KETIDAKBERESAN pembagian kuota tekstil di negeri ini semakin menjadi-jadi. September lalu, departemen perdagangan Amerika Serikat menemukan 75 visa dokumen ekspor (visa commercial invoice) palsu dari Indonesia. Nilainya memang hanya Rp 5 miliar, Rp 7 miliar, sementara nilai ekspor tekstil kita mencapai belasan triliun rupiah. Tapi, gara-gara visa palsu itu, mungkin saja tekstil Indonesia di pasar internasional tergores citranya. Apalagi pemalsuan itu bukan yang pertama. ''Tapi memang yang terbesar,'' kata sumber dari Departemen Perdagangan. Pemalsuan itu dilakukan dengan cermat. Kecermatan perlu karena formulir visa, yang setiap lembarnya diberi nomor seri, dicetak di Peruri, yang juga mencetak mata uang rupiah. Formulir visa ditandatangani setelah dilakukan cek silang dengan data dari PT Sucofindo. ''Jadi, modus operandinya mencontoh nomor visa orang lain sehingga ada nomor ganda,'' kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Kamarulzaman Al Gamar. Menurut Kamarulzaman, pemalsuan terjadi karena eksportir tak mempunyai kuota, tapi telanjur meneken kontrak dengan pembeli di Amerika. Atau, untuk menghindari klaim dari pembeli karena kontrak jual-beli dibuat jauh di atas kuotanya. ''Ini tindak kriminal dan jangan menyalahkan pembagian kuota,'' ujarnya. Seorang pengusaha tekstil mengungkapkan, pemalsuan itu mungkin sekali dilakukan oleh eksportir yang selama ini memasok kebutuhan jas hujan dan katun ke pasar Eropa. Nah, ketika pasaran ke sana lesu, mereka mencari pasaran baru. Tapi, saat itu, kuota ke Amerika sudah habis terbagi. Dari hasil pemeriksaan sementara, terungkap, dari sekitar 140 kategori, yang banyak dipalsu adalah kategori 334/335 (jaket katun) dan 634/635 (jas hujan). Siapa yang dirugikan? Pemilik kuota tekstil ke Amerika, tentu. Perusahaan yang nomor visanya dicontoh alias dikembari itu misalnya PT Mangul Tua, senilai US$ 50 ribu. ''Untung, barangnya sudah dikirim, jadi kami tidak begitu rugi,'' kata Jimmy, direktur dari PT Mangul Tua. Visa milik PT Sutera Indah juga dipalsukan, dengan nilai ekspor sekitar US$ 41 ribu. Sebegitu jauh, Kamarulzaman belum mau mengungkap para pelaku pemalsuan. Namun, sebuah sumber di Departemen Perdagangan menyebut-nyebut, PT Perwira Wooshin telah memanfaatkan 26 dukomen visa ekspor senilai US$ 1,7 juta (Rp 3,4 miliar). Enam dari 26 visa itu bahkan belum diterbitkan oleh Departemen Perdagangan. Benarkah? Direktur PT Perwira Wooshin (PW), Mohammad Soleh Bingsi Widjaya, membantah keras. ''Itu terlalu canggih buat kami,'' ujarnya menampik. Tapi putra ketiga keluarga Alamsjah Ratu Perwiranegara, yang biasa dipanggil Benny, ini mengakui bahwa lima dari 26 visa palsu itu berasal dari perusahaannya. Kata Benny, kelima visa itu dibeli dari seorang pengusaha. Maklum, perusahaannya sendiri tidak memiliki kuota ekspor. Benny lebih rinci mengungkapkan, kelima visa tersebut merupakan duplikat dari PT Sutera Indah, Mayer Crocodile, Pan Brothers Tex, Rajabrana, dan Arrish Rulan. ''Mana saya tahu bahwa kuota yang mereka jual itu visanya palsu,'' kata Benny pula. Dia justru merasa menjadi korban dari sistem pembagian kuota. Dia menyesalkan, banyak pengusaha memegang kuota ekspor, tapi sama sekali tidak memiliki pabrik. Terlepas dari siapa pelakunya, yang pasti Jimmy sudah mengancam akan mengeluarkan karyawannya yang terlibat tindak pemalsuan. Bagaimana sikap Departemen Perdagangan? Bambang Aji dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini