkan kemungkinan bisa lebih tinggi, nanti akan kami bicarakan,” kata Perry.

Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan rencana ini merupakan kebijakan moneter quantitative easing atau menambah uang beredar. Menurut dia ada beberapa risiko yang bakal terjadi imbas keputusan yang diambil bank sentral ini. Di antaranya adalah meningkatnya inflasi serta risiko kredibilitas dan independensi BI.

Keputusan BI kali ini menurut Andri mirip dengan burden sharing yang dilakukan Bank Indonesia pada era pandemi covid-19 lalu. Hanya saja bedanya, kali ini bank sentral membeli SBN di pasar sekunder, sedangkan burden sharing BI membeli dari pasar primer. Secara sederhana yang dilakukan BI adalah menginjeksi likuiditas langsung atau secara harafiah, mencetak uang.

“Keduanya pada dasarnya memiliki risiko yang berbahaya, karena sama-sama menginjeksi likuiditas langsung dari bank sentral dan bukan dari perekonomian,” kata Andri kepada Tempo, Kamis, 26 Desember 2024.

Dalam burden sharing, yang mendapat rupiah segar secara langsung adalah pemerintah. Sedangkan dalam operasi ini yang mendapatkan rupiah baru adalah sektor swasta. Bank sentral memang memiliki kewenangan untuk menarik kembali rupiah yang beredar saat SBN jatuh tempo, namun hal ini bisa berisiko bagi kredibilitas dan independensi BI.

Likuiditas yang langsung diinjeksi oleh BI kepada pemegang SBN saat ini juga akan sulit dikontrol dampaknya terhadap perekonomian. Bebannya akhirnya ditanggung masyarakat. Karena BI dan pemerintah lebih mengesampingkan dampak inflasi dibandingkan nilai tukar.

Menurut pandangan Andri, pilihan ini diambil karena ada rencana menarik utang baru dalam jumlah besar tahun depan. Berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 utang pemerintah yang akan ditarik sebesar Rp775,87 triliun. “Sehingga menjadi imperatif bagi pemerintah untuk menjaga yield (imbal hasil) SBN agar tidak semakin naik karena beban bunganya akan bertambah lebih berat ke depan,” ujarnya.

Beban bunga utang saat ini sudah cukup besar, tahun ini saja pemerintah bakal menghabiskan sekitar 19,50 persen dari seluruh belanja negara. Bunga utang yang harus dibayar pemerintah tahun depan sebesar Rp552,85 triliun. Terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp479,6 triliun dan bunga utang luar negeri Rp55,2 triliun. 

Ini menurut dia menjadi penyebab BI mengambil kebijakan operasi moneter tersebut. “Karena jika yield SBN semakin tinggi dan nilai tukar rupiah semakin melemah, maka bisa diperkirakan pengelolaan keuangan pemerintahan Prabowo akan jauh lebih ngos-ngosan lagi,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus