Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berpendapat elpiji bersubsidi seperti elpiji tiga kilogram atau gas melon sebaiknya didistribusikan secara tertutup. Dengan begitu, secara tak langsung pembeli gas bersubsidi itu dibatasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Fahmy, perlu ada perubahan distribusi dari subsidi yang terbuka seperti sekarang. Sebab, jika semua orang dapat membeli LPG tiga kilogram seperti saat ini, maka aliran subsidi menjadi tidak tepat sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Saya liat rumah makan besar itu punya (LPG) tiga kilogram karena lebih murah dan dapat subsisi, meskipun untuk orang miskin kan. Tapi orang kaya bisa beli tanpa sanksi. Nah itulah kelemahan distribusi terbuka," tuturnya saat dihubungi, Senin 11 Juli 2022.
Lebih lanjut, ia menjelaskan distribusi tertutup artinya tidak dijual di pasar, atau dijual di pasar dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, kata dia, yang dapat membeli adalah orang miskin yang sudah terdaftar sebagai pemegang Kartu Keluarga Sejahtera. Dengan pemakaian kartu itu, orang itu bisa membeli 3-4 tahun LPG tiga kilogram per bulan, misalnya.
Fahmi mengungkapkan selama ini untuk pembelian beras bersubsidi dengan kartu tersebut dan bisa dicontoh untuk pembelian elpiji melon. Namun, masalahnya, pembagian Kartu Keluarga Sejahtera merupakan kewenangan Kementerian Sosial, sedangkan untuk penentuan warga yang berhak mendapatkan subsidi BBM dan LPG merupakan kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Sehingga, menurut dia, mau tidak mau kedua instansi itu harus mengintegrasikan data warga sasaran subsidi tersebut. "Saya melihat masalahnya justru di ego sektoral yg menyebabkan mereka tidak bisa integrasi," ujar Fahmy.
Menurut Fahmy, dengan menggunakan Kartu Keluarga Sejahtera, distribusi LPG bisa dilakukan lebib baik dibandingkan menggunakan aplikasi MyPertamina. "Aplikasi sangat tidak cocok untuk (LPG) 3 kilogram tadi," ucapnya.
Sebab, Kartu Keluarga Sejahtera dari Kemensos sudah tersebar sampai ke pelosok desa. Penerapannya pun mudah, sebab jika tak dapat menunjukkan kartu tersebut, warga tidak boleh membeli.
Hal ini tersebut merespons rencana kenaikan harga LPG non-subsidi, seperi gas 12 kilogram dan Bright Gas untuk mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga menyatakan pihaknya menaikkan harga elpiji non-subsidi dengan kisaran Rp 2.000 per kilogram pada 10 Juli 2022. Kenaikan harga gas mengacu pada tren harga contract price Aramco (CPA) yang masih tinggi pada Juli, yakni mencapai US$ 725 per metrik ton. Angka ini lebih tinggi sekitar 13 persen dari rata-rata CPA pada 2021.
"Seluruh penyesuaian harga di angka sekitar Rp 2.000 baik per liter untuk BBM dan per kiligram untuk elpiji. Harga ini masih sangat kompetitif dibandingkan produk dengan kualitas setara," ujar Irto pada Ahad, 10 Juli 2022.
RIANI SANUSI PUTRI | EKA YUDHA SAPUTRA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.