NAMANYA kini menjulang setingkat dengan tokoh bisnis dunia.
Ruang lingkup usahanya pun macam-macam, berbaur antara dunia
perdagangan, industri, dan perbankan. Di bidang yang terakhir
itulah namanya kembali disebut-sebut dalam pers internasional
sebagai salah satu bankir terkaya di dunia. Dialah Liem Sioe
Liong, 67 tahun, yang pekan lalu 'dinobatkan' sebagai salah satu
dari 12 bankir terkaya di dunia oleh majalah AS Institutional
Investor. Diperkirakan Liem Sioe Liong "memiliki kekayaan
(assets) satu milyar dollar lebih," tulis majalah itu.
Prestasi yang dicapai Liem dan kelompok-nya -- memang luar
biasa. Apalagi mengingat nama tokoh pengusaha yang lebih suka
bergerak di belakang layar itu, baru mulai menonjol sekitar 15
tahun silam. Lahir di Fukien, RRC, Liem memutuskan untuk
bermukim di Indonesia, 44 tahun lampau, dan tinggal di Kudus,
mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie.
Pemilik selusin perusahaan yang besar itu mulai mengadu nasibnya
secara kecil-kecilan dari Kudus sebagai pengusaha minyak kacang,
kemudian pensuplai cengkih untuk pabrik rokok kretek. Alkisah,
hokki (keberuntungan) Liem muda lahir di saat pecahnya revolusi
1945. Ia cukup jeli untuk berpihak pada Republik yang butuh
banyak dana untuk melawan tentara Belanda. Maka ia pun
berkembang menjadi pensuplai cengkih besar, dengan
menyelundupkan bahan utama rokok kretek itu dari daerah Maluku,
Sumatera, dan Sulawesi Utara.
Di tahun 1968, dua tahun sesudah lahirnya Orde Baru, pengusaha
yang di kalangannya dikenal dengan sebutan "Liem botak" pun
beroleh hak monopoli impor cengkih melalui PT Mega miliknya, di
samping PT Mertju Buana, importir besar cengkih punya pengusaha
Probosutedjo.
Tapi sampai saat itu pun tokoh Liem lebih banyak terdengar,
daripada dilihat orang. Dalam waktu singkat sayap usaha Liem
yang suka dikritik sebagai "cukong" itu pun mekar sampai di luar
negeri. Bersama partnernya seperti Djuhar Sutanto, Sudwikatmono,
dan ketiga putranya -- Anthony, Albert, dan Andre, kelompok yang
bergerak melalui PT Salim Economic Development Corporation itu,
kini diperkirakan menguasai sekitar 40 perusahaan di Indonesia,
dan kurang lebih selusin lagi di luar negeri.
Di zaman pembauran ia memang punya nama baru, Sudono Salim,
sekalipun dalam kartu bisnisnya masih tercantum nama Liem Sioe
Liong. Tapi nama Salim yang dipilih keluarga Liem itu punya arti
tersendiri: tiga bersaudara. San dalam bahasa Mandarin berarti
tiga, dan setelah ditambah dengan she asli, yakni she Liem,
menjadi Salim.
Akhir tahun 1960-an agaknya merupakan saat-saat paling sibuk
bagi kelompok Liem. Selain PT Mega, kelompok itu juga mendirikan
PT Warinin, perusahaan dagang raksasa yang kemudian dikenal
sebagai Waringin Group. Kongsi Liem yang kekal adalah Lin Wen
Chiang, kini Djuhar Sutanto.
Bagaikan sarang laba-laba, kelompok itu dalam waktu yang
terbilang kilat menebar jala, dan tampil sebagai pemilik
perusahaan yang serba raksasa: tepung terigu Bogasari, pabrik
semen di Cibinong, perakitan mobil Volvo, konsesi hutan, sampai
pabrik tekstil, pabrik paku, juga sebagai distributor berbagai
hasil produksinya.
Bank Central Asia, yang membuat namanya meroket sebagai salah
satu dari selusin bankir terkaya di dunia, sebenarnya lahir
belakangan, setelah tampilnya Panin Bank, hasil merger pertama
beberapa bank, yang didirikan 17 Agustus 1971. Dalam BCA sendiri
Liem Sioe Liong duduk sebagai komisaris utama, sedang direktur
utamanya adalah Mochtar Ryadi, bankir terkemuka yang tadinya
mendirikan dan memimpin Panin Bank.
Dalam bank yang bermodal dasar Rp 6 milyar, modal disetor Rp 6
milyar, dan nilai saham nominal Rp 500.000, Liem Sioe Liong pada
mulanya memiliki 300 saham, sedang Mochtar Ryadi dapat 630
saham. Tapi dari jumlah saham total yang ketika itu 3.600,
keluarga Salim, di samping sang ayah, memiliki 734 saham.
Kini kekayaan BCA yang menggapai di atas US$ 1 milyar itu, sudah
jauh meninggalkan kekayaan keluarga bank Rotschild di Prancis,
dan Rockefeller di AS. Kedua kekayaan keluarga ternama itu, jika
digabung, diperkirakan baru mencapai separuh kekayaan kelompok
Liem.
Sebagai lazimnya perusahaan raksasa, Indonesia dengan sendirinya
terasa sempit bagi sayap kelompok Liem. Dan di awal 1982,
kelompok yang diketuai Liem Sioe Liong itu kembali menempati
halaman depan berbagai pers asing: Mereka berhasil menguasai 80%
saham Hibernia Bancshares Corporation di San Francisco, konon
salah satu dari 12 bank yang top di California.
Pembelian itu dilakukan melalui lembaga keuangan nonbank yang
terkenal di Hong Kong, First Pacific Group. Sedang Hibernia
Bancshares merupakan perusahaan induk (holding company dari
Hibernia Bank. First Pacific Group, yang sebagian besar sahamnya
dimiliki kelompok Liem, sebenarnya merupakan urat nadi kegiatan
bisnis mereka. Lembaga keuangan yang bermarkas di Hong Kong itu,
tapi terdaftar di Liberia, juga bergerak di bidang perbankan
Asia.
Setahun kemudian, di awal Januari 1983, pers di Belanda dan
Radio Hilversum sibuk memberitakan dibelinya perusahaan dagang
dan industri terkenal Hagemeyer. Di situ kelompok Liem menguasai
51% saham, bernilai US$ 17,5 juta.
Adalah menarik melihat operasi yang dilakukan kelompok Liem
sebelum menguasai sebuah usaha. Dalam kasus Hagemeyer misalnya,
Liem Investors, melalui First Pacific Group, Hong Kong, telah
membeli dan menguasai JF Special Holdings, suatu kelompok
perusahaan investor, di Hong Kong yang berkongsi dengan bank
perniagaan Merchant Fleming. Untuk itu kelompok Liem bersedia
membayar US$ 12 juta, dan melalui JFSH itu pula mereka kemudian
melakukan negosiasi menguasai mayoritas saham HaRemeyer.
Kini di saat Indonesia melakukan penjadwalan kembali sejumlah
proyek besar, usaha kelompok Liem mungkin akan makin banyak
menyebar di luar negeri. Tapi itu tak berarti menutup perluasan
jaringannya di dalam negeri. Pada tanggal 30 Juni ini, Liem
Sioe Liong dan Anthony Salim -- 'putra mahkota' keluarga besar
Liem, akan turut menandatangani proyek pabrik lembaran baja
penggilingan dingin (cold rollin steel mill) di Hong Kong.
Pabrik yang akan berdiri di kompleks baja Cilegon, Jawa Barat,
diperkirakan akan memakan biaya US$ 800 juta. Pabrik itu
direnanakan akan mulai menggelinding pertengahan tahun ini dan
selesai pada tahun 1986.
Adapun pembiayaannya sebagian akan berasal dari kredit ekspor
dan pinjaman komersial dari Prancis dan Spanyol. Perusahaan
pelaksananya, PT Krakatau Cold Rolling Mill, 40% akan dipegang
kelompok Liem, 20% oleh kelompok Ciputra, dan sisanya yang 40%
oleh PT Krakatau Steel.
Di luaran, orang suka bertanya-tanya: bagaimana tapan Liem
mampu menggerakkan dan mengawasi puluhan perusahaannya yang
masih bersandar pada sistem manajemen keluarga. Konon selama
Liem tua masih duduk di pucuk pimpinan, gaya manajemen yang
konservatit akan tetap mewarnai setiap gerak usahanya. "Usaha
kami merupakan perpaduan yang terbaik dari Timur dan Barat,"
demikian kata Anthony Salim.
Suatu jawaban yang diplomatis, agaknya. Sebab dengan mulai
masuknya kelompok Liem ke medan bisnis Amerika dan Eropa, cepat
atau lambat Liem Corporation harus mengikuti sistem yang lazim
dianut berbagai perusahaan multinasional di Barat dan Jepang,
agar mampu bersaing. Itulah yang nampaknya mulai dihadapi oleh
Liem muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini