Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekonom, lihatlah sejarah

Hadiah nobel untuk ilmu ekonomi tahun ini telah mengangkat kedudukan disiplin sejarah ekonomi. apa artinya bagi indonesia?

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 5 pagi, lebih dua pekan silam, Robert Fogel dikejutkan oleh dering telepon di rumahnya di dekat kampus Universitas Chicago. Setelah diangkat, terdengar suara seorang wakil dari Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia yang memberi tahu bahwa dia telah terpilih sebagai pemenang hadiah Nobel tahun 1993 untuk ilmu ekonomi. Fogel akan membagi hadiah yang berjumlah US$ 844.286 (Rp 1,78 miliar) itu dengan ekonom Amerika lainnya, Douglas North, profesor dari Washington University di St. Louis, Missouri. Keputusan pemberian hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi kali ini memecah sebuah tradisi. Selama ini, ekonom yang menerima hadiah Nobel adalah mereka yang spesialisasinya ekonometri dan teori ekonomi. Robert Fogel, 67 tahun, dan Douglas North, 72 tahun, adalah dua ekonom Amerika yang bidang keahliannya sejarah ekonomi. Disiplin sejarah ekonomi selama ini mengalami marjinalisasi, karena model dan kesimpulan yang dihasilkannya dianggap kurang mampu dalam menerangkan hubungan berbagai variabel ekonomi. Tokoh-tokoh ekonom profesional (mainstream economists) lebih melihat pada model matematis dan ekonometris untuk lebih mengerti proses pertumbuhan ekonomi yang berlangsung, dan merumuskan proyeksi serta implikasinya ke depan. Tapi Fogel dan North dalam menganalisa sejarah ekonomi tidak lepas dari penggunaan metode Cliometrics, sebuah metode baru dalam studi sejarah ekonomi. Metode tersebut telah mengaitkan analisa sejarah ekonomi dengan analisa statistik dan model matematis, untuk lebih memahami proses sejarah yang berlangsung, dan untuk menganalisa implikasinya di masa depan. Dengan metode ini, Fogel, direktur Lembaga Ekonomi Kependudukan dari Universitas Chicago, berhasil merumuskan pendapat lain yang berbeda dari yang sudah lama dianut. Dia, misalnya, menunjukkan bahwa pembangunan jalan-jalan kereta api di AS di abad ke-19 bukan merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi AS. Perhitungan statistiknya menunjukkan bahwa investasi prasarana kereta api hanya menyumbang tiga persen dari pertumbuhan produksi bruto nasional (GNP) Amerika Serikat pada masa boom ekonomi di akhir abad ke-19. Dengan ini Fogel ingin menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi AS di abad ke-19 tetap bisa berlangsung dengan dukungan prasarana transportasi lain, seperti kanal dan jalan raya. Dalam bukunya, Time on the Cross: The Economics of American Slavery, yang ditulis bersama Stanley Engerman, Fogel menunjukkan bahwa sistim perbudakan yang dipraktekkan di sektor pertanian di negara bagian selatan di abad ke-19, sekalipun tidak manusiawi, ternyata merupakan sistem yang efisien. Kawasan ini menikmati tingkat penghasilan dan kemakmuran yang sangat tinggi, lebih makmur dari daerah lain. Tapi sistem pertanian yang mendasarkan pada eksploitasi tenaga manusia ternyata tidak kuat menahan ofensif moral dan militer seorang Abraham Lincoln. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan efisien tidak bisa bertahan bila ditopang oleh pelanggaran hak-hak manusia yang paling mendasar. Pesan yang hendak disampaikan Fogel mungkin ini: bahwa reformasi ekonomi, yang kini ramai dilakukan Dunia Ketiga, akan menghadapi masalah bila dilakukan tanpa menghormati nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia. Douglas North memusatkan studinya pada peran institusi sosial dan politik dalam mendorong kemajuan ekonomi. Dalam bukunya, Institutions and Economic Theory, North menunjukkan bahwa peran institusi cukup besar dalam menentukan keberhasilan ekonomi. Di abad ke-17, ekonomi Inggris dan Belanda bersemarak karena berfungsinya institusi hak milik dan pasar yang besar. Ini berbeda dengan yang terjadi di Spanyol, di mana ekonominya mengalami stagnasi karena kurang dihormatinya hak milik, dan meluasnya hak-hak istimewa kelas elite. ''Kalau ekonomi berhasil dengan baik, hal itu disebabkan karena adanya serangkaian institusi yang berhasil memberi perangsang kepada orang-orang untuk lebih produktif,'' tulis North. Uni Soviet, menurut North, hancur karena institusi-institusi di sana tidak berfungsi. North sendiri pernah diminta pemerintah Rusia, Cekoslovakia, Argentina, dan Peru untuk menjadi penasihat ekonomi mereka dalam melakukan reformasi ekonomi, dan program privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Untuk Indonesia, Fogel dan North seolah memberi peringatan: bila ekonomi Anda tidak ingin menghadapi masalah besar di masa mendatang, bereskanlah beberapa institusi yang penting seperti, hak milik, hak untuk berusaha, perbarui undang-undang agraria, undang-undang perdagangan, dan undang-undang pasar modal yang ketinggalan. Dan jangan lupa, tegakkan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi politik.Winarno Zain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum