Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Eksitnya tiga jepang

Tiga perusahaan jepang yang mengusahakan perkebunan jagung di lampung : mitsugoro, c. itoh, dan pt padangratu agricultural corp. angkat kaki, karena adanya larangan impor bibit & alat-alat pertanian.(eb)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI bekas kawasan perkebunan jagung itu tak lagi terdengar deru traktor. Hanya rumput sebatas pinggang, yang kini kelihatan menguasai lahan luas di Desa Blambangan Pagar, Lampung Utara. Perusahaan Jepang C. Itoh, yang mengusahakan perkebunan jagung itu, berpatungan dengan PT Daya Kalianda Raya sudah sejak Maret mundur dari sana. Tingginya lahan perkebunan yang diserobot penduduk, dan rendahnya tingkat produktivitas lahan di sana disebut sebagai sejumlah alasan yang mendorong Itoh cerai dengan Daya Kalianda. Setiap kali panen jagung, dua kali dalam setahun, perusahaan patungan itu juga selalu saja rugi Rp 20 juta -- belum termasuk kerusakan dan penyusutan mesin pertanian. Kurang lebih dengan alasan serupa Mitsui dan Mitsubishi, sejak bulan itu juga menyatakan mundur dari usaha patungan mereka. Bahkan Mitsui, yang berpatungan dengan Kosgoro, sudah membagikan lahan mereka yang 5.000 ha, kepada para transmigran. Dari tanah inilah Mitsugoro, perusahaan patungan itu, di tahun 1971-1972 pernah memperoleh jagung berlimpah ruah, yang sebagian kemudian diekspor. Tapi sejak jagung yang terserang hama bulai (downy meldew) diganti singkong (1977), kerugian terus membayangi usaha itu. "Total kerugian kami bernilai US$ 12,5 juta," ujar M. Morita, direktur utama Mitsugoro. Kesialan serupa juga menimpa PT Padangratu Agricultural Corp., patungan Mitsubishi dan Intrada. Semula di atas lahan 7.000 ha dari 10 ribu ha yang dikuasainya ditanami jarak. "Tapi buah yang dihasilkan ternyata rapuh dan kurang menghasilkan minyak," ujar Rusum, direktur Intrada. Singkong kemudian diperkenalkan sebagai tanaman pengganti sementara. Sial "ternyata bibit singkong lokal sangat buruk mutunya, karena lebih banyak menghasilkan singkong beracun yang sulit dijual," ujar T. Tawaratsumida, direktur Padangratu. Sejak saat itulah (1975), Mitsubishi sebagai pemegang saham mayoritas (80%), tidak pernah lagi membicarakan tanaman apa yang sebaiknya dibudidayakan di sana. "Mereka tidak setuju jika di lahan itu ditanami tanaman keras karena alasannya tidak ada penelitian pendahuluan," tutur Rusum. "Setiap rapat pemegang saham, yang kami dengar hanyalah laporan kerugian, membosankan." Kerugian tentu saja tetap terjadi karena singkong yang dibudidayakan nilai ekonominya kurang tinggi. Harganya pun sering melompat-lompat. Pendeknya fluktuasi harga komoditi itu terlalu besar. "Sebagai contoh, harga singkong yang sekarang Rp 17,50, minggu depan mendadak bisa naik jadi Rp 55 per kg," kata M. Morita. Tapi tak lama kemudian bisa jatuh murah sekali di saat panen raya. Kenapa menanam singkong? "Karena pengolahannya mudah, tidak kenal musim, hingga hasilnya mudah pula diperoleh secara rutin," ujar Wahyu Widodo, sekretaris jenderal Kelompok Bisnis Kosgoro. "Tapi terus terang tanaman itu rakus, dalam jangka relatif pendek dapat merusak tanah dengan menyerap mineral yang terkandung di dalamnya hingga menghilangkan kesuburannya." Pada mulanya memang, pihak Mitsui menyangka bisa dengan mudah membudidayakan jagung di Lampung, dan dapat meningkatkan produktivitas tanaman itu sama dengan sebelum 1963 -- ketika Indonesia jadi salah satu eksportir penting. Tapi setelah dicoba selama 10 tahun sejak awal 1970, usaha itu dianggap gagal. Pihak Mitsui terutama sangat terpukul sesudah pemerintah tidak memperkenankan perusahaan patungan itu mengimpor bibit jagung hybrid yang produktivitasnya empat kali lebih tinggi dibanding jagung lokal. "Bibit lokal hanya mampu menghasilkan 2,5 ton jagung, sedang bibit hybrid 10 ton per ha," ujar Fukusima, wakil direktur utama Mitsugoro. Dengan alasan kurang jelas, Daya Itoh juga tidak diperkenankan mengimpor bibit jagung. Bibit lokal yang diberi pemerintah lewat IPB, menurut Yoshinobu Ibuki, direktur utama Daya Itoh, hanya mencukupi setengah dari kebutuhan perusahaan. "Produktivitasnya pun rendah," katanya. Daya Itoh dan Mitsugoro kabarnya juga tidak diizinkan mengimpor suku cadang traktor, dan mengimpor mesin yang bisa mengangkut jagung dari kebun langsung ke pabrik. "Pemerintah hanya mengizinkan mengangkut hasil produksi dengan karung, manusia, dan truk," ujar Fukusima. Sikap pemerintah itu tentu saja bisa dimengerti. Kehadiran tiga perusahaan multinasional Jepang di sana justru diharapkan akan mendorong menciptakan lapangan kerja baru. Dan Daya Itoh sudah melakukannya dengan mempekerjakan penduduk setempat. Namun lama kelamaan sesudah menerima gaji, mereka ternyata malah bernafsu menguasai tanah perusahaan. Dari 4.600 ha, yang dikelola Daya Itoh, ternyata 2.000 ha di antaranya dikuasai penduduk. Penduduk, menurut Ibuki, banyak pula yang mencuri bibit perusahaan. "Bagi kami itu tidak apa-apa, karena dengan mencuri bibit unggul, mereka bisa meningkatkan produksi pertanian," katanya. Lampung yang dulu masih hutan kini telah berkembang jadi daerah padat. "Di daerah seperti itu tentu tidak cocok lagi jadi menanam singkong dan jagung, yang mudah dikonsumsi," ujar Ketua BKPM Suhartoyo. "Untuk tanaman lemah seperti itu seharusnya dipilih lahan yang terisolasi, jangan di tengah-tengah penduduk."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus