SEBERAPA besar daya serap pasar modal Indonesia? Jawabnya: sulit diukur. Dua tahun silam ada dugaan bahwa bursa mengalami lesu darah, antara lain, karena dananya telah habis disedot oleh puluhan perusahaan, khususnya oleh PT Indocement Tunggal Perkasa dan PT Inco. Tapi tahun ini dana di bursa telah mengalami pasang naik yang luar biasa besar. Kendati bulan Agustus lalu PT Barito Pacific Timber telah menyedot lebih dari Rp 600 miliar, penjualan saham-saham baru masih terus diserbu orang. Antrean panjang terjadi lagi, pekan lalu, ketika perusahaan sekuritas PT Makindo menjual saham-saham perusahaan pembuat sepatu Reebok, yakni PT Indosepamas Anggun. Antrean ini sedemikian panjangnya sehingga harus diamankan polisi, apalagi banyak cukong menggunakan perantara alias joki. Dengan cara itu, mereka memesan puluhan lot. Masalahnya, kalau pemilik dana besar memesan banyak, pesanan mereka kemungkinan akan terkena penjatahan, sedangkan penjatahan pasti memprioritaskan pesanan eceran (1 lot atau 500 lembar). Tapi, mengapa saham begitu laris? Kuat dugaan, itu karena harganya relatif murah (berkisar Rp 2.0004.500). Selain itu, saham-saham itu dipastikan akan memberikan keuntungan jika mulai diperdagangkan di bursa. Saham PT Andayani Megah, misalnya, begitu mulai diperdagangkan pekan lalu, sudah melaba sekitar 25%. Ini sama nilainya dengan bunga deposito selama dua tahun. Sebelumnya, saham-saham Ganda Wangsa, PT Andayani Megah, PT Concord Benefit Enterprice, Kedawung Indah Can, dan Bank Tiara ternyata juga mengalami kelebihan permintaan luar biasa. Pesanan saham Kedawung, misalnya, tercatat sampai 30 kali lebih banyak dari jumlah yang dijual. Sementara ini beberapa perusahaan telah mengambil ancang- ancang untuk ikut menimba dana. PT Ciputra Development, misalnya, pekan lalu mengumumkan akan menjual sekitar 50 juta saham. Menurut Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Bacelius Ruru, selain beberapa perusahaan tersebut, masih ada 20 perusahaan yang siap-siap terjun ke bursa. Melihat gencarnya emiten mengerubuti bursa, timbul pertanyaan, apakah dana di pasar modal masih cukup banyak. ''Ketika Barito dijual, permintaan mencapai Rp 13 triliun, sedangkan yang dipenuhi baru Rp 625 miliar,'' ujar Bacelius Ruru. Dari sini jelaslah bahwa dana masih melimpah untuk ditimba. Para investor asing yang sempat hengkang dari bursa Indonesia, tahun 1991-1992, kini juga mulai kembali. Manajer dana dari Merryl Linch dan Nomura mengatakan bahwa arus uang tahun ini memang sedang mengalir deras ke bursa-bursa Asia, kecuali Jepang. Maklum, pertumbuhan ekonomi di Asia rata-rata tinggi. Sani Permana, pialang dari PT Aperdi, melihat bahwa uang yang keluar-masuk di bursa bukan milik orang kita saja, tapi duit dunia. ''Perbandingan dana masyarakat Indonesia dan asing juga sudah seimbang,'' ujarnya. Padahal, dana lokal masih banyak yang belum bisa dicurahkan di bursa. Dana lembaga-lembaga pensiun, misalnya. ''Kami hanya boleh jadi penonton,'' kata Aidil Yuzar, Direktur Utama Yayasan Dana Pensiun PT Krakatau Steel. Sekarang lembaga-lembaga dana pensiun terpaksa harus menahan dana mereka dalam deposito di bank-bank dengan bunga yang cuma sekitar 11% per tahun. Soalnya, ada ketentuan Menteri Keuangan (SK 231/Februari 1993) yang melarang dana pensiun membeli saham baru. Yang boleh dibeli cuma saham dari perusahaan yang sudah tiga tahun tercatat di bursa. ''Padahal, yang menguntungkan sekarang ini kan saham-saham baru,'' kata Aidil menahan kecewa. SK tersebut disusun, agaknya, sesudah melalui pengalaman buruk tahun 1991-1992. Ketika itu, saham-saham dijual di pasar perdana dengan agio tinggi (sampai belasan kali nilai nominal). Tapi, begitu diperdagangkan di bursa, nilainya cuma naik sebentar untuk kemudian amblas sampai lebih dari separuh. Jelas, banyak lembaga dana pensiun yang merugi. ''Situasi sekarang adalah riil, bukan dibikin-bikin. Dulu saya memang mengalami pasar digenjot oleh beberapa orang atau pengusaha,'' kata Sani. Pialang yang sudah puluhan tahun bermain di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ini berpendapat, kemampuan bursa sekarang jauh lebih hebat daripada tahun 1990. Selain itu, kinerja bursa juga meningkat. ''Boom yang terjadi sekarang bukan cuma di BEJ, tapi berlaku global,'' kata Dirut BEJ, Hassan Zein Machmud. Apa yang dikatakan mandor pasar modal ini memang benar. Di bursa Singapura, misalnya, pekan lalu juga terjadi antrean yang luar biasa panjang. Hampir 1 juta orang berebut membeli saham Telecom Singapura, yang harganya S$ 1,90 untuk warga Singapura dan S$ 2 (sekitar Rp 2.700) untuk warga asing. Pesanan saham Telecom juga mengalami kelebihan. Tapi, dalam penjatahan, pemesan tak perlu kecewa karena jumlah saham Telecom, yang semula disediakan 350 juta lembar, kemudian ditambah menjadi 1.050 juta lembar. Dan itu tidak termasuk jatah untuk investor asing. Max Wangkar, Bina Bektiakti, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini