DARI bekas kawasan perkebunan jagung itu tak lagi terdengar deru
traktor. Hanya rumput sebatas pinggang, yang kini kelihatan
menguasai lahan luas di Desa Blambangan Pagar, Lampung Utara.
Perusahaan Jepang C. Itoh, yang mengusahakan perkebunan jagung
itu, berpatungan dengan PT Daya Kalianda Raya sudah sejak Maret
mundur dari sana. Tingginya lahan perkebunan yang diserobot
penduduk, dan rendahnya tingkat produktivitas lahan di sana
disebut sebagai sejumlah alasan yang mendorong Itoh cerai dengan
Daya Kalianda. Setiap kali panen jagung, dua kali dalam setahun,
perusahaan patungan itu juga selalu saja rugi Rp 20 juta --
belum termasuk kerusakan dan penyusutan mesin pertanian.
Kurang lebih dengan alasan serupa Mitsui dan Mitsubishi, sejak
bulan itu juga menyatakan mundur dari usaha patungan mereka.
Bahkan Mitsui, yang berpatungan dengan Kosgoro, sudah membagikan
lahan mereka yang 5.000 ha, kepada para transmigran. Dari tanah
inilah Mitsugoro, perusahaan patungan itu, di tahun 1971-1972
pernah memperoleh jagung berlimpah ruah, yang sebagian kemudian
diekspor. Tapi sejak jagung yang terserang hama bulai (downy
meldew) diganti singkong (1977), kerugian terus membayangi
usaha itu. "Total kerugian kami bernilai US$ 12,5 juta," ujar M.
Morita, direktur utama Mitsugoro.
Kesialan serupa juga menimpa PT Padangratu Agricultural Corp.,
patungan Mitsubishi dan Intrada. Semula di atas lahan 7.000 ha
dari 10 ribu ha yang dikuasainya ditanami jarak. "Tapi buah yang
dihasilkan ternyata rapuh dan kurang menghasilkan minyak," ujar
Rusum, direktur Intrada. Singkong kemudian diperkenalkan sebagai
tanaman pengganti sementara. Sial "ternyata bibit singkong lokal
sangat buruk mutunya, karena lebih banyak menghasilkan singkong
beracun yang sulit dijual," ujar T. Tawaratsumida, direktur
Padangratu.
Sejak saat itulah (1975), Mitsubishi sebagai pemegang saham
mayoritas (80%), tidak pernah lagi membicarakan tanaman apa yang
sebaiknya dibudidayakan di sana. "Mereka tidak setuju jika di
lahan itu ditanami tanaman keras karena alasannya tidak ada
penelitian pendahuluan," tutur Rusum. "Setiap rapat pemegang
saham, yang kami dengar hanyalah laporan kerugian,
membosankan."
Kerugian tentu saja tetap terjadi karena singkong yang
dibudidayakan nilai ekonominya kurang tinggi. Harganya pun
sering melompat-lompat. Pendeknya fluktuasi harga komoditi itu
terlalu besar. "Sebagai contoh, harga singkong yang sekarang Rp
17,50, minggu depan mendadak bisa naik jadi Rp 55 per kg," kata
M. Morita. Tapi tak lama kemudian bisa jatuh murah sekali di
saat panen raya.
Kenapa menanam singkong? "Karena pengolahannya mudah, tidak
kenal musim, hingga hasilnya mudah pula diperoleh secara rutin,"
ujar Wahyu Widodo, sekretaris jenderal Kelompok Bisnis Kosgoro.
"Tapi terus terang tanaman itu rakus, dalam jangka relatif
pendek dapat merusak tanah dengan menyerap mineral yang
terkandung di dalamnya hingga menghilangkan kesuburannya."
Pada mulanya memang, pihak Mitsui menyangka bisa dengan mudah
membudidayakan jagung di Lampung, dan dapat meningkatkan
produktivitas tanaman itu sama dengan sebelum 1963 -- ketika
Indonesia jadi salah satu eksportir penting. Tapi setelah dicoba
selama 10 tahun sejak awal 1970, usaha itu dianggap gagal. Pihak
Mitsui terutama sangat terpukul sesudah pemerintah tidak
memperkenankan perusahaan patungan itu mengimpor bibit jagung
hybrid yang produktivitasnya empat kali lebih tinggi dibanding
jagung lokal. "Bibit lokal hanya mampu menghasilkan 2,5 ton
jagung, sedang bibit hybrid 10 ton per ha," ujar Fukusima, wakil
direktur utama Mitsugoro.
Dengan alasan kurang jelas, Daya Itoh juga tidak diperkenankan
mengimpor bibit jagung. Bibit lokal yang diberi pemerintah lewat
IPB, menurut Yoshinobu Ibuki, direktur utama Daya Itoh, hanya
mencukupi setengah dari kebutuhan perusahaan. "Produktivitasnya
pun rendah," katanya. Daya Itoh dan Mitsugoro kabarnya juga
tidak diizinkan mengimpor suku cadang traktor, dan mengimpor
mesin yang bisa mengangkut jagung dari kebun langsung ke pabrik.
"Pemerintah hanya mengizinkan mengangkut hasil produksi dengan
karung, manusia, dan truk," ujar Fukusima.
Sikap pemerintah itu tentu saja bisa dimengerti. Kehadiran tiga
perusahaan multinasional Jepang di sana justru diharapkan akan
mendorong menciptakan lapangan kerja baru. Dan Daya Itoh sudah
melakukannya dengan mempekerjakan penduduk setempat. Namun lama
kelamaan sesudah menerima gaji, mereka ternyata malah bernafsu
menguasai tanah perusahaan. Dari 4.600 ha, yang dikelola Daya
Itoh, ternyata 2.000 ha di antaranya dikuasai penduduk.
Penduduk, menurut Ibuki, banyak pula yang mencuri bibit
perusahaan. "Bagi kami itu tidak apa-apa, karena dengan mencuri
bibit unggul, mereka bisa meningkatkan produksi pertanian,"
katanya.
Lampung yang dulu masih hutan kini telah berkembang jadi daerah
padat. "Di daerah seperti itu tentu tidak cocok lagi jadi
menanam singkong dan jagung, yang mudah dikonsumsi," ujar Ketua
BKPM Suhartoyo. "Untuk tanaman lemah seperti itu seharusnya
dipilih lahan yang terisolasi, jangan di tengah-tengah
penduduk."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini