Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dulu rockefeller kini taipan liem

Liem Sioe Liong, 67, salah satu dari 12 bankir terkaya di dunia. bersama parternya: djuhar susanto, sudwikatmono & ketiga anaknya, melalui pt salim economic development corp membuka usaha ke ln.(eb)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA kini menjulang setingkat dengan tokoh bisnis dunia. Ruang lingkup usahanya pun macam-macam, berbaur antara dunia perdagangan, industri, dan perbankan. Di bidang yang terakhir itulah namanya kembali disebut-sebut dalam pers internasional sebagai salah satu bankir terkaya di dunia. Dialah Liem Sioe Liong, 67 tahun, yang pekan lalu 'dinobatkan' sebagai salah satu dari 12 bankir terkaya di dunia oleh majalah AS Institutional Investor. Diperkirakan Liem Sioe Liong "memiliki kekayaan (assets) satu milyar dollar lebih," tulis majalah itu. Prestasi yang dicapai Liem dan kelompok-nya -- memang luar biasa. Apalagi mengingat nama tokoh pengusaha yang lebih suka bergerak di belakang layar itu, baru mulai menonjol sekitar 15 tahun silam. Lahir di Fukien, RRC, Liem memutuskan untuk bermukim di Indonesia, 44 tahun lampau, dan tinggal di Kudus, mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie. Pemilik selusin perusahaan yang besar itu mulai mengadu nasibnya secara kecil-kecilan dari Kudus sebagai pengusaha minyak kacang, kemudian pensuplai cengkih untuk pabrik rokok kretek. Alkisah, hokki (keberuntungan) Liem muda lahir di saat pecahnya revolusi 1945. Ia cukup jeli untuk berpihak pada Republik yang butuh banyak dana untuk melawan tentara Belanda. Maka ia pun berkembang menjadi pensuplai cengkih besar, dengan menyelundupkan bahan utama rokok kretek itu dari daerah Maluku, Sumatera, dan Sulawesi Utara. Di tahun 1968, dua tahun sesudah lahirnya Orde Baru, pengusaha yang di kalangannya dikenal dengan sebutan "Liem botak" pun beroleh hak monopoli impor cengkih melalui PT Mega miliknya, di samping PT Mertju Buana, importir besar cengkih punya pengusaha Probosutedjo. Tapi sampai saat itu pun tokoh Liem lebih banyak terdengar, daripada dilihat orang. Dalam waktu singkat sayap usaha Liem yang suka dikritik sebagai "cukong" itu pun mekar sampai di luar negeri. Bersama partnernya seperti Djuhar Sutanto, Sudwikatmono, dan ketiga putranya -- Anthony, Albert, dan Andre, kelompok yang bergerak melalui PT Salim Economic Development Corporation itu, kini diperkirakan menguasai sekitar 40 perusahaan di Indonesia, dan kurang lebih selusin lagi di luar negeri. Di zaman pembauran ia memang punya nama baru, Sudono Salim, sekalipun dalam kartu bisnisnya masih tercantum nama Liem Sioe Liong. Tapi nama Salim yang dipilih keluarga Liem itu punya arti tersendiri: tiga bersaudara. San dalam bahasa Mandarin berarti tiga, dan setelah ditambah dengan she asli, yakni she Liem, menjadi Salim. Akhir tahun 1960-an agaknya merupakan saat-saat paling sibuk bagi kelompok Liem. Selain PT Mega, kelompok itu juga mendirikan PT Warinin, perusahaan dagang raksasa yang kemudian dikenal sebagai Waringin Group. Kongsi Liem yang kekal adalah Lin Wen Chiang, kini Djuhar Sutanto. Bagaikan sarang laba-laba, kelompok itu dalam waktu yang terbilang kilat menebar jala, dan tampil sebagai pemilik perusahaan yang serba raksasa: tepung terigu Bogasari, pabrik semen di Cibinong, perakitan mobil Volvo, konsesi hutan, sampai pabrik tekstil, pabrik paku, juga sebagai distributor berbagai hasil produksinya. Bank Central Asia, yang membuat namanya meroket sebagai salah satu dari selusin bankir terkaya di dunia, sebenarnya lahir belakangan, setelah tampilnya Panin Bank, hasil merger pertama beberapa bank, yang didirikan 17 Agustus 1971. Dalam BCA sendiri Liem Sioe Liong duduk sebagai komisaris utama, sedang direktur utamanya adalah Mochtar Ryadi, bankir terkemuka yang tadinya mendirikan dan memimpin Panin Bank. Dalam bank yang bermodal dasar Rp 6 milyar, modal disetor Rp 6 milyar, dan nilai saham nominal Rp 500.000, Liem Sioe Liong pada mulanya memiliki 300 saham, sedang Mochtar Ryadi dapat 630 saham. Tapi dari jumlah saham total yang ketika itu 3.600, keluarga Salim, di samping sang ayah, memiliki 734 saham. Kini kekayaan BCA yang menggapai di atas US$ 1 milyar itu, sudah jauh meninggalkan kekayaan keluarga bank Rotschild di Prancis, dan Rockefeller di AS. Kedua kekayaan keluarga ternama itu, jika digabung, diperkirakan baru mencapai separuh kekayaan kelompok Liem. Sebagai lazimnya perusahaan raksasa, Indonesia dengan sendirinya terasa sempit bagi sayap kelompok Liem. Dan di awal 1982, kelompok yang diketuai Liem Sioe Liong itu kembali menempati halaman depan berbagai pers asing: Mereka berhasil menguasai 80% saham Hibernia Bancshares Corporation di San Francisco, konon salah satu dari 12 bank yang top di California. Pembelian itu dilakukan melalui lembaga keuangan nonbank yang terkenal di Hong Kong, First Pacific Group. Sedang Hibernia Bancshares merupakan perusahaan induk (holding company dari Hibernia Bank. First Pacific Group, yang sebagian besar sahamnya dimiliki kelompok Liem, sebenarnya merupakan urat nadi kegiatan bisnis mereka. Lembaga keuangan yang bermarkas di Hong Kong itu, tapi terdaftar di Liberia, juga bergerak di bidang perbankan Asia. Setahun kemudian, di awal Januari 1983, pers di Belanda dan Radio Hilversum sibuk memberitakan dibelinya perusahaan dagang dan industri terkenal Hagemeyer. Di situ kelompok Liem menguasai 51% saham, bernilai US$ 17,5 juta. Adalah menarik melihat operasi yang dilakukan kelompok Liem sebelum menguasai sebuah usaha. Dalam kasus Hagemeyer misalnya, Liem Investors, melalui First Pacific Group, Hong Kong, telah membeli dan menguasai JF Special Holdings, suatu kelompok perusahaan investor, di Hong Kong yang berkongsi dengan bank perniagaan Merchant Fleming. Untuk itu kelompok Liem bersedia membayar US$ 12 juta, dan melalui JFSH itu pula mereka kemudian melakukan negosiasi menguasai mayoritas saham HaRemeyer. Kini di saat Indonesia melakukan penjadwalan kembali sejumlah proyek besar, usaha kelompok Liem mungkin akan makin banyak menyebar di luar negeri. Tapi itu tak berarti menutup perluasan jaringannya di dalam negeri. Pada tanggal 30 Juni ini, Liem Sioe Liong dan Anthony Salim -- 'putra mahkota' keluarga besar Liem, akan turut menandatangani proyek pabrik lembaran baja penggilingan dingin (cold rollin steel mill) di Hong Kong. Pabrik yang akan berdiri di kompleks baja Cilegon, Jawa Barat, diperkirakan akan memakan biaya US$ 800 juta. Pabrik itu direnanakan akan mulai menggelinding pertengahan tahun ini dan selesai pada tahun 1986. Adapun pembiayaannya sebagian akan berasal dari kredit ekspor dan pinjaman komersial dari Prancis dan Spanyol. Perusahaan pelaksananya, PT Krakatau Cold Rolling Mill, 40% akan dipegang kelompok Liem, 20% oleh kelompok Ciputra, dan sisanya yang 40% oleh PT Krakatau Steel. Di luaran, orang suka bertanya-tanya: bagaimana tapan Liem mampu menggerakkan dan mengawasi puluhan perusahaannya yang masih bersandar pada sistem manajemen keluarga. Konon selama Liem tua masih duduk di pucuk pimpinan, gaya manajemen yang konservatit akan tetap mewarnai setiap gerak usahanya. "Usaha kami merupakan perpaduan yang terbaik dari Timur dan Barat," demikian kata Anthony Salim. Suatu jawaban yang diplomatis, agaknya. Sebab dengan mulai masuknya kelompok Liem ke medan bisnis Amerika dan Eropa, cepat atau lambat Liem Corporation harus mengikuti sistem yang lazim dianut berbagai perusahaan multinasional di Barat dan Jepang, agar mampu bersaing. Itulah yang nampaknya mulai dihadapi oleh Liem muda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus